12 12-HADIAH DARI ARTHAN

"Mau ngapain, kamu?"

Baru saja kepalaku menempel di bantal, mendadak kembali terangkat ketika Arthan bersuara setelah dia keluar dari kamar mandi. Pria itu berdiri di samping lemariku yang kebetulan bersebelahan dengan pintu kamar mandi di kamar ini.

Dia kelihatan sangat berbeda saat memakai baju tidur, penampilan formal yang biasa kulihat kini hilang entah kemana. Yang ada di hadapanku sekarang hanyalah sosok Arthan yang lelah dengan mata sedikit merah.

"Mau tidur," jawabku polos.

"Siapa yang suruh kamu tidur di kasur?" Arthan berjalan mendekatiku sambil berkacak pinggang tanpa ekspresi.

Bingung, aku pun memperbaiki posisi duduk agar bisa menghadap Arthan dengan tegap. "Lho, memangnya kenapa? Bukannya kemarin malam kita juga tidur satu ranjang?" tanyaku bingung.

Tanpa menjawab, Arthan berjalan menuju lemarinya dan mengeluarkan kasur lantai yang masih dibungkus polastik. Aku tak tahu apa yang akan dia lakukan dengan kasur lantai itu, yang jelas sekarang dia menggelarnya di lantai, tepat di sisi kiri tempat tidur.

Ada sebuah bantal dan selimut tipis juga, kira-kira apa maksudnya?

"Kamu tidur dibawah," ujar Arthan setelah membereskan kasurnya.

Jelas aku kaget. Tidur di bawah? Kenapa harus tidur dibawah kalau bisa tidur bersama? Lagian kami sudah sah menjadi suami istri, kenapa harus tidur terpisah.

Aku terdiam, mencermati maksud dari ucapan Arthan sambil menatap kasur lantai yang sudah siap di tiduri. Entah kenapa, rasanya dadaku mendadak sesak melihat sikap Arthan yang jauh dari kata suami.

"Kenapa aku harus tidur dibawah?"

"Karena saya nggak mau tidur satu ranjang sama kamu."

"Tapi 'kan—"

"Nadia, ingat. Kita menikah karena kesepakatan, dan saya tidak menuliskan kalau kita harus tidur satu ranjang sama kamu di surat itu. Jadi, kamu tidur di bawah dan saya tidur diatas," sela Arthan cepat.

Hah, benar juga. Pernikahan ini hanyalah pura-pura, tidak ada kasih sayang apalagi cinta. Seharusnya aku sadar dan tidak menuntut macam-macam dari Arthan.

"Baiklah, aku akan tidur dibawah." Akhirnya aku menurut dan pindah ke bawah.

Merebahkan diri di kasur tipis, menyelimuti diri dengan selimut tipis. Tak apalah, setidaknya Arthan masih memberiku perlengkapan tidur yang nyaman.

Samar-samar kudengar suara orang berbicara di telepon. Membuat mata yang sebenarnya masih berat ini dipaksa terbuka. Posisi tubuhku yang miring ke sisi kiri, membuatku dengan mudah menatap pintu ke arah balkon yang memang letaknya di sisi kiri tempat tidur.

Arthan, telponan dengan siapa malam-malam begini? Kukira dia langsung tidur setelah tadi menyuruhku pindah ke bawah. Terdengar suaranya yang berat berbicara degan lembut, belum lagi tawa renyahnya yang berusaha dia tahan.

Sebenarnya siapa yang menelepon Arthan sampai bisa membuatnya gembira seperti itu? Pertanyaan itu terus berputar di kepalaku, bahkan sampai pagi menjelang. Setelah sholat subuh, aku langsung membuka mushaf dan melantunkan beberapa ayat suci.

Beberapa lembar kertas putih terlempar ke arahku ketika aku baru saja hendak menggulung kasur lantai di pagi hari.

"Apa ini?" tanyaku bingung.

"Jadwal mata kuliah kamu."

Hah? Apa aku tidak salah dengar? Mendengar jawaban itu, aku pun langsung memeriksa isi lembaran kertas itu. di dalamnya ada beberapa mata kuliah, lengkap dengan jam dan nama dosennya.

Di kertas lain juga aku menemukan surat pernyataan penerimaan mahasiswi atas nama Nadia Alfariza, namaku.

"Arthan, kamu serius? Kamu membayar semua biaya kuliahku sampai lulus?" tanyaku dengan wajah masih dalam mode bingung.

"Saya 'kan pernah bilang sama kamu, kalau saya akan biayain kuliahmu. Ya ... anggap saja ini sebagai benefit karena kamu sudah mau menikah sama saya."

Senang? Jelas! Tanpa malu lagi, senyum manis pun mengukir wajahku dengan jelas. Aku pun berdiri dan memberi pelukan hangat pada Arthan. Tapi sayangnya laki-laki itu menolak dan malah mendorongku hingga jatuh ke lantai.

Aku kaget, bokongku juga rasanya nyut-nyutan sekarang. Ekpresi Arthan menunjukkan kalau dia tidak suka pada sikapku.

"Jangan pernah sentuh saya tanpa seijin saya!" kata Arthan dengan penuh penekanan dan jari telunjuk yang mengacung ke arahku.

Ah, lupakan soal kemarahan Arthan. Sekarang hatiku sedang berbunga-bunga setelah menerima hadiah luar biasa dari suamiku. Setelah beberapa bulan tidak kuliah, akhirnya aku bisa kembali masuk ke dunia perkuliahan dan melanjutkan pendidikan yang sempat tertunda.

Hal itu tentu membuat suasana hatiku yang tadinya kacau menjadi lebih tertata. Aku menyiapkan sarapan dengan hati gembira, senyum juga tak pernah meninggalkan wajahku yang dibalut hijab pasmina pagi ini.

"Kelihatannya kamu senang sekali, apa Arthan baru saja memberimu hadiah?" tanya mama yang ikut bergabung di dapur.

"Iya, sepertinya begitu," jawabku malu-malu.

Untungnya mama tidak bertanya lebih lanjut. Dan acara sarapan pagi berlangsung dengan lancar jaya.

Windi turun ke bawah bersamaan dengan papa. Mereka berdua sudah rapi, papa dengan baju kantornya dan Windi dengan seragam sekolahnya. Kali ini dia tidak memakau baju abu-abu, melainkan rok kotak-kotak yang di padukan dengan kemeja putih berompi biru muda.

"Selamat pagi, Pa," sapaku.

"Pagi, sarapan apa kita pagi ini?"

"Ini, tadi aku buatkan sarapan nasi goreng dan telor mata sapi," jawabku menyodorkan sepiring nasi goreng ke pada papa yang sudah duduk di meja makan.

Seperti biasa, Windi masih enggan melihatku. Bahkan dia lebih memilih memainkan ponsel sambil menunggu semua anggota keluarga berkumpul. Saat Arthan—anggota keluarga terakhir sudah datang, aku pun segera berkeliling untuk menuangkan minum ke gelas mereka. Mulai dari oma, mama, Arthan, Windi dan juga papa.

Pada dasarnya, kalau kita sudah tidak suka pada seseorang, ya sampai kapanpun tidak akan suka. Bahkan rasa 'tidak suka' itu bisa berubah jadi benci seiring berjalannya waktu. Mungkin itu yang dirasakan Windi, dia bahkan sampai tega menjegal kakiku ketika hendak berjalan ke sisi papa untuk menuangkan air.

Hal itu membuat kakiku tersangkut dan mau tak mau, aku jatuh dengan menumpahkan seisi teko ke wajah papa juga bajunya. Bisa kulihat Windi menahan tawa ketika melihat kejadian yang begitu cepat itu terjadi.

"Astaghfirullah, maaf, Pa. Aku tidak sengaja, sungguh!" kataku berusaha meminta maaf, karena sejujurnya aku takut papa marah. Semua baju bagian depannya basah, aku takut dia jadi harus mandi lagi dan terlambat ke kantor.

"Ya, ampun, Nadia. Kalau jalan itu hati-hati dong ..." ujar mama pula sambil mengelap baju papa dengan tisu.

"Maaf, aku benar-benar tidak sengaja, Ma, Pa. Tolong maafkan aku," sesalku sambil menahan sakit di lutut, karena tadi sempat membentur sidut meja.

"Sudah, sudah. Papa tidak apa-apa, kok. Hanya basah sedikit, kalian lanjut saja makannya, Papa mau ganti baju sebentar."

Huft ... aku jadi merasa tidak enak pada papa, karena kesalahanku dia jadi harus ganti baju lagi. Padahal sekarang sudah hampir jam tujuh, apa nanti dia tidak terlambat ke kantor?

Senyum dari oma selalu berhasil menenangkanku, dia menarikku untuk segera duduk di sampingnya yang berseberangan dengan Windi. Kulihat gadis itu tersenyum licik padaku, seolah berkata, "Enak?"

Mungkin setelah ini aku perlu bicara pada Windi untuk menyelesaikan masalah kami. Hatiku semakin sedih ketika melihat Arthan sama sekali tidak peduli padaku. Dia kelihatan cuek bebek, seolah tak terjadi apa-apa. Astaghfirullah, sabar Nadia.

avataravatar
Next chapter