7 7-BUTIK

Arthan benar-benar serius dengan pernikahan ini, dia bahkan sudah menyiapkan semua tetek bengek pernikahan, mulai dari hal kecil sampai hal besar. Dia juga mengurus keperluan surat-surat pernikahan kami ke KUA dengan mengandalkan kartu keluarga dan akte kelahiranku.

Semuanya sudah beres dalam kurun waktu tiga hari, mungkin itu karena dia juga punya kuasa dengan uang, maka semuanya bisa selesai dengan cepat. Dan hari ini, giliranku mengurus gaun pernikahan.

Maksudnya, baju pengantin untukku dengan di dampingi oma dan juga tante Rani. Tak lupa juga si adik bungsu, Windi ikut bersama kami. Mereka datang menjemputku pagi-pagi sekali dengan sebuah mobil van mewah warna hitam.

"Ini dua desain undangan yang sudah jadi, kamu lebih suka yang mana?" tanya oma padaku sembari menunjukkan contoh kartu undangan berbeda.

Undangan pertama bertema serba hitam, tulisannya berwarna emas dengan sebuah kaligrafi arab di kedua sudutnya. Sedangkan yang satu lagi bertema putih, tulisan berwarna emas dan juga sedikit lebih ceria.

"Kalau menurut Mama, lebih bagus yang hitam. Elegan dan tidak terlalu norak." Tante Rani memberi pendapat tanpa diminta. Tapi aku malah salah fokus dengan sebutan diri yang dia gunakan. Mama?

"Kalau Oma suka yang putih, kelihatan lebih cerah dan melambangkan kesucian pernikahan, sebab dia berwarna putih." Kini oma ikut memberi suara.

Dua suara berbeda, dengan pendapat masing-masing. Aku sendiri bingung harus memilih yang mana, sebab kedua undangan itu sama-sama bagus. Yang satu elegan, dan yang satu terlihat lebih berwarna.

"Kalau menurut Windi, lebih bagus yang mana?" tanyaku pula pada adik Arthan yang duduk berhadapan denganku, tepat di samping tante Rani yang posisi duduknya membelakangi supir.

Gadis berbaju kaos pendek dengan celana jeans ketat itu melirikku dengan tatapan tak suka miliknya. Pupil mata yang menggunakan soft lens itu mendelik tajam padaku, bibirnya terangkat sebelah sebelum akhirnya di membungkuk.

"Menurutku, tidak ada undangan yang lebih bagus, selama masih ada namamu di dalamnya!" kata Windi bengis.

Ya, Allah. Sebegitu besarnya kah rasa benci Windi padaku? Padahal aku tidak pernah melakukan apapun padanya. Bertemu saja baru dua kali termasuk hari ini, tapi dia kelihatan sudah menaruh rasa benci itu sangat dalam.

Sebenarnya dia ada masalah apa? Apa pakaianku masih terlihat kampungan? Jelana kulot lebar dengan atasan blues hijau lumut masih terlihat kampungan di matanya?

"Windi, jaga bicaramu. Mama tidak pernah mengajarkanmu seperti itu," omel tante Rani yang merasa kelakuan anaknya keterlaluan.

Tapi justru hal itu malah membuat Windi semakin sinis padaku. Dia bahkan lebih memilih memandang jalanan dari pada bicara padaku, sepertinya aku memang harus ekstra sabar menghadapi adik bungsu Arthan yang satu ini.

"Jadi, kamu pilih yang mana?" tanya oma lagi.

"Dua-duanya bagus, Oma. Aku tidak tahu harus pilih yang mana," jawabku yang memang pada nyatanya bingung.

"Baiklah, nanti kita tanya Arthan saja. Biar dia yang memutuskan," putus tante Rani mengakhiri diskusi singkat kali ini.

Kami tiba di sebuah butik dengan dinding yang terbuat dari kaca. Itu tentu bukan sembarang kaca, pastinya kaca yang digunakan jauh lebih tebal dengan kualitas terbaik.

Bisa dilihat dari luar ada banyak koleksi gaun pengantin milik mereka. Aku pun di bawa oleh tante Rani menuju ke salah satu ruangan yang sudah menyediakan beberapa baju pengantin muslimah dengan berbagai model.

Modelnya macam-macam, tapi pandanganku jatuh pada sebuah gaun pernikahan bertema india berwarna merah maron dengan pernak-pernik cantik di sekitar dadanya. Kelihatan mewah, tapi tidak terlalu glamor sebab warnanya tidak mencolok.

"Yang ini bagus, tapi harganya pasti sangat mahal," gumamku.

Tanpa kusadari, ternyata oma mendengarnya. "Tidak usah pikirkan soal harga, kamu cukup memilih gaun mana yang kamu suka dan kami akan membayarnya."

"Eum, tapi aku sepertinya kurang suka dengan gaun ini. Terlalu ribet, lebih baik aku pilih yang ini." Kini aku beralih memegang lengan baju warna putih berbahan chiffon. "Lebih simpel dan sesuai dengan pernikahan yang suci, karena warnanya putih," tambahku lagi.

"Wah, ternyata selera kita sama. Tadi Oma juga sempat melirik gaun itu, terkesan elegan ya?"

Windi melihat keberasaanku dan oma, dari lirikan matanya memperlihatkan sebuah nada ejekan. Sebuah senyum meremehkan pun tak lepas darinya saat dia berjalan menghampiriku.

"Kamu pasti baru pertama kali datang ke butik mahal seperti ini, sampai-sampai matamu itu tak pernah berhenti memandangi isi toko," celetuk Windi.

Memang benar aku tidak pernah datang ke butik mahal, tapi aku tidak seperti itu. Bukannya wajar mataku berkeliling, namanya juga sedang mencari baju pengantin.

"Oma heran padamu, sejak tadi sibuk mengomentari Nadia. Memangnya tidak ada kegiatan lain?"

"Ish, Oma! Dia itu sengaja ingin menyamakan seleranya dengan Oma, supaya bisa mengambil hati Oma dan membuat kita terus beradu mulut!" seloroh Windi pula.

Untungnya tante Rani bisa menarik Windi menjauh dari kami dengan menawarkan sebuah gaun berwarna pink untuk gadis itu. Oma bilang, jangan pedulikan omongan Windi, sebab dia masih terlalu kecil untuk memahami masalah pernikahan.

Sebenarnya aku juga tak ingin terlalu memikirkan omongannya, tapi semakin aku berusaha melupakannya, semakin melekat pula setiap kata yang dia ucapkan di kepalaku. Baiklah, sepertinya ini efek sindrom bridezilla yang merupakan sindrom pra-nikah menjelang hari pernikahan. Dimana, biasanya pasangan akan pusing dan memiliki perasaan yang sangat sesnsitif terhadap apapun menjelang hari-H.

Setelah lama memilih, akhirnya pilihanku jatuh pada sebuah gaun pernikahan simpel warna putih berbahan chiffon yang tadi aku dan oma sukai. Tante Rani juga sudah menentukan pilihannya, serta Windi yang sudah cocok dengan gaun mini dress pilihan sang mama.

Kami segera pulang setelah urusan pembayaran selesai. Oma selalu setia mendampingiku di samping kanan, sementara tante Rani bersama Windi berjalan di belakang.

Bruk.!

Mendadak aku terjerembab ketika hendak keluar butik. Membuat seluruh tubuhku mencium lantai dengan posisi seperti orang sujud. Tentu saja itu ulah Windi, dia sengaja menginjak ujung sepatu pansusku.

"Aduh, kalau jalan yang bener, dong! Bikin malu aja!" hardik Windi yang lebih dulu bersuara sambil menahan tawa.

"Windi!" bisik tante Rani bermaksud memarahi Windi.

Cepat-cepat oma membantuku kembali berdiri. Sakit sih, tapi tak apa. Untungnya bukan mulutku yang pertama mencium lantai, tapi bisa jadi lututku yang justru terluka.

"Haduh, kamu tidak apa-apa 'kan? Tidak ada yang luka?" Oma terlihat khawatir seraya memperhatikan setiap detail tubuhku.

"Tidak apa-apa, Oma. Aku baik-baik saja."

"Lagian hanya jatuh begitu, mana mungkin bisa luka, Oma. Lebay namanya kalau sampai dia terluka," sungut Windi yang sejak tadi mulutnya tak mau diam.

Aku tak berkata apa-apa untuk membalas perkataan gadis itu, kecuali oma yang langsung melirik tajam. Windi yang paham akan arti lirikan itu langsung diam, dia malah nyelonong pergi begitu saja menuju mobil tanpa pamit.

"Ajari anakmu sopan santun, dia sudah kelewat batas!" tukas oma pada tante Rani sebelum akhirnya membawaku pergi dari sana.

avataravatar
Next chapter