19 19-PERTENGKARANKU DAN ARTHAN

Diam, hanya itu yang bisa kulakukan selama perjalanan pulang. Begitu juga dengan Arthan, dia bahkan kelihatan lebih kesal dari pada aku. Wajahnya ditekuk, alisnya juga terlihat terangkat yang menandakan sebuah kemarahan.

Sebenarnya aku sudah meminta Arthan untuk kembali ke pesta dari pada mengantarku pulang, tapi dia tetap memaksa. Dan inilah jadinya, kami jadi saling diam-diaman.

"Saya kecewa sama kamu, gara-gara kamu saya jadi harus meninggalkan pesta begitu saja," celetuk Arthan setelah beberapa saat terdiam.

"Kan aku udah bilang, kamu kembali aja ke pesta. Aku bisa kok pulang sendiri," bantahku.

"Mana mungkin saya membiarkan kamu pulang sendirian, Nadia. Apa kata oma nanti kalau dia tahu kamu pulang sendirian? Yang ada oma bisa curiga sama pernikahan kita!"

Sakit, itulah yang kurasakan setiap kali Arthan membentakku. Bahkan sekarang dia membentakku sambil memukul stir mobil. Sebagai suami, seharusnya dia peka dan bertanya ada apa dengan istrinya jika tiba-tiba aku mendadak menangis.

Tapi air mataku sama sekali tidak meluluhkan hati Arthan, dia bahkan terkesan cuek dan tidak peduli dengan apa yang kurasakan. Padahal, disaat seperti ini, suami adalah sosok yang paling kubutuhkan.

"Jangan nangis! Saya nggak mau oma curiga kalau lihat kamu habis nangis!" bentak Arthan lagi.

"Gimana aku nggak nangis, kalau kamu bentak-bentak aku terus, Mas!" Kini aku juga ikut meninggikan suara, tapi tentu tidak lebih tinggi dari suara Arthan.

Suamiku kelihatan kaget mendapat teriakan dariku. Mungkin dia merasa aneh, karena selama ini aku tidak pernah meneriakinya seperti itu.

"Kok, kamu malah marah sama saya? Seharusnya saya yang marah sama kamu karena sudah meninggalin pesta begitu aja!" protes Arthan tak terima.

"Aku juga tidak akan meninggalkan pesta kalau tidak ada Mario di sana, Mas," kataku dengan suara parau.

Entah apa yang ada di kepala Arthan sekarang, dia kelihatan bingung dengan pandangan yang menatapku dan jalan secara bergantian.

Tahu apa yang kurasakan saat ini? Rasanya sakit, punya suami tapi seperti tidak punya suami. Meski pernikahan kami atas dasar kesepakatan, tapi semuanya sah dimata hukum dan agama. Dan sudah seharusnya suami menenangkan istri yang sedang sedih.

Bukannya malah marah-marah, sampai membenak istri begitu. Arthan benar-benar bukan sosok suami yang baik. Aku malah jadi semakin teringat pada wajah Mario, kehadirannya malam ini membuat suasana hatiku benar-benar kacau.

"Memangnya ada apa dengan Mario?" tanya Arthan yang sudah menurunkan nada bicaranya.

"Kamu nggak perlu tahu," jawabku ketus.

"Saya berhak tahu, karena saya suami kamu!"

Heh, suami? "Terus, kamu sendiri kenapa nggak pernah cerita tentang Olivia ke aku?" tanyaku membalikkan pertanyaan Arthan.

"Ya, karena kamu nggak perlu tahu," jawab Arthan enteng.

Dasar suami tidak tahu diri. Dia berhak tahu apapun tentangku, tapi aku sama sekali tidak boleh tahu tentang dia. Suami macam apa itu?

"Mas, kamu bilang kamu suami aku, itu artinya aku istri kamu dan aku berhak tahu tentang kamu," kataku lagi.

Bukan apa-apa, aku hanya ingin mendengar penjelasan tentang Olivia dar Arthan langsung. Setidaknya dia harus memberitahuku siapa itu Olivia, dan aku ingin tahu dari dia, bukannya dari oma.

Bukannya menjelaskan, Arthan malah menarik napas jengah nan panjang. Dia juga sempat memejamkan matanya beberapa saat sebelum akhirnya kembali bersuara.

"Nadia, cukup ya. Saya nggak mau bertengkar sama kamu, jadi lebih baik sekarang kamu hapus air mata itu sebelum kita sampai di rumah," putus Arthan pula.

Arthan benar, sebaiknya aku menghapus air mataku sebelum sampai rumah. Karena kalau tidak, bisa saja oma curiga dan bertanya yang macam-macam nanti.

Sebuah mobil berwarna merah terparkir di halaman rumah, tepat di jalur paving block depan rumah yang seharusnya menjadi jalan untuk mobil Arthan lewat.

Aku tidak tahu itu mobil siapa, tapi Arthan langsung keluar begitu melihat plat mobil tersebut dengan jelas. Dia bahkan meninggalkanku di mobil begitu saja. Aku pun ikut keluar, dan ... hey, siapa wanita yang memeluk Arthan?

Dengan langkah pelan, kuhampiri mereka sambil bertanda tanya siapa wanita berambut panjang itu?

"Mas, kamu apa-apaan, sih?! Kenapa kamu main peluk perempuan lain di depan aku?" tanyaku sedikit kesal.

"Dia—"

"Hay, aku Olivia. Pacarnya Arthan, masih ingat sama aku?" sela wanita itu sambil mengulurkan tangan.

Melihat senyumnya, aku jadi merasa deja vu. Dan setelah aku ingat-ingat lagi, aku baru tahu kalau dia perempuan yang sama dengan perempuan yang menyalamiku di pelaminan waktu itu. Iya, aku baru ingat kalau dia perempuan yang memakai baju mini dress warna cream.

"Astaghfirullah, jadi kalian masih berhubungan?" tanyaku yang terkejut dengan kedekatan mereka.

Bahkan Arthan juga tak ragu untuk memeluk Olivia di depanku. Dan yang semakin membuatku kesal adalah, Olivia yang sama sekali tidak ada rasa malu untuk mencium pipi Arthan. Mereka kelihatan dekat sekali.

"Tentu saja kami masih berhubungan, karena saya sudah merencanakan pernikahan mewah bersama Olivia. Tepat setelah kita bercerai nanti," jawab Arthan kini tersenyum simpul.

Rasanya rongga paru-paruku seperti tersumbat. Melihat mereka bicara begitu mesra, saling bertanya kabar satu sama lain, seperti menerima irisan lembut di kulit. Arthan bertanya kenapa Olivia ada di depan rumahnya, dan perempuan itu menjawab jika dia merindukan suamiku.

Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi selain diam, menangis dan tak menyangka dengan apa yang kulihat sekarang. Arthan terang-terangan bersikap mesra di depanku yang notabene adalah istri sahnya.

"Sayang, seharusnya kamu nggak kesini. Kalau oma lihat bagaimana? Dia bisa marah sama kamu," kata Arthan mengelus kepala Olivia.

"Kamu tenang saja, oma tidak tahu kalau aku disini, jadi dia nggak akan marah."

"Mas!" Aku menarik tangan Arthan agar menjauh dari Olivia. "Kamu nggak boleh bersikap seperti itu sama dia," larangku.

"Memangnya kenapa? Dia pacar saya, kok."

"Karena kalian bukan mahram, Mas. Dosa!" kataku memperingati Arthan dengan panggilan 'mas' yang sepertinya sudah melekat di lidah.

"Hm, pantas saja Windi benci sama kamu. Ternyata seperti ini sifat kamu, suka ngatur-ngatur!" sahut Olivia melipat kedua tangannya di dada.

"Aku bukannya ngatur, tapi aku sedang menjaga suamiku dari perbuatan zina."

Arthan mendorongku yang mendekat ke arah Olivia. Sepertinya dia tidak suka dengan sikapku yang sedikit tegas pada mereka, terutama pada Olivia yang kutatap dengan tajam.

"Lebih baik sekarang kamu masuk!" titah Arthan. "Gak!" tolakku tegas.

"Masuk, Nadia!"

"Nggak mau, Mas! Aku nggak akan masuk kalau kamu masih diluar sama dia."

"Kalau begitu kamu masuk, tunggu saya di ruang tamu lima menit lagi." Kali ini aku menurut dan segera masuk ke rumah.

Kuintip dari jendela, tampaknya Arthan sedang bicara serius dengan Olivia yang sedikit kesal atas perlakuanku tadi. Entah apa yang mereka bicarakan, yang jelas pelukan terakhir yang Arthan berikan membuatku berteriak sakit.

Wajar 'kan kalau seorang istri tidak suka melihat suaminya memeluk wanita lain? Rasanya aku ingin berlari dan mencakar wajah Olivia sekarang juga. Apa mereka tidak memikirkan perasaanku? Ini benar-benar menyakitkan.

avataravatar
Next chapter