4 4-KELUARGA ARTHAN

Menginjakkan kaki di lantai yang bahkan jauh lebih bersih dari pada wajahku sendiri, rasanya seperti mimpi. Apalagi bisa duduk diantara keluarga Arthan, semua ini tak ada dalam bayanganku sebelumnya.

Sebuah meja makan panjang dengan jejeran kursi di sekelilingnya menjadi tempat kami menyantap makan malam. Kulihat dari kejauhan ada banyak makanan, salah satunya ayam goreng kesukaanku.

Mungkin aku terlihat norak, tapi percaya atau tidak, ayam goreng melintasi lambungku sebulan sekali saja, itupun ketika bapak pulang setelah dua sampai empat minggu di proyek.

"Rani, coba lihat. Siapa yang Arthan bawa kemari," seloroh oma merangkulku mendekati meja makan.

Seorang wanita yang baru saja selesai menyusun piring di meja makan dengan sigap menoleh ke arahku. Bisa kupastikan dia adalah mamanya Arthan. Pakaiannya memang biasa, tapi lihatlah deretan emas di pergelangan tangan dan juga lehernya.

"Siapa ini?" tanya wanita yang di panggil Rani itu dengan mata penuh tanda tanya memandang oma dan Arthan secara bergantian.

"Ini Nadia, calonnya Arthan. Bagaimana? Cantik bukan?"

Mungkin mamanya Arthan merasa bingung, sebab raut wajahnya memperlihatkan kebingugan itu dengan sangat jelas. Dia melihatku dari atas kepala sampai ujung kaki. Oh, semoga saja dia bisa menerimaku, sebab jika tidak, maka aku bisa batal nikah.

Sedetik kemudian, sebuah senyum terbit dari wajah bingung itu. Menyelipkan rambutnya kebelakang, lalu mendekat ke arahku.

"Siapa namamu tadi?"

"Nadia, Tante. Nadia Alfariza," jawabku sedikit kaku.

"Oh, Nadia. Nama yang bagus."

Basa-basi yang bagus. Kelihatannya mama Arthan juga mau menerimaku. Dia segera mempersilahkanku duduk di samping Arthan. Sementara di kursi utama dibiarkan kosong. Didepanku ada oma dan juga tante Rani.

Oma sangat baik padaku, sikapnya begitu hangat dan selalu tersenyum. Tante Rani juga baik, dia menawarkan beberapa potong ayam padaku. Tidak mau terlihat rakus, aku memilih untuk memakan sepotong ayam bagian paha saja.

Aku tidak melihat keberadaan papanya Arthan. Apa mungkin ... ah, sudahlah. Jangan berpikir yang aneh-aneh.

"Jadi, kamu lulusan apa?" tanya tante Rani di sela-sela mengunyah makanan.

"Eum ..." Harus jujur atau tidak? Aku takut salah bicara.

"Dia masih kuliah, Ma," sela Arthan cepat.

Sepertinya dia tahu betul kalau aku sedang gugup. Tapi, kenapa harus jawab masih kuliah? Sedangkan aku sudah jelas-jelas putus kuliah. Berapa banyak kebohongan lagi yang harus di ungkap?

"Oh, ya? Kuliah dimana?"

"Di UI, Ma. Sudah semester enam, iya 'kan, Nad?" Arthan terus menjawab pertanyaan mamanya yang seharusnya di lempar padaku.

Tapi dari mana Arthan tahu aku kuliah semester enam? Padahal aku tidak pernah cerita apa-apa padanya tentang dunia kuliahku. Hal ini membuatku bingung sendiri.

Untungnya tante Rani tak bertanya lebih jauh, dia hanya mengangguk paham setelah mendengar jawaban dari anak laki-lakinya. Entah kenapa, aku merasa tante Rani tidak begitu tertarik padaku. Maksudku, dia memang baik, tapi sikapnya tidak lebih hangat dari pada oma.

Ya, hanya sikap ramah biasa. Entahlah, mungkin ini hanya perasaanku saja.

"Aku pulang!" Suara cempreng sedikit serak terdengar menggema ketika seorang gadis berteriak dari arah ruang tengah yang memang tak memiliki dinding pembatas dengan ruang makan.

Tampak seorang gadis berpakaian SMA berdiri di dekat sofa sambil memandang ke meja makan. Siapa dia? Apa mungkin itu adiknya Arthan? Sebab dia masih pakai seragam SMA.

"Windi, sini makan malam bareng oma dan juga calon kakak ipar kamu," ajak oma melambaikan tangannya.

Fiks, itu pasti adiknya Arthan. Wajah mereka mirip, hanya saja gadis itu sedikit lebih putih dari Arthan.

Gadis yang di panggil Windi itu mendekat, orang pertama yang dia lihat tentunya aku. Matanya menyipit dengan bibir mengunyah permen karet. Sebuah tas sandang yang dia bawa di sangkutkan di atas kepala, membentuk bando yang terbuat dari tali tas yang tak sesuai fungsinya.

"Siapa, nih? Pembantu baru?" tanyanya menatapku sinis.

Sontak oma langsung menoleh pada Windi yang berdiri di sampingnya. "Sembarangan! Dia ini calon kakak iparmu, bicara yang sopan, dong!"

Windi tersenyum, tapi bukan senyum manis, melainkan lebih ke arah senyum yang keheranan atau lebih tepatnya menganggap omongan oma adalah lelucon.

"Hah? Calon kakak ipar?" Matanya menatapku dengan tajam. "Yang benar saja, masa iya kak Arthan milih dia sebagai calon istri. Sulit di percaya!"

"Windi, tidak baik berkata seperti itu. Lebih baik kamu duduk, kita makan malam bersama," sergah oma yang geram pada kelakuan cucunya.

"Tidak usah, selera makanku jadi hilang saat melihatnya!" dengus Windi lalu berbalik, hendak pergi ke kamarnya.

Tapi sebuah panggilan dari Arthan sukses membuat Windi berhenti melangkah. Suara berat khas Arthan yang menyebut nama Windi, membuat gadis remaja itu berdecak sebal.

"Apa sih, Kak?" Windi berbalik badan dengan malas, mulutnya masih senantiasa mengunyah permen karet dengan lincah.

"Duduk!" titah Arthan.

"Tapi—"

"Duduk!"

Sepertinya perintah Arthan sangat ampuh, buktinya Windi mau langsung duduk meski dengan ekspresi rada jengkel. Dia duduk di sebelah tante Rani, menghindari oma yang kelihatan masih tak suka pada sikapnya.

Sang mama mengambilkan beberapa sendok nasi, sayur dan juga ayam goreng. Gadis itu melepeh permen karetnya terlebih dahulu sebelum menyuap nasi ke mulutnya. Pandangannya tak pernah lepas dariku, sebenarnya dia punya masalah apa?

"Itu kak Nadia, calon istri kak Arthan. Seharusnya kamu bisa bersikap baik padanya," nasehat tante Rani yang sejak tadi hanya diam saja.

"Ck, aku heran pada kak Arthan, kenapa kakak bisa pilih dia sebagai calon istri? Selera kakak sangat rendah! Lihat saja pakaiannya, kumal! Belum lagi kain di kepalanya, jelek sekali!" hina Windi terang-terangan di depanku.

Duh, rasanya sakit sekali. Seorang gadis SMA bisa menghinaku secara gamblang, rasanya seperti dipermalukan satu desa. Apalagi didepan oma dan tante Rani, membuatku sedikit kesal juga.

"Windi, jaga ucapanmu. Kakak tidak suka!" tegas Arthan tanpa menaikkan sedikit pun nada bicaranya, kecuali tatapan mata yang semakin tajam.

"Huft, Sejak kapan selera kakak jadi turun begini? Memangnya tidak ada perempuan lain yang lebih baik dari dia, setidaknya cari yang derajatnya setara dengan kita, Kak. Bukan yang seperti ini." Windi terus menggerutu ngalor-ngidul mengenai diriku, dia juga mengomentari fisikku yang dianggap tak selevel dengannya.

Aish, masih SMA sudah berani bicara tak sopan. Sepertinya anak ini memang benar-benar tak suka padaku.

"Windi, sekali lagi kamu bicara seperti itu, uang jajan akan Oma stop!" ancam oma kali ini berhasil membuat Windi terdiam.

Yang bisa kulakukan hanyalah tersenyum, berusaha menahan kekesalan dalam hati setelah menerima hinaan adik bungsu Arthan itu. Untungnya oma selalu memberikan senyum hangatnya, hingga membuatku sedikit merasa lebih baik.

Dan tanpa kusadari, Arthan diam-diam memperhatikanku dari samping kanan—tempat dia duduk di sampingku. Mungkin dia mulai berpikir apa yang Windi katakan memanglah benar. Aku sendiri merasa kumal, karena seharian belum mandi.

Bagaimana bisa mandi? Sejak pagi sampai siang harus cari kerja. Sorenya aku menemani bapak operasi bersama ibu, dan malamnya aku langsung di ajak Arthan ke sini. Hm, sepertinya aku mencium aroma badanku sendiri.

avataravatar
Next chapter