16 16-WINDI MABUK

Aku terjaga dari tidurku ketika tenggorokan terasa kering. Bangun dari tidur, kulihat stok air minumku di nakas sudah habis. Akhirnya aku terpaksa turun ke bawah untuk mengambil minum di dapur, tapi ketika hendak berbelok ke sisi kanan tangga—menuju dapur, aku melihat bayangan dua orang sedang berdiri di depan pintu utama.

Karena suasana sedikit remang dengan lampu yang di matikan, aku jadi tidak bisa memastikan siapa orang yang berdiri itu. Salah satu dari mereka bahkan mondar-mandir seperti setrikaan.

Rasa penasaran mendorongku untuk berjalan dan melihat siapa mereka. Ternyata itu adalah oma dan mama Rani, sedang apa mereka di sini?

"Oma, Mama. Sedang apa kalian disini?" tanyaku setelah menghampiri mereka dengan gelas yang masih kosong di tanganku.

"Eh, Nadia. Kamu sendiri sedang apa? Malam-malam begini kok masih belum tidur," tanya mama pula.

"Aku tadinya sudah tidur, tapi mendadak haus jadi harus ke dapur untuk mengambil minum." Mataku beralih pada sosok oma yang masih mindar-mandir didepan pintu. "Oma sedang apa? Kenapa kelihatan gelisah begitu?" tanyaku lagi.

"Windi, Nad. Dia belum pulang, Oma jadi cemas menunggu kepulangannya." Raut wajah cemas terlihat jelas ketika oma menjawab pertanyaanku.

Dia juga sempat menggaruk lengan dengan gelisah sambil sesekali menggigit bibir. Duh, aku juga baru ingat kalau Windi tadi keluar malam. Sekarang sudah jam sebelas, dan anak itu belum pulang juga.

Aku jadi ikut khawatir, kira-kira dia kemana?

"Ini semua gara-gara perempuan itu, dia sudah bawa pengaruh buruk untuk Windi sampai-sampai berani pulang larut malam begini," gerutu oma menghentakkan kaki dengan kesal.

"Perempuan? Siapa yang Oma maksud?" tanyaku kepo.

"Ya pacarnya Arthan, siapa lagi kalau bukan dia. Dulu dia sering sekali membawa Windi pergi sampai pulang larut malam, bahkan kadang sampai mabuk. Kali ini dia pasti pergi sama perempuan itu lagi." Kekesalan oma terhadapa perempuan yang katanya pacar Arthan itu selalu dia perlihatkan setiap kali membahas tentangnya.

Aku jadi penasaran, seperti apa, sih perempuan itu? Kenapa oma begitu tidak suka padanya, tapi anehnya Windi malah terlihat lengket sekali. Aku mencoba menenangkan oma dengan mengusap kedua belah pundaknya.

"Sudah coba di telepon? Mungkin Windi terjebak macet," kataku asal memberi saran.

"Mungkin juga, tapi itu jarang sekali terjadi. Handphone Windi juga tidak bisa dihubungi, makanya dari tadi Mama kebingungan," jawab mama tak kalah gelisah.

Ya aku tidak bisa apa-apa kalau sudah begini. Padahal aku sudah memperingatkan Windi untuk tidak pulang mlebihi jam sembilan, tapi sampai jam dua belas malam pun dia belum pulang juga.

Pandanganku beralih ke arah tangga ketika Arthan berdiri disana. Dia juga datang menghampiri kami yang masih menunggu kepulangan Windi.

"Kalian sedang apa disini tengah malam?" tanya Arthan.

"Adik kamu, Arthan. Dia belum pulang, Mama khawatir sekali kalau dia kenapa-napa di jalan," keluh mama pada anak sulungnya.

Aku mendapati mata Arthan yang sekarang menatapku, tatapannya dingin seperti biasanya, sama sekali tidak memperlihatkan kehangatan selayaknya suami istri pada umumnya. Arthan hanya terdiam dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku celana trening abu-abu yang dia pakai.

"Ini semua akibat pergaulan Windi sama mantan pacar kamu, jadinya begini kan," omel oma melirik Arthan.

"Oma, semua ini tidak ada kaitannya dengan Olivia. Lagi pula kan—"

"Windi itu anak baik-baik, sebelum dia mengenal Olivia dan jadi gadis liar. Seharusnya kamu itu lebih bisa mengawasi circle pertemanan Windi dan Oliv, supaya tidak begini jadinya," sela oma makin emosi.

Tidak mau suasana semakin keruh, aku pun memutuskan untuk membawa oma istirahat di kamarnya. Tubuh rentannya sudah terlalu tua untuk begadang, sebaiknya dia tidur dari pada makin emosi nanti.

Setelah menutupi tubuh oma dengan selimut, aku pun meninggalkan dia yang tidur di kamar lantai satu. Saat kembali ke ruang tengah, tiba-tiba saja Arthan sudah berjalan sambil menggendong Windi yang tak sadarkan diri.

"Lho, Windi kenapa?" tanyaku pada mama dan Arthan.

"Dia tadi pulang dalam keadaan mabuk, makanya sampai pingsan," info mama.

Tercium jelas aroma alkohol dari tubuh Windi seiring langkah kaki Arthan menggendongnya. Aku dan mama terus mengikuti Arthan dari belakang sambil terus menaiki tangga.

Aroma alkohol sungguh menyengat, ini aroma yang tak biasa kucium hingga membuatku tak tahan dan tutup hidung. Arthan membaringkan Windi diatas tempat tidurnya. Lihatlah, gadis itu sudah terlelap sekarang.

"Nadia, kamu tolong gantiin baju Windi, ya? Mama mau bicara sebentar sama Arthan," pinta mama yang segera kuangguki.

Arthan dan mama keluar dari kamar Windi. Entah apa yang mereka bicarakan di luar sana, aku hanya mendengar suara yang tak bisa didengar dengan jelas. Selesai mengganti baju Windi, aku pun segera keluar dan mendapati mama juga Arthan yang masih berdiri di luar.

"Sudah?" tanya mama.

"Sudah, Ma."

"Ya sudah kalau begitu, kalian tidur saja. Mama juga akan kembali ke kamar," titah mama.

Aku dan Arthan berjalan beriringan menuju kamar kami yang berada tepat di samping kamar Windi. Jarak antara pintu hanya sekitar empat sampai lima meter dan aku masih berusaha mencuir-curi pandang pada Arthan.

"Tadi mama bilang, supaya kamu lebih mengawasi Windi." Tiba-tiba saja Arthan bersuara setelah beberapa langkah kami berjalan.

"Iya," jawabku patuh.

"Besok mama dan papa akan pergi ke swiss untuk urusan bisnis, jadi dia menitipkan Windi sama kamu," info Arthan lagi.

"Iya," jawabku lagi.

Tidak ada percakapan lagi sampai kami berdua tiba di kamar dan naik ke atas kasur masing-masing. Aku dibawah, dan Arthan dia atas. Rasa haus yang tadi begitu menyiksa kini seketika hilang bersama helaan napas yang keluar dari rongga hidung.

Posisi kasur lantaiku berada di sebelah kiri tempat tidur, sementara Arthan tidur di sisi sebelah kanan ranjang. Jadi masih ada sedikit jarak di antara kami. Tapi malam ini Arthan tidur di sisi kiri, hingga saat dia miring, bisa melihatku dibawah sini.

"Kenapa?" tanyaku saat dia menatap ke bawah.

"Besok kamu kuliah, 'kan?"

"Iya, kebetulan jam kuliahnya pagi," jawabku apa adanya. "Memangnya kenapa?"

"Tidak ada."

Arthan memejamkan matanya lalu berbalik badan untuk membelakangiku. Sebenarnya aku ingin bertanya sesuatu, tapi sebaiknya kuurungkan saja, karena kelihatannya Arthan sudah sangat mengantuk.

Jujur, setiap kali oma membahas tentang pacar Arthan yang bernama Olivia itu, membuatku semakin penasaran dengan sosok perempuan itu. Ingin sekali aku bertanya pada Arthan, tapi takut dia marah.

Kalau di pikir-pikir, sikap Arthan sangat jauh berbeda dengan lelaki yang pernah meninggalkanku di pelaminan dulu. Dia ramah dan baik, berbanding terbalik dengan Arthan yang cuek dan dingin. Aku jadi berpikir, sebenarnya aku menikah dengan manusia atau robot?

Tapi ya sudah lah, lagi pula pernikahan ini hanya satu tahun dan memang pada dasarnya tidak ada cinta diantara kami. Mungkin itu juga penyebab Arthan jadi dingin terhadapku.

avataravatar
Next chapter