8 8-AKAD

"Sah!"

Terdengar suara menggema, meneriakan sebuah kata yang menjadi pertanda terikatnya dua insan dalam satu tali pernikahan. Hati bergetar, menyadari hari ini aku sudah berubah status menjadi seorang istri dari laki-laki bernama lengkap Arthan Mahardika.

Pewaris utama seluruh kekayaan sang papa, Gavin Mahardika yang di ketahui seorang pengusaha sukses di Jakarta serta sedang mengembangkan bisnis cengkeh di Jambi. Sebuah teriakan tipis menggema dihati, mengingat langkah apa yang kuambil.

Rasanya hampir tak percaya, aku telah dikhitbah seorang lelaki yang sama sekali tak pernah kubayangkan sebelumnya. Ibu dan tante Rani yang kini menjadi mertua, mengiringi langkahku keluar dari kamar menuju meja akad.

Semua saksi melihatku dengan penuh rasa kagum, baju yang kukenakan memang sederhana, hanya baju kemben biasa. Tapi riasannya lah yang membuat diriku berbeda. Mama sengaja memberi baju ini, sebab gaun putih itu untuk acara resepsi nanti malam di hotel.

Aku dudu di samping kiri Arthan, kepala tertunduk dengan perasaan campur aduk. Laki-laki yang kini sudah menjadi suamiku itu, terlihat sangat tampan dengan jas hitam yang dia kenakan.

"Alhamdulillah, sekarang kalian sudah resmi menjadi sepasang suami istri. Ayo, kalian bisa saling bertukar cincin sekarang," kata oma, memberikan kotak berisi sepasang cincin pada kami.

Arthan memasangkan cincin untukku lebih dulu, kemudian dia mengecup kepalaku dengan pelan. Sebuah benda kenyal itu menempel sempurna, memberi instruksi pada mata untuk tertutup. Kemudian aku juga memasangkan cincin pada jari manis Arthan, lalu mencium punggung tangannya.

Tangan ini, tangan kekar yang akan menjadi imamku selama satu tahun kedepan. Untuk pertama kalinya aku mencium tangan lelaki selain tangan bapak, rasanya seperti ... bahagia, tapi juga sedih. Karena pernikahanku dan Arthan pada dasarnya bukan atas dasar cinta.

"Bagaimana perasaanmu?" tanya Arthan ketika akad selesai, dan sekarang kami sedang duduk sofa sambil meluruskan kaki.

"Aku? Entahlah, pernikahan ini rasanya seperti status palsu untukku."

"Ingat, Nadia. Kita harus selalu kelihatan mesra didepan oma, saya tidak mau dia curiga dengan pernikahan kita."

Aku menoleh padanya. "Iya, aku tahu."

Beberapa saat terdiam, akhirnya oma memanggil kami untuk acara sesi foto. Baru kali ini aku melihat sosok ayahnya Arthan secara langsung. Dia berperawakan tinggi, sedikit brewok dan juga tampan.

Ada ibu dan bapakku juga, tak lupa mama Rani dan Windi yang ikut serta bersama kami dalam foto keluarga.

"Papa tidak menyangka, Arthan bisa menikah dengan gadis secantik kamu." Papa menghampiriku ketika sesi foto selesai.

Semua orang mengerubungi kami, kecuali Windi yang sibuk bermain ponsel di pojokan. Dia kelihatan benar-benar tidak tertarik dengan pernikahan ini. Meskipun begitu, aku sudah sangat senang karena dia tetap mau hadir.

"Iya, kan Mama sudah bilang pada Arthan untuk mencari istri yang lebih baik dari pada pacarnya. Terbukti 'kan, Nadia lebih baik darinya," sahut oma memegang kedua belah pundakku.

Tunggu, pacar? Jadi Arthan punya pacar? Kenapa dia tidak memberitahuku? Oh, iya aku lupa. Dalam surat perjanjian tertulis kalau kami tidak boleh saling ikut campur satu sama lain kecuali hal itu ada kaitannya dengan pernikahan kami.

Mungkin Arthan sengaja tidak memberitahuku, karena memang dia ingin merahasiakannya.

"Kalau Mama sendiri, terserah Arthan saja mau menikah dengan siapa. Dia sudah dewasa, jadi berhak menentukan pilihannya." Sekarang mama Rani ikut bersuara.

"Iya, tapi bisa kali pilih istri yang jauh lebih baik, jangan kampungan seperti itu!" timpal Windi yang jaraknya tak jauh dari kami.

Kesal, ibuku ingin sekali membungkam mulut Windi. Tapi aku segera menghentikannya dengan isyarat mata. Untungnya ibu masih bisa mengendalikan diri, jadi mereka tidak sempat bertengkar.

"Arthan tidak mungkin salah pilih, Nadia ini perempuan sholehah, putri kami ini juga penurut, dan juga ... pintar memasak! Dijamin, Arthan akan ketagihan dengan masakan buatan Nadia," sahut ibu pula membangga-banggakan aku, bermaksud menyindir Windi.

Semua orang tertawa mendengarnya. Kecuali Arthan yang kelihatannya tak tertarik dengan topik hari ini. Papa Gavin mengajak bapak mengobrol di ruang tengah, sementara itu Arthan memilih untuk pergi ke kamar dan mempersiapkan diri untuk resepsi nanti malam.

"Adik ipar kamu itu kelihatannya tidak suka padamu, dari tadi kerjanya menyindirmu terus!" bisik ibu di telinga kiriku.

"Sudahlah, Bu. Biarkan saja, namanya juga anak SMA," jawabku.

"Tapi dia sudah menyebutmu kampungan, benar-benar perlu di sekolahkan lagi mulutnya." Ekpresi tak suka ibu perlihatkan sambil memandang Windi di pojok sana.

Bibirnya naik kesana-kemari sambil terus mengatakan hal buruk tentang sikap Windi. Aku yang merasa jengah memilih untuk pergi ke kamar dan berganti baju.

"Ya sudah, kamu ke kamar saja. Ibu mau keliling rumah ini dulu, penasaran sama isinya."

"Jangan melakukan hal aneh, Bu. Ini rumah keluarga Arthan, malu kalau sampai—"

"Iya, iya. Kamu pikir Ibu akan melakukan apa? Memaling perhiasan?" Ibu nyelonong pergi begitu saja setelah menyela ucapanku.

Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkahnya yang selalu begitu. Pamit pada oma dan mama Rani, lalu bergegas ke lantai atas. Tadi aku sudah sempat kemari, jadi aku tidak perlu petunjuk arah lagi untuk sampai di kamar Arthan.

Kulihat laki-laki itu sedang di duduk sendiri di sisi ranjang sambil memainkan ponsel. Sebenarnya aku penasaran dengan pacarnya Arthan, tapi apakah sopan bertanya hal yang lebih pribadi padanya?

"Sebaiknya kamu ganti baju, memangnya kamu tidak merasa sesak?"

Baru saja ingin bertanya, Arthan sudah lebih dulu bicara dan menyuruhku ganti baju. "Eum, iya. Aku akan ganti baju," jawabku pada akhirnya menuruti kemauannya.

Kuambil sehelai baju yang sudah di sediakan diantara gantungan baju dekat meja rias. Tunggu, bagaimana aku bisa ganti baju kalau Arthan masih duduk di ranjang? Antara bingung dan malu, aku menggigit bibir bawah sambil memutar badan.

Seolah tahu tahu ada masalah, Arthan pun bertanya. "Kenapa?"

"Eum ... bagaimana aku bisa ganti baju, kalau kamu ada disitu?"

"Memangnya kenapa? Kita 'kan sudah sah?"

Haish, dia gimana, sih? Katanya tidak boleh berhubungan badan, otomatis aku tidak mau menunjukkan tubuh polosku didepannya. Malu dong. Tapi, dasar Arthannya tidak peka.

"Huft ... tapi 'kan—"

"Iya, iya. Saya paham. Waktu kamu sepuluh menit, saya tunggu diluar," putus Arthan lalu berdiri dari duduknya.

Sepuluh menit? Apakah cukup untuk berganti baju dari baju pengantin ke baju gamis? Bismillah, semoga bisa. Walaupun aku tak tau bagaimana caranya membuka lilitan hijab yang cukup ribet ini.

Melihat diriku di cermin, membuat aku kembali bertanya akan statusku sekarang. Istri?! Ya, aku sudah menjadi seorang istri. Rasanya seperti mimpi, yang bahkan aku sendiri tak tahu akhirnya akan seperti apa.

avataravatar
Next chapter