6 6-LAMARAN

Allah selalu punya skenario indah untuk setiap hambanya dalam segala urusan mereka. Baik rejeki, maut ataupun jodoh. Seorang pria mendambakan wanita yang sempurna dan begitu juga wanita mendambakan sosok pria sempurna, namun mereka tidak tahu bahwa Allah telah menciptakan mereka untuk saling menyempurnakan satu sama lain.

Menikah adalah ibadah terpanjang dan terlama, karena dengan menikah engkau akan menyempurnakan setengah perjalanan agama dan kehidupanmu. Tapi ... apakai pernikahan yang akan kujalani nanti termasuk ibadah? Kurasa tak ada ibadah yang dibuat diatas kertas perjanjian.

Semalaman suntuk aku sudah mengadu pada Allah tentang baik buruknya pernikahan ini. Tapi, sampai sekarang pun aku belum mendapatkan jawabannya. Yang ada di kepalaku adalah, ini pernikahan. Tidak bisa kawin-cerai seenaknya, tapi sepertinya aku harus tetap memenuhi permintaan Arthan, sebab dia sudah membuatku berhutang budi padanya.

Selesai sholat zuhur, aku langsung kembali ke ruang rawat bapak untuk menemaninya makan siang. Ada ibu juga disana, tapi dia sedang istirahat sambil telponan dengan salah satu karyawan di usaha laundry-nya.

"Kamu sudah bicara pada calon suamimu, kapan dia bisa menemui Bapak?" Kugigit bibir bawah bagian dalam ketika mendengar bapak bertanya seperti itu. "Kamu sudah mau menikah, masa iya Bapak belum di kenalkan pada calonmu," imbuh bapak lagi setelah menerima suapan nasi dariku.

"Tadi malam aku sudah mengirim pesan pada Arthan, tapi sampai sekarang dia belum membalas pesanku, Pak." Meski sudah dibaca, tapi Arthan tidak membalas sama sekali.

Kupikir dia memang belum ada waktu untuk menemui bapakku, sebab dia orang sibuk. Tidak tahu kesibukan arsitek itu apa saja, tapi aku yakin hidupnya tidak melulu diam di rumah.

"Hm, Bapak sudah tidak sabar bertemu calon menantu, ya?" Kini ibu ikut menimpali setelah dia selesai dengan urusannya.

"Iya, Bu. Bapak ingin tahu, seperti apa calon suami anak kita," sahut bapak.

"Dia itu kaya, Pak. Bahkan jauh lebih kaya dari pada mantannya Nadia yang tega meninggalkan dia di pelaminan dulu!" Seperti biasa, ibu selalu antusias jika membahas tentang Arthan.

Bapak dan ibu sibuk membicarakan Arthan, dan beberapa saat kemudian orangnya datang. Iya, aku juga tidak menduga sebelumnya kalau Arthan akan datang menemui bapak. Bukan hanya sendiri, tapi juga bersama mama dan oma-nya.

Kaget, bingung dan heran bercampur jadi satu. Kulihat Arthan dari kejauhan, dia sama sekali tak berniat untuk menyapaku. Kenapa sifatnya seperti itu? Benar-benar cuek dan tak mau menjelaskan apa yang akan dia lakukan disini.

"Bagaimana kabarnya, Pak? Sudah lebih baik?" tanya oma ramah, sama seperti biasanya.

"Alhamdulillah, sudah lebih baik dari sebelumnya," jawab bapak dalam mode bingung sambil menatapku, penuh tanda tanya.

Dengan isyarat mata, aku bisa mengerti kalau bapak bingung dengan orang-orang ini. Siapa mereka? Mungkin itu pertanyaan yang bapak maksud. Dan aku hanya menjawab dengan cengiran konyol.

"Ini oma-nya Arthan, ya?" tanya ibu yang langsung di angguki oleh oma. "Perkenalkan, saya Ira, ibunya Nadia," sambung ibu lagi.

Jelas ibu sangat antusias berkenalan dengan keluarga Arthan. Dia juga memperkenalkan bapak pada mereka, terlihat penuh dengan aura positif di wajahnya. Jarang-jarang ibu mau bersikap ramah seperti ini, lantaran sifatnya yang dari dulu memang selalu jutek.

Keluarga Arthan dan keluargaku pun saling mengenal, berbincang ringan sambil menyantap potongan buah yang sengaja Arthan bawa untuk bapak. Aku sendiri masih duduk di kursi samping brankar bapak tanpa mau terlibat percakapan antara para ibu.

Sementara Arthan, tante Rani, oma dan juga ibu sibuk mengobrol di sofa yang tersedia di ruang VIP ini. Sampai akhirnya Arthan buka suara mengenai keinginannya untuk menikahiku.

"Jadi, sebenarnya saya datang ke sini ingin meminta restu dari Bapak, dan juga Bu Ira untuk menikahi Nadia, putri kalian," kata Arthan.

Ibu dan oma-nya Arthan tersenyum bahagia mendengar hal itu. Kecuali aku dan bapak yang masih dalam mode bingung. Mungkin lebih tepatnya aku yang bingung, sebab menghadapi situasi semacam ini seolah deja vu dengan kejadian dulu.

Masa lalu kelam itu berawal dari sebuah kalimat lamaran, tapi berakhir pada sebuah penyesalan yang membawaku sampai ke titik dimana kehidupanku berubah 180 derajat. Aku bahkan masih mengingat wajah lelaki yang pernah meninggalkanku begitu saja, rasa sakitnya juga masih terasa. Yang kutakutkan adalah, luka hati itu kembali menganga setelah menikah dengan Arthan.

"Meski saya belum mengenal kamu, tapi saya percaya kamu bisa menjaga putri saya. Sekarang kamu hanya perlu meminta persetujuannya saja," jawab bapak atas permintaan Arthan setelah beberapa saat terdiam.

Semua orang langsung menatapku. Menunggu jawaban yang bahkan aku sendiri masih ragu. "Dengan bismillah, insyaAllah aku siap menikah denganmu, Arthan." Akhirnya sebuah kalimat yang di tunggu-tunggu pun keluar.

Kalimat hamdallah terdengar bersahutan setelahnya. Ibu adalah orang yang paling bahagia sekarang, lihat saja dia sampai senyum-senyum begitu. Oma berdiri dan langsung menghampiriku dengan membawa sebuah kotak cincin berbahan beludru warna merah.

"Lihat, Oma sudah menyiapkan sebuah cincin untukmu. Kamu suka?"

"MasyaAllah, ini indah sekali, Oma. Aku suka." Sebuah cincin berlian berukuran sedang warna perak dengan sebuah berlian putih di atasnya.

Terlihat simpel, namun tetap cantil. Dan aku yakin harganya tidak main-main, melihat kilauannya saja membuat mataku serasa terlalu murahan meski hanya sekedar memandangnya.

"Kalau begitu, kamu coba dulu, ya? Ini akan menjadi cincin pernikahanmu dan Arthan nanti." Oma memasangkan cincin itu di jari manisku, ternyata ukurannya pas.

Tak perlu di ragukan lagi, aku jelas menyukainya. Terlihat indah saat melingkar di jariku, rasanya bahagia sekali. Oma terlihat sangat senang, dia terus tersenyum sambil memandangi tanganku.

"Bagaimana pendapatmu, Rani? Cantik bukan?" tanya oma pada mamanya Arthan yang dari tadi hanya diam saja.

Kupikir dia tak suka, atau lebih tepatnya belum bisa menerimaku sepenuhnya. Tapi ternyata tidak, dia justru berdiri dan ikut mendekat ke arahku dan tersenyum lebar. "Iya, cantik seperti orangnya," puji tante Rani.

"Jadi, kapan pernikahannya akan digelar?" tanya ibu tiba-tiba membuat semua orang langsung menatapnya dengan ... aneh.

Aku juga jadi merasa tak enak, sebab ibu kelihatan lebih antusias dari pada yang lain. Sampai oma pun tertawa mendengar pertanyaan itu.

"Bu Ira tenang saja, kami sudah memulai persiapannya dan seminggu lagi mereka bisa menikah," jawab oma dengan ramahnya.

"Benarkah? Wah, akhirnya anakku akan menikah juga!"

Duh, melihat reaksi ibu, membuatku jadi malu sendiri. Terutama pada Arthan yang sejak tadi melihat ibuku dengan aneh. Pasti dia heran pada ibu, semoga saja hal itu tidak mengurangi rasa hormat Arthan pada keluargaku.

Cicin kembali di lepas dan masuk kembali ke tempatnya. Arthan bersama keluarganya juga berpamitan pulang. Bapak sempat bertanya mengenai keberadaan papa Arthan yang tidak kelihatan, dan laki-laki itu menjawab jika papanya masih ada urusan dengan pabrik cengkehnya di Jambi.

"Terima kasih, ya kamu sudah mau datang. Kupikir kamu tidak bisa datang, sebab kamu sama sekali tidak membalas pesanku," kataku pada Arthan sebelum dia melangkah pergi dari ruangan.

Tante Rani dan juga oma sudah berjalan duluan, tapi Arthan masih menyempatkan diri berbincang denganku.

"Iya, saya juga datang ke sini karena keinginan oma. Dia mau kenal dengan keluargamu, jadi sekalian saja saya bawa mama juga."

"Tentang perjanjian kita ... keluargamu—"

"Tidak, tidak ada satupun anggota keluargaku yang tahu. Itu rahasia kita, jadi jangan sampai siapapun mengetahuinya. Paham?" sela Arthan.

Aku mengangguk paham. Setelahnya, Arthan memutuskan untuk segera pergi sebelum mamanya kebingungan mencari anaknya. Kulihat punggung Arthan menghilang di kejauhan, semoga saja dia juga tidak menghilang seperti laki-laki itu.

avataravatar
Next chapter