1 Bab. 1

Aku bingung darimana aku harus memulai ceritaku.

Berdiri di depan cermin lalu menertawai seluruh kesedihan yang aku alami. Aku lelah, terus tersenyum di depan orang banyak. Sekilas, wajahku tampak bahagia namun, bukan berarti aku tidak pernah merasakan sakit.

Setelah bercerai, Ibuku meninggal dunia karena penyakit jantung yang dialaminya. Ayahku enggan mengurusku yang sudah kehilangan sosok Ibu yang baik hati dan selalu memperlakukanku dengan lembut. Kini, aku tinggal berdua dengan kakakku. Namun, saat usiaku 12 tahun, kakak tiba-tiba menghilang dan aku harus menghidupi diriku sendiri.

Entah apa yang menarik dari kisah seorang Bulan. Hidup dalam sepi dan kegelapan, aku harus berjalan sesuai dengan orbitnya. Aku tidak tahu mengapa Ibu menamaiku Bulan. Padahal, Bulan tak akan bisa bercahaya di tengah malam tanpa matahari. Apakah Ibu sudah membenciku sejak lahir? Wajahku selalu terlihat mendung dan basah karena air mataku sendiri. Tak ada satupun teman yang berada di dekatku. Aku hanya memiliki Bintang yang selalu menemaniku setiap saat bahkan saat Ibu meninggal dunia.

Bintang akan sangat indah jika berdampingan dengan teman-temannya. Karena itu, Bintang tak pernah kesepian dan teman-temannya bahkan tak pernah mempertanyakan mengapa Bintang mau berteman dengan ku yang selalu terlihat mendung.

Terkadang aku ingin menjadi seperti Bintang. Akan tetapi, mengingat sifat ku yang terlanjur seperti ini, membuatku sadar kalau aku tidak akan bisa seperti Bintang yang tak pernah kesepian.

Aku tidak mungkin bersaing dengannya. Aku sadar aku ini bodoh dan tidak pandai melakukan apapun. Bagiku, bertahan hidup adalah yang terpenting. Selama aku memiliki pekerjaan, aku akan bisa menjalani hidupku sebagai orang normal.

Tangerang, 5 April 2012.

Tak ada ruangan yang tenang selain kelas kosong di jam 6 pagi. Hiruk pikuk perkotaan terasa jauh dari pendengaranku. Aroma embun di pagi hari juga tak lepas dari indera penciumanku. Papan tulis yang terbuat dari papan triplek berwarna putih, sudah ku tuliskan hari dan tanggal saat ini. Seluruh kolong meja milik anak-anak yang lain juga sudah ku bersihkan sehingga mereka akan nyaman berada di kursinya.

Aku sengaja melakukan ini untuk menarik perhatian mereka. Meskipun begitu, aku tidak akan meminta mereka untuk berterima kasih padaku. Aku hanya ingin mereka menyadari keberadaan ku yang selalu duduk di kursi paling belakang.

Karena terlalu bekerja keras, aku sampai lupa untuk memakan makananku meskipun yang aku makan ini hanya selembar roti tawar dan bukan sepiring nasi seperti orang-orang normal kebanyakan. Aku sempat menikmati angin pagi yang berhembus melewati telingaku. Aku merasa nyaman dan tenang di dalam ruang kosong dan aku harap hal ini akan berlangsung sangat lama.

Akan tetapi, saat aku akan memakan sarapan pagi ku, seorang cewek datang menghampiriku dengan cepat dan langsung mengambil makananku. Aku merasa terkejut karena cewek itu langsung menginjak-injak roti ku di atas lantai menggunakan sepatunya.

Cewek itu datang bersama dua orang temannya dan mereka semua menatapku dengan sinis dan mengintimidasi. Memangnya apa kesalahan yang aku lakukan sampai-sampai mereka melakukan hal ini padaku? Aku sudah membersihkan semua yang ada di kelas dan bahkan membersihkan meja mereka.

"Tuh! Makan!"

Aku memandangi selembar roti yang sudah hancur dan menyatu dengan debu. Aku tidak mungkin memakannya karena roti itu sudah berkuman dan membuatku sakit perut jika aku tetap memakannya. Sudah dari kemarin siang aku tidak makan apapun dan aku mulai takut jika aku akan pingsan saat jam pelajaran nanti karena belum makan.

"Mana bisa dimakan? Kenapa kamu melakukannya?" tanyaku.

Cewek itu menatap ke arahku dengan tatapan yang sama dan kali ini, ketiganya sedang menertawai ku. "Terserah kau ingin memakannya atau tidak. Lagipula, semua ini bukan urusan kami."

Saat itu juga, mereka meninggalkanku bersama dengan kesedihan yang sudah mereka buat untukku. Aku sudah terbiasa diperlakukan seperti ini oleh Isabel dan dua orang temannya Kinan dan Yaya. Mereka selalu membully ku seperti ini dan berusaha mencari cara agar semua kesalahan dilimpahkan padaku.

Aku tahu aku tidak menarik. Aku tahu rambut berponi ku ini mirip sekali dengan hantu Jepang bernama Sadako. Selain itu, mataku selalu terlihat bengkak karena aku terlalu bekerja keras sampai tidak tidur semalaman. Orang-orang juga merasa penasaran dengan luka yang ada di kedua lenganku sampai harus diperban karena terlalu parah. Aku memang rela melakukan pekerjaan apapun asalkan aku dibayar. Tetapi, aku tidak pernah melakukan pekerjaan yang membuatku terluka seperti ini.

"Arya! Tumben datang cepat!"

Aku mendengar suara cewek yang memanggil Arya. Jika dilihat-lihat, Arya Matahari memang tampak seperti matahari yang selalu bersinar terang, menyinari Bumi setiap pagi. Orang-orang selalu nyaman berada di dekatnya. Ia bukan hanya murid terpintar di kelasnya. Ia juga pandai berolahraga. Tidak seperti diriku yang tak dianugerahi kepandaian apapun baik akademik maupun non-akademik. Aku selalu payah melakukan sesuatu. Meskipun aku pandai memasak bahan makanan apapun, aku tidak berani menyebutku jenius dan mengatakan kalau masakanku enak.

Sikap seperti ini adalah kelemahanku.

Tak pandai berbicara dan terlalu pendiam. Bahkan Guru di sini selalu melupakan namaku. Meskipun begitu, aku merasa tidak keberatan. Hal itu terjadi karena ulahku dan aku sendiri yang harus menerima akibatnya.

"Hari ini ada ujian matematika!"

"Wah, soalnya pasti sulit sekali. Aku tidak belajar apapun kemarin malam."

"Arya! Tolong ajari bagian yang ini! Kami tidak mengerti sama sekali."

Aku terkejut saat mendengar pembicaraan mereka dari sudut ruangan. Karena tak pernah bicara dengan siapapun, aku tidak tahu kalau hari ini ada ujian matematika. Malam tadi aku tidak sempat belajar apapun dan terlalu sibuk. Ini sangat gawat karena bisa-bisa aku akan mendapatkan nilai jelek pada ujian kali ini.

Aku mungkin harus berpikir dua kali mengenai diriku yang pekerja keras jika dibayar.

Beberapa saat setelah bel berbunyi, Guru pun memasuki kelas dan memberikan kertas ujian. Aku sangat syok saat melihat lembaran kertas yang berisikan soal-soal matematika. Judulnya memang ada lima soal tetapi, semua soal itu memiliki lima anak yang harus dijawab dan masing-masing soal memiliki poin 25. Jika benar semua, ada kemungkinan dia tidak akan mengikuti remedial. Tetapi, jika nilainya buruk, aku mungkin akan pulang sangat malam dan terlambat bekerja.

Saat ujian, seluruh anak-anak diam tak ada yang berbicara. Mereka semua terus terfokus pada lembar soal mereka dan jawaban yang akan mereka tuliskan pada sebuah kertas kosong. Aku terus diam dan memandangi satu persatu anak sampai pada akhirnya, tatapanku terhenti pada Arya Matahari meskipun saat ini aku hanya bisa menatap punggungnya dari samping.

Ia terlihat sangat pandai dalam menjawab soal-soalnya. Ia bahkan tidak terlihat kesulitan saat menulis jawabannya di atas kertas. Untuk pertama kalinya, hal itu membuatku sangat penasaran dan bertanya-tanya, bagaimana dia bisa mengetahui jawabannya secepat itu?

Andai aku bisa selangkah lebih dekat dengannya, aku mungkin bisa mengetahui semua tentangnya. Tapi, apa gunanya semua itu? Semua orang sudah tak menganggapku lagi. Aku ini seperti udara tanpa angin.

"Bulan! Kamu sedang melihat siapa?!"

Aku terkejut begitu Pak Guru menatapku dengan dingin dan melihatku ketika aku sedang menatap punggung Arya. Aku pun merasa canggung lalu, semua pandangan seketika mengarah padaku. Aku mematung di kursiku sendiri sambil mencoba mengalihkan perhatianku dari Pak Guru yang berdiri di sebelah mejaku. Untuk pertama kalinya aku merasa sedang diawasi seperti ini dan untuk pertama kalinya, aku terpaku pada seseorang yang membuatku merasa penasaran.

avataravatar
Next chapter