15 15-WINDI SI GADIS LIAR

Sekitar jam setengah delapan, acara makan malam sudah selesai dan aku juga sudah menunaikan ibadah sholat isya. Kulirik Arthan yang hanya duduk di sisi tempat tidur sambil memainkan ponsel dan laptop secara bergantian. Wajahnya kelihatan serius, mungkin dia sedang mengerjakan proyek pekerjaannya.

Perlahan kuhampiri dia sambil sambil merapikan hijab. "Arthan, kamu sudah sholat isya?" tanyaku.

Arthan tidak menjawab, entah apa yang dia lihat di monitor laptop sampai tidak mendengar pertanyaanku dan harus kembali di ulang. "Arthan, kamu sudah sholat isya?"

"Kamu nggak lihat saya lagi ngapain? Pekerjaan saya ini jauh lebih penting dari pada sholat," tukas Arthan melotot padaku.

"Jelas sholat jauh lebih penting dari pada pekerjaan kamu, sholat itu hukumnya wajib, lho! Kamu sholat, ya? Biar aku bikinkan teh hangat untukmu," kataku lalu meninggalkan Arthan begitu saja.

Semoga saja suamiku mau sholat, meski dia tidak menjawab iya atas permintaanku tadi. Sebab, mau bagaimanapun keadaan kita, sholat itu tetap menjadi hal utama dan wajib di laksanakan.

Aku sempat berpapasan dengan mama saat menuruni anak tangga, dia berpesan padaku untuk sekalian membuatkan segelas susu untuk Windi yang sedang mengerjakan pr-nya di kamar. Dengan senang hati aku pun menuruti perintahnya.

Selesai mengantar teh untuk Arthan, aku pun pergi ke kamar Windi yang bersebelahan dengan kamarku. Beberapa kali mengetuk pintu, tapi tidak ada jawaban. Kupikir Windi terlalu fokus mengerjakan pr sampai tidak mendengar kalau ada orang yang mengetuk pintu.

Akhirnya aku langsung masuk begitu menyadari pintu tidak terkunci. Kulihat meja belajar Windi penuh dengan buku-buku yang berserakan dan terbuka, tapi sang pemilik malah duduk di single sofa sambil mengenakan headphone di telinganya.

Pantas saja dia tidak mendengar, rupanya dia sedang mendengarkan musik sambil geleng-geleng kepala. Kuhampiri dia dan menepuk pundaknya pelan.

"Kamu sudah mengerjakan pr?" tanyaku.

"Hey, kalau masuk kamar ketuk pintu dulu, dong! Nggak di ajarin sopan santun, ya?" balas Windi sedikit nyolot.

"Bagaimana kamu bisa mendengar ketukan pintu kalau kamu sedang mendengarkan musik begini?"

Windi berdecak sebal. Wajah ceria yang tadi dia pakai saat mendengarkan musik seketika berubah jadi jutek nan judes. "Memangnya kenapa, sih? Ngapain kamu masuk ke kamarku?!"

"Kakak mengantarkan susu hangat untuk menemanimu belajar, jadi sebaiknya kamu belajar, ya? Kakak lihat pr-mu belum selesai," jawabku enteng.

"Iya, nanti aku kerjakan. Sekarang lebih baik kamu keluar! Ganggu aja," omel Windi dengan dua kalimat terakhir yang di ucapkan secara halus.

Dia kembali memakai headphone di kepalanya. Sesuai warna kesukaan gadis itu, headphone pink bermotif kelinci dengan bulu-bulu halus menempel sempurna di kedua daun telinganya. Tapi dengan cepat aku kembali melepas headphone wireless itu.

"Kerjakan dulu pr-nya, baru nanti kamu bisa mendengarkan musik lagi," kataku.

"Dih, kok ngatur, sih?! Memangnya kamu siapa berani mengaturku seperti ini?" Windi makin nyolot karena sekarang dia sudah tidak lagi dalam posisi duduk. Tinggi badannya yang hampir setara denganku membuat dia bisa menatap dalam padaku.

"Aku kakak kamu, jadi aku berhak mengaturmu," jawabku apa adanya.

"Kakak? Heh, kak Arthan saja tidak menganggap kamu sebagai istri, jadi tidak usah sok berkuasa, deh!" Senyum licik menghiasi wajahnya sambil berkata demikian.

"Apapun itu, aku tetap kakak ipar kamu. Jadi sekarang ..." Aku berjalan ke arah meja belajar sambil mendorong punggung Windi untuk duduk di depan meja. "Kamu kerjakan pr-mu, setelah itu kamu bisa dapatkan headphone-mu kembali," sambungku setelah dia terduduk.

Aku tahu Windi pasti kesal di atur-atur seperti itu, tapi ini adalah salah satu cara mendisiplinkan dia agar bisa bertanggung jawab dengan pekerjaannya sendiri. Sebab jika di biarkan terus, itu bisa jadi kebiasaan buruk untuknya.

Kekesalan Windi semakin terlihat ketika kedua tangannya mengepal diatas meja, seolah ingin menonjok seseorang sebagai bahan pelampiasan emosinya. Dia tidak menatapku, tapi menunduk dengan rambut terurai yang kini menutupi wajahnya.

"Ayo, biar Kakak temani kamu belajar. Kalau ada yang susah, tanyakan saja pada Kakak," kataku lalu duduk singel sofa yang tadi dia duduki.

Mendengus kesal, Windi pun akhirnya nurut dan mau belajar. Meski caranya membolak-balikkan buku terlihat begitu kasar, tapi setidaknya dia mau belajar meski dalam keadaan hati dongkol.

Setiap menit, aku memperhatikan gerak-geriknya, meneliti kebenaran dalam buku diary gadis itu mengenai dirinya yang menyukai saudara sendiri. Duh, aku jadi bingung sendiri.

"Koleksi novelmu banyak juga, kamu pasti suka cerita anak remaja, ya?" tanyaku ketika melihat rak buku mini yang berada tepat di samping meja belajarnya.

Windi tidak menjawab, bahkan menoleh pun rasanya enggan. Aku hanya tersenyum menanggapi itu, sambil menelisik beberapa judul buku yang ada di sana. "Kamu sudah baca kisah 'Aisyah Gadis Sholehah'? Ceritanya bagus sekali, mengisahkan tentang gadis modern yang terjebak di dunia gelap, sampai suatu ketika dia hamil dan kekasihnya tidak mau bertanggung jawab. Kisahnya sedih, tapi terdapat banyak pengajaran di dalamnya," tuturku.

Mungkin Windi sama sekali tidak tertarik dengan topik pembicaraanku. Dia malah garuk-garuk kepala, terlihat frustasi dan kebingungan dengan soal sejarah yang menjadi salah satu mata pelajaran yang di pr-kan.

"Ada yang bisa Kakak bantu?" kataku menawarkan diri.

Baru saja dia hendak menoleh, ponselnya berbunyi, menampilkan sebuah notifikasi pesan whatsapp yang aku sendiri tidak tahu dari siapa. Windi begitu bersemangat membalasnya, dia juga sampai senyum-senyum sendiri.

Windi segera menutup bukunya dengan cepat lalu berdiri. Tentu saja itu membuatku terkejut dan langsung menarik tangannya. "Kamu mau kemana?" tanyaku.

"Mau pergi, males di rumah mulu apa lagi di atur-atur sama kamu!" jawab Windi judes lalu menepis tanganku dengan kasar.

"Tapi pekerjaan kamu belum selesai!"

"Alah, itu gampang. Aku bisa selesaikan nanti setelah pulang, sudahlah sebaiknya kamu pergi dari kamarku!" Sekarang giliran Windi yang mendorong bahuku untuk bisa keluar dari kamarnya.

Sekarang sudah jam delapan malam dan Windi mau keluar, bisa-bisa dia pulang larut nanti. Lagian ada urusan apa sampai-sampai dia harus keluar malam-malam begini?

Aku hanya mondar-mandir menunggu Windi di depan pintu kamarnya. Sampai dia keluar dengan mengenakan pakaian ketat, mulai dari celana jeans dan baju dengan bagian pundak yang terbuka.

"Kamu mau kemana? Ini sudah malam, lho," tanyaku begitu melihat Windi keluar.

"Heh, jadi orang jangan terlalu mengurusi hidup orang lain ya. Urusin aja hidupmu sendiri dan berpikir bagaimana caranya menjadi istri yang baik!" Windi makin nyolot tanpa mau menjawab pertanyaanku.

Dia melewatiku begitu saja, tapi aku tetap mengikuti langkahnya dari belakang sambil terus bertanya kemana dia akan pergi. Tetap saja, dia tidak mau menjawab sama sekali.

"Baiklah, silahkan pergi tapi jangan pulang melewati jam sembilan!" seruku ketika dia menuruni tangga dan berlari.

Responnya sangat jauh di luar dugaan, dia hanya melirik sinis lalu kembali berlari ke arah pintu. Menghela napas, sabar dan istighfar adalah hal yang bisa kulakukan sekarang ini. Windi benar-benar gadis liar, perlu usaha untuk menjinakannya.

avataravatar
Next chapter