9 9-RESEPSI PERNIKAHAN

Malam resepsi pun tiba, sebuah gaun pernikahan muslimah berbahan chiffon melekat dengan indah di tubuhku. Sebuah hijab pun sudah terlilit cantik diatas kepala dengan bantuan dari beberapa penata rias yang di sewa keluarga Mahardika.

Sebuah hotel pun di sewa dengan harga mahal demi menyajikan sebuah acara resepsi yang mewah, lengkap dengan dekorasi yang indah dengan tema serba putih, sesuai dengan warna gaunku malam ini.

Oma terlihat begitu kagum melihatku di ruang tata rias, sejak tadi dia selalu menemaniku dengan sabar. Kurasa oma menjadi bagian paling penting dalam pernikahan ini. Dan aku tidak akan pernah melupakan itu.

"MasyaAllah, cantiknya cucuku. Arthan memang tidak pernah salah pilih, kamu istri terbaik yang Allah berikan untuk Arthan," puji oma tak henti-hentinya membuatku merasa ingin terbang.

"Iya, dong. Saya jamin, oma tidak akan kecewa memilih Nadia sebagai istri Arthan!" balas ibu tak kalah memuji.

Tata rias selesai, sekarang waktunya aku keluar dari ruangan ini dan berjalan menuju pelaminan yang sudah disiapkan. Aku dan Arthan keluar dari dua ruangan yang berbeda, tetapi berseberangan.

Diwaktu yang hampir bersamaan, Arthan juga keluar setelah pintu ruang tata riasku di tutup. Waw, dia kelihatan begitu tampan. Dengan balutan jas putih dan juga jam tangan mahal di pergelangan tangan kirinya.

Sebuah sepatu berwarna hitam juga ikut melengkapi penampilannya malam ini. Rambut hitam mengkilap di sisir rapi ke samping kanan, tak lupa juga wajahnya di poles sedikit bedak.

"Nah, ini dia pengantin pria-nya. Duh, kalian sangat cocok!" Oma kelihatan gemas melihatku dan Arthan ketika saling bertatapan.

Mama Rani yang keluar bersama Arthan hanya tersenyum. Segeralah dia mengarahkan kami untuk keluar koridor menuju aula pernikahan. Kebetulan aku dan Arthan berjalan paling belakang, sebab ibu, oma dan juga mama Rani harus membuka jalan.

Berjalan beriringan dengan Arthan membuat detak jantungku bekerja dua kali lebih cepat. Sebuah sikutan membuyarkan lamunanku mengenai acara resepsi yang tak lain berasal dari siku kiri Arthan.

Dengan isyarat mata, Arthan menyuruhku untuk menggandeng tangannya. Tapi karena terlalu aneh, dan ... mungkin belum terbiasa, aku malah bengong untuk sesaat sambil kaki terus melangkah.

Melihatku yang masih enggan menggandengnya, Arthan pun tanpa ragu menarik tanganku untuk memeluk lengan kekarnya. Sontak itu membuatku kaget, tapi juga senang.

"Kenapa?" tanya Arthan sedikit berbisik, takut kedengaran oleh oma dan yang lainnya, sebab kami sudah hampir memasuki area pesta.

Aku menggeleng. "Kita harus kelihatan mesra." Sekali lagi Arthan memperingatiku akan hal itu.

Kami berjalan beriringan menuju kursi pelaminan. Bisa kulihat para tamu undangan yang terus melihat ke arah kami, aku dibuat salah tingkah oleh setiap tatapan itu. Rasanya seperti menjadi artis dadakan, belum lagi para media turut hadir untuk meliput pernikahan putra keluarga Mahardika.

Duh, suasana keramaian ini membuatku gugup. Kakiku terus gemetar dibalik juntaian rok panjang yang menutupi kaki. Seolah tahu akan rasa kegelisahanku, Arthan lantas mengusap punggung tangan kananku sambil menoleh.

"Apa kamu perlu minum obat penenang?" tawar Arthan sekali lagi berbisik.

"Tidak," tolakku.

Sebenarnya, usapan tangan Arthan sudah lebih dari cukup untuk menghilangkan rasa gugupku. Tidak sepenuhnya hilang, tapi lumayan untuk mengurangi. Setidaknya aku masih bisa mengeluarkan sedikit senyuman ketika para tamu datang menyalami kami.

Keluarga Arthan dan juga bapak ibuku sibuk menyapa para tamu, terutama Windi yang sibuk berkeliling menyapa teman-teman SMA-nya. Dia kelihatan sangat cerita dengan balutan gaun merah muda.

Untuk pertama kalinya aku melihat dia tertawa disana, tapi sedih juga karena tawa itu bukan karena aku. Mungkin nanti aku bisa membuatnya tertawa setelah kami saling mengenal lebih jauh.

"Selamat atas pernikahannya, ya. Semoga bisa cepat dapat momongan, dan menjadi keluarga yang bahagia dunia akhirat!"

Begitulah ucapan selamat yang kami terima dari para tamu undangan. Sampai tibalah waktunya aku dan Arthan sungkeman pada kedua orang tua kami. Suasana berlangsung dengan penuh khidmat, tenang dan sedikit air mata yang lolos.

Oma mencium dahiku dengan lembut dan penuh kasih sayang, dia benar-benar menerimaku dengan tangan terbuka. Begitu juga dengan mama Rani dan papa Gavin, mereka tak lepas dari sebuah ciuman di pipi ini.

"Welcom to the hell, Kakak ipar! Aku akan membuatmu menyesal telah menjadi bagian dari keluarga kami," bisik Windi ketika kami berpelukan.

Aku tidak tahu maksudnya apa, tapi dari nada bicaranya jelas dia menyisipkan rasa benci dalam kelimatnya.

"Windi bilang apa?" tanya Arthan ketika kami sudah kembali kursi pelaminan.

Mungkin sebaiknya Arthan tidak usah tahu, sebab aku tidak ingin merusak suasana hatinya. "Tidak ada, itu tidak penting," jawabku.

Sepasang mata ini menangkap sebuah bayangan seorang wanita yang berjalan dengan sebuah kado di tangannya. Dia memakai baju dress warna cream dengan rambut terurai panjang. Aku yakin rambutnya sudah di catok, sampai lurus seperti lidi.

Wanita berambut pirang itu berjalan menghampiri kami, bermaksud menyalami kedua mempelai bersama para anggota keluarga yang berdiri di sampingku dan Arthan. Melihat raut wajah oma yang mendadak semu, membuatku berpikir aneh tentangnya.

Wanita itu tersenyum pada Arthan. "Hay, selamat, ya!" Hanya itu yang dia ucapkan, tapi senyum simpulnya seolah mengandung banyak arti.

"Terima kasih sudah mau datang," balas Arthan pula.

Sekarang wanita itu beralih menyalamiku. "Selamat ya, Nadia. Pernikahan kalian begitu mewah," katanya pula.

"Terima kasih."

"Eum ... kamu cantik, aku jadi ingin berkenalan denganmu. Lain kali kita ngobrol-ngobrol, ya?" Wanita itu terlihat ramah, senyumnya juga manis sekali.

Dengan senang hati aku membalas senyumnya. Mengiyakan dengan ramah juga basa-basi sedikit dengannya. Aku tidak tahu dia siapanya Arthan, tapi kelihatannya dia wanita yang baik.

Selesai resepsi, aku dan Arthan langsung masuk ke kamar yang sudah di siapkan untuk kami. Acara selesai jam 12 malam, jadi sudah pasti aku lelah sekali. Menyalami satu per satu tamu undangan, juga mengucap kata 'terima kasih' berulang kali.

"Kamu ... akan tidur di sofa?" tanyaku melihat Arthan yang sudah berganti baju merebahkan diri di sofa panjang.

"Iya, kamu pikir kita akan apa? Melakukan ritual malam pertama?"

"Bukan itu. Kamu pasti lelah, jadi lebih baik tidur di kasur supaya bisa lebih nyenyak. Memangnya kamu tidak lelah?" Sedikit mengernyit mendengar pertanyaan Arthan mengenai 'ritual malam pertama', tapi aku hanya menganggapnya sebagai lelucon saja.

"Saya memang lelah, tapi saya tidak bisa tidur satu ranjang sama kamu."

"Kalau begitu biar aku yang tidur di sofa," usulku lagi.

"Kalau tidurmu jadi tidak nyenyak, bagaimana?"

"Ah, itu masalah kecil. Panjang sofa ini hampir sama dnegan tinggi badanku, jadi hanya perlu menekuk kaki sedikit dan aku bisa tidur lelap. Kalau kamu 'kan ... kamu tinggi, jadi pasti akan susah tidur di sofa."

Itu kenyataan. Arthan itu jangkung, pasti tubuhnya bisa sakit-sakit besok kalau sampai dia tidur di sofa. Lagian dia yang menyewa hotel, masa iya dia juga yang harus tidur di sofa. Rasanya tidak adil sekali, 'kan?

"Ya sudah, kamu juga ganti baju sana! Saya risih melihatmu pakai baju begitu saat tidur," titah Arthan lalu pindah ke kasur.

Tentu saja aku akan mengganti baju, mana mungkin tidur dengan baju seperti ini. Masuk ke kamar mandi, menutup pintu dan segera berganti pakaian. Sialnya, resleting bagian punggung baju ini susah dibuka.

Padahal baju baru, tapi resletingnya bisa susah begini. "Ada apa?" tanya Arthan ketika melihatku keluar lagi dari kamar mandi dengan masih memakai baju pengantin.

"Eum ... anu, re—resletingnya susah dibuka. Apa kamu bisa membantuku membukanya?" pintaku sedikit malu.

Mau tak mau, Arthan pun turun dari ranjang. Dia sempat meledekku dan mengatakan kalau aku tak becus, padahal dia sendiri kesulitan membuka resletingnya. Sampai akhirnya usaha laki-laki jangkung itu membuahkan hasil.

Setelah terbuka, aku langsung masuk lagi ke kamar mandi, sementara Arthan masih berdiri mematung di depan kamar mandi setelah melihat punggungku. Kenapa, ya?

avataravatar
Next chapter