1 1-AJAKAN MENIKAH

Nadia Alfariza. Nama itu tertera di CV yang sejak tadi kubawa berkeliling kota. Bukan untuk berjalan-jalan, apa lagi tamasya, malainkan aku sedang mencari pekerjaan untuk membiayai pengobatan bapak.

"Bu, air mineralnya satu, ya?"

"Iya, Neng. Yang itu 12 ribu."

Kukeluarkan selembar uang warna hijau dari dalam saku untuk membayar sebotol air mineral yang kubeli di sebuah warung klontong pinggir jalan. Cuaca terik siang ini membuat peluh membasahi seluruh kain hijab yang kupakai.

Merasa salut pada para pekerja kuli bangunan di samping warung, mereka rela berpanas-panasan seperti itu demi mencari rejeki untuk keluarga mereka.

"Kamu sedang cari kerja, ya?" tanya ibu pemilik warung yang duduk menghampiriku.

"Iya, Bu. Saya bingung, besok bapak saya harus cek up, dan saya masih belum punya uang. Saya bingung harus bilang apa pada ibu saya, jika dia tahu saya pulang tanpa membawa uang," aduku dengan sedikit menyeka keringat di dahi.

"Memangnya kamu lulusan apa?"

"Saya pernah kuliah, tapi tak sampai lulus karena sudah tidak punya biaya. Saya berpikir untuk mencari pekerjaan di toko atau restoran saja, tapi nyatanya itu tidak semudah yang saya kira."

Si ibu pemilik warung hanya bisa mendengarkan ceritaku dan memberi saran seadanya. Dia menyarankan untuk melamar pekerjaan di beberapa toko, tapi salah satu laki-laki yang baru saja membeli sesuatu di sana malah mengakatan jika di toko itu sudah tidak buka lowongan pekerjaan lagi.

Huft, harus kemana lagi aku mencari pekerjaan? Kaki ini rasanya sudah linu, belum lagi dompet yang berteriak karena perlu diisi. Ongkos pun sudah tinggal sedikit, mungkin hanya cukup untuk sekali naik angkot lagi.

"Ya sudah kalau begitu saya pamit, siapa tau masih ada pekerjaan di tempat lain," ucapku pada akhirnya memutuskan untuk pergi.

Tepat saat aku berbalik badan, mendadak tubuhku oleh setelah menabrak seseorang. Dahiku mengenai dada seorang lelaki yang jelas tingginya jauh diatasku.

"Astaghfirullah, maaf. Saya tidak sengaja," kataku ketika menyadari aku sedikit menumpahkan air mineral di bajunya.

Subhanallah, aku langsung terpanah ketika melihat siapa yang ada di hadapanku. Dia laki-laki bertubuh tinggi, lengan kekar dan sedikit kumis tipis. Hampir tak ada celah kekurangan fisik yang kulihat sejauh ini. Siapa dia?

"Kamu butuh uang?" tanya laki-laki itu to the point tanpa mengeluarkan tangannya dari saku celana.

Tentu saja aku bingung. Lelaki dengan helm proyek berwarna kuning itu mendadak bertanya sesuatu yang menurutku tak pantas di tanyakan ketika pertama kali bertemu. Apa itu termasuk sopan santun?

"Memangnya kenapa?"

"Saya bertanya, kamu butuh uang? Karena jika iya, saya akan memberikannya padamu."

Diam, bingung, heran dan ... berpikir dua kali lebih keras tentang alasan laki-laki ini mau memberi uang padaku. Beberapa saat kemudian aku tertawa, lebih tepatnya menertawakan perkataan orang ini yang bisa dinilai aneh.

"Kenapa tertawa? Saya serius," katanya lagi.

"Atas dasar apa kamu mau memberiku uang? Memangnya kita ada hubungan apa?" tanyaku yang sudah menyebut panggilan diri dari 'saya' menjadi 'aku', karena merasa dia juga tidak terlalu formal.

"Menikahlah dengan saya."

Tawaku yang tadinya lepas, kini mendadak terhenti begitu saja ketika mendengar sebuah kalimat aneh dari mulutnya. Pandangan kini kualihkan dari jalanan ke arah laki-laki yang berdiri di depanku, melihatnya dari atas sampai bawah, kelihatannya dia bukan berasal dari kalangan bawah.

Maksudku, pakaiannya rapi. Meski dia memakai helm proyek, bisa jadi dia bukan tukang bangunan di gedung yang belum jadi itu. Bisa saja dia adalah mandornya, atau ... mungkin juga arsiteknya.

"Maaf, apa aku tidak salah dengar?" tanyaku lagi untuk memastikan bahwa pendengaranku tidak rusak.

Dia menggeleng. "Saya sedang mencari seorang istri, dan saya pikir kamu mau menerima tawaran ini," ujarnya lagi.

"Tunggu, tunggu! Kita tidak saling mengenal, aku bahkan tidak tahu siapa namamu. Bagiamana aku bisa menikah dengan pria asing?"

Laki-laki di hadapanku sangat dingin tanpa ekspresi. Dia bahkan tidak tersenyum sama sekali, tapi kemudian dia menjawab, "Kita akan atur waktu untuk saling mengenal, yang penting saya membutuhkan persetujuanmu dulu."

"Apa yang membuatmu yakin untuk mengajakku menikah?" Was-was, itulah yang kurasakan sekarang. Takutnya dia orang iseng yang jahil padaku. Dijaman sekarang, orang iseng itu banyak triknya. Dan aku tidak mau menjadi salah satu korban mereka.

Laki-laki berkemeja biru muda itu malah memperhatikanku dari atas kepala sampai ujung kaki, sama seperti yang kulakukan tadi. Mungkin dia sedang mengamati gadis bercelana kulot plisket dengan atasan kemeja kotak-kotak panjang ini, kira-kira apa pendapatnya tentangku, ya?

"Saya lihat kamu sopan, kamu juga berhijab, keluarga saya pasti suka, terutama oma saya," katanya kemudian. "Kalau kamu mau menikah denganku, aku bisa memberimu uang sebanyak yang kamu mau," imbuhnya lagi.

Tunggu dulu, jika aku menikah dengannya dengan berharap mendapat imbalan berupa uang, bukankah itu sama saja seperti menjual diri? Tidak, aku tidak mau melakukan hal itu. Itu sama saja merendahkan diri sendiri.

"Maaf ya, aku memang bukan anak orang kaya, tapi aku tidak serendah itu yang rela menjual diri pada laki-laki demi uang. Jadi aku rasa ... aku tidak bisa menerima tawaranmu," tolakku dengan halus.

"Bukan begitu. Anggap saja ini seperti ... simbiosis mutualisme. Kamu mendapatkan apa yang kamu mau, dan saya mendapatkan apa yang saya mau."

"Terserah apapun itu namanya, yang jelas aku tidak mau menikah denganmu. Permisi," kataku lagi dengan tegas sembari melangkah pergi.

Tapi baru beberapa langkah berjalan, ponselku mendadak berdering. Ibu? Ada apa dia menelepon? Ya, Allah. Semoga saja ibu tidak memberi kabar buruk tentang kondisi bapak.

Segera kugeser tombol hijau di layar ponsel dan menjawab salam dari ibu.

[Nad, kamu dimana?]

[Aku lagi di jalan, Bu. Sebentar lagi sampai ke rumah]

[Sebaiknya kamu ke rumah sakit sekarang, bapak kritis, Nad!] Terdengar sedikit isakan ketika ibu menyampaikan informasi itu padaku.

Kagetnya bukan main, aku sampai sedikit oleng saat mendengar kabar itu. [I—iya, Bu. Aku akan segera ke rumah sakit]

Sambungan telepon terputus. Sejenak tertegun sambil memandang lurus ke arah lampu merah yang tak jauh dari warung itu. Sedikit menoleh ke belakang, kulihat laki-laki tadi masih berdiri di sana.

Ya, Allah ... apa tak ada pilihan lain? Kenapa aku harus terjepit di situasi seperti ini? Lihatlah, laki-laki itu sepertinya menyembunyikan senyum bahagia di balik wajah datarnya. Dia pasti sudah mendengar percakapanku dan ibu tadi. Sekarang aku harus apa?

"Waktumu tak banyak, kalau kamu menolak menikah dengan saya, saya masih bisa mencari perempuan lain," celetuknya membuatku semakin bimbang.

Kebimbangan ini ditambah ketika mengingat perkataan ibu sebelum telepon terputus. Bapak harus di operasi, ginjalnya kumat lagi. Dan sekarang tak ada pilihan lagi.

"Baiklah, aku mau menikahimu," putusku pada akhirnya.

avataravatar
Next chapter