18 18-PESTA USAHAWAN MUDA

Malam ini aku bersiap dengan baju blues hijau muda dan celana kulot plisket putih. Memakai pakaian yang sedikit formal menjadi pilihanku di acara malam ini. Arthan juga sudah rapi mengenakan blazer biru navy, lengkap dengan celana berwarna senada.

Sekarang dia sedang di kamar mandi, dan aku tinggal memasang hijab di kepala untuk menyempurnakan penampilanku. Tapi aku dibuat gelagapan ketika Arthan tiba-tiba keluar dari kamar mandi dengan keadaanku yang masih belum memakai hijab.

"Kenapa?" tanya Arthan heran.

"A—aku malu kalau kamu melihat kepalaku tanpa hijab," jawabku sambil tertunduk dengan menyembunyikan kepala di balik hijab yang belum terpasang.

"Kenapa kamu harus malu memperlihatkan kepala kamu, sementara saya sudah melihat punggung polosmu di malam pertama setelah kita nikah?"

Benar juga, sih. Tapi tetap saja aku merasa malu. Konyol memang, tapi mau bagaimana lagi? Aku sudah terlanjut malu.

Arthan hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah anehku. Dia memilik ke balkon dan memainkan ponselnya disana. Sementara dia dibalkon, aku pun memasang hijab dengan cepat. Hijab pasmina yang sering kugunakan ini selalu menutupi dada, jadi tak perlu khawatir dadaku akan menonjol.

"Udah belum, sih? Lama banget," gerutu Arthan seraya menutup pintu balkon.

Aku pun berdiri dan berbalik badan untuk menatap Arthan. Hijab berwana senada dengan baju, yakni hijau muda yang tidak terlalu mencolok. Make up tipis dan juga sedikit memakai blush on untuk pewarna pipi.

Entah karena make up-ku menor atau apa, yang jelas Arthan kelihatan terdiam sesaat setelah melihatku. Bahkan matanya itu sampai lupa berkedip, dengan pandangan yang ... tak bisa kujelaskan artinya.

"Kenapa? Bajuku jelek, ya?" tanyaku bingung.

Arthan segera tersadar dan sedikit mendehem untuk menyeimbangkan suasana hatinya. "Nggak, kamu ... kamu cantik, kok!"

Pujian Arthan benar-benar membuatku senang sampai senyum pun mengembang begitu saja tanpa kusadari. "Terima kasih, aku senang kalau kamu puji begitu."

"Jangan terlalu kepedean, saya memuji kamu bukan karena saya suka sama kamu!" Arthan kembali dingin dengan wajah datar yang bahkan enggan menoleh padaku.

Tak apalah, yang penting aku sudah merasakan bagaimana rasanya di puji suami. Dan kalian harus tahu kalau ini rasanya sangat menyenangkan.

"Arthan, kita berangkat sekarang?" tanyaku ketika mendapati jam sudah menunjukkan pukul tujuh.

"Iya." Laki-laki itu merapikan kancing kemejanya dan segera berjalan ke arah pintu. "Eum ... saya pikir kamu jangan memanggil saya dengan nama, karena itu terdengar aneh sebagai sepasang suami istri," kata Arthan lagi menghentikan langkahnya.

"Lalu aku harus memanggilmu apa?" Aku jadi bingung, menjadi sepasang suami istri yang terlihat bahagia didepan orang lain ternyata bukan hal yang mudah.

"Entahlah, mungkin kamu bisa mencari nama panggilan untuk saya."

"Bagaimana kalau 'sayang'?" Arthan terdiam. Sedetik kemudian, dia menolaknya sebab itu panggilan sayang dari Olivia untuknya.

"Kalau 'Mas'?" tanyaku lagi. "Boleh juga, itu saja." Akhirnya Arthan setuju.

Kami pergi setelah berpamitan pada oma dan Windi. Gadis itu sempat meledek gaya berpakaianku yang dia pikir tidak cocok dengan gaya berpakaian Arthan. Tak apa, itu hanya pandangannya sebgaai gadis SMA.

Aku dan Arthan sampai di lokasi perayaan bertema indor yang di adakan di sebuah hotel pada pukul 19.30. Begitu masuk ke area pesta, sudah banyak orang disana. Mereka semua membawa pasangan masing-masing, mungkin itu sebagai pembuktian atas kesuksesan mereka yang selalu didukung do'a dari sang istri.

Arthan membawaku bertemu beberapa rekan bisnisnya yang bekerja sebagai sesama arsitek. Dia juga memperkenalkanku pada mereka dengan ramah dan ... tangannya yang selalu melingkar di pinggangku.

"Oh, jadi ini istrimu, Than? Wah, cantik sekali, ya?"

"Pantas saja Arthan selalu ceria, pasti karena istrinya."

Begitulah kira-kira tanggapan dari teman-teman Arthan. Mereka kelihatan begitu senang dengan kehadiranku, Arthan juga terus tersenyum selama perkenalan singkat kami.

"Iya, dong. Dia istri saya yang selalu membuat saya bahagia. Dia ini pandai memasak, makanya saya selalu ingin buru-buru pulang untuk mencicipi masakannya. Iya 'kan, sayang?" kata Arthan kali ini menoleh padaku.

"Iya, Mas," jawabku seadanya.

Arthan kembali berkeliling, menyapa satu per satu rekan kerja yang dia kenal. Aku senang berada disini, sebab Arthan kelihatan berbeda dengan dirinya saat di rumah. Dia nampak lebih friendly dan ramah, sekarang aku jadi bisa melihat sisi dia yang lain.

Sampai pada saatnya, dia memperkenalkan ku pada om yang dia maksud. Tapi aku justru tertegun setelah mengetahui siapa om Arthan. Dia ... ayah dari lelaki yang pernah membuatku menangis satu tahun lalu di hari bahagiaku.

Sama halnya denganku, dia juga terdiam. Kami berkenalan, tapi tanpa ekspresi selain kedataran. Seketika itu juga aku kembali teringat dengan wajah lelaki yang membuatku kehilangan semangat hidup.

Dan lelaki itu datang ketika Arthan memanggilnya. Kami berdua sama-sama terdiam, rasanya rasa sakit itu kembali terasa di dada. Mengingat apa yang pernah dia lakukan padaku, membuat mataku memerah dengan amarah yang tertahan.

Tapi beberapa detik kemudian, dia mengulurkan tangan untuk bersalaman denganku. Entah bodoh atau apa, dia sama sekali kelihatan baik-baik saja dengan seulas senyum di wajahnya.

"Nadia, ini anak om saya. Namanya Mario," kata Arthan.

"Hay, Nadia. Aku Mario, sepupunya Arthan," kata laki-laki itu ikut memperkenalkan diri.

Aku memilih menyatukan kedua tangan didepan dada, itu lebih baik dari pada berjabat tangan dengan Mario. Laki-laki yang sudah tega meninggalkanku di hari ijab qabul pernikahan kami.

Melihat wajahnya, membuatku kembali merasakan sesak di dada. Rasanya napasku pun ikut tersendat, sampai-sampai aku perlu meminum lebih banyak air untuk mengembalikan oksigen dalam tubuh.

"Oh, jadi ternyata kamu yang menikahi Arthan. Ternyata dunia itu sempit, ya?" bisik Mario ketika aku ditinggal seorang diri oleh Arthan yang katanya pamit ke toilet.

Mataku menatapnya dengan penuh kebencian dan amarah, rasanya ingin sekali aku menamparnya, tapi itu tak mungkin kulakukan. Apa lagi setelah mengetahui kalau dia adalah sepupu Arthan, bisa-bisa aku yang jadi sasaran amukan suamiku nanti.

"Kamu semakin cantik aja, nggak heran kalau Arthan sampai kepincut sama kamu," kata Mario lagi semakin menggangguku.

Tak tahan lagi dengan situasi ini, aku memilih pergi dari pada harus menahan emosi. Tapi Mario malah menarik tanganku agar tetap berada di dekatnya.

"Mau kemana? Aku masih kangen, lho sama kamu," kata Mario terdengar menyebalkan di telingaku.

"Mario, tolong jangan seperti ini." Aku menepis tangan laki-laki itu dengan kuat. "Jangan pernah lagi bicara padaku, karena itu hanya akan membuatku semakin membencimu."

"Kenapa? Bukannya dulu kita saling mencintai?"

"Itu dulu, sebelum kamu pergi meninggalkanku begitu saja di hari akad pernikahan kita!" kataku penuh penekanan di setiap katanya.

Kuputuskan untuk pergi meninggalkan acara pesta, termasuk Arthan yang masih belum kembali. Aish, kenapa harus Mario? Kenapa harus laki-laki itu yang kutemui disini? Dan kenapa harus Mario yang jadi sepupu Arthan?

Padahal aku sudah hampir melupakannya dan juga semua masa lalu tentangnya. Tapi, kenapa dia harus muncul lagi setelah sekian lama menghilang? Keadaan ini benar-benar membuatku kesal, lebih baik aku pulang saja.

"Nadia! Kamu mau kemana?" Arthan tiba-tiba muncul dari belakangku setelah aku berjalan keluar area hotel.

Mungkin dia melihatku pergi tadi, jadi dia mengejarku sampai kesini. "Aku mau pulang," jawabku dengan bibir sedikit bergetar.

"Kenapa? Acara pidato baru saja akan dimulai, kenapa kamu malah pulang?"

Aku hanya bisa terdiam, sementara air mata sudah menumpuk di pelupuk mata, menunggu timing yang pas untuk jatuh.

avataravatar
Next chapter