1 Chapter 2 - Sebuah Ingatan Dalam Kalbu

Pelan kubuka mataku yang tertutup, sepercik cahaya putih menyilaukan mata.

Mencoba melihat, gemerlap cahaya mentari menyinari pagi nan indah.

Manatap dinding-dinding langit yang putih bagaikan ruang kalbu di dalam hati yang terluka dan bersedih.

Sinar mentari menghangatkan tubuh dan hatiku yang dingin bagaikan es di musim salju.

Masih terbaring dalam ranjang dan selimut menutupi tubuhku dalam isak tangis duka laraku.

Kututup mataku dan membiarkan air mata ini terjatuh mengalir deras membasahi hatiku yang lara tiada obatnya.

Setetes demi setetes air mata ini telah mengalir membasahi ranjang dan bantalku.

Kiranya akan mengalir deras mengubah ranjangku menjadi lautan air mata.

Kutarik selimut putih tebal ini mendekat ke arah wajahku yang sayu dan sedih, membisu pilu bersama hati yang sendu.

Kupegang erat dengan kedua tangan dan jemari kecilku ini mulai menyentuh selimut hangat di depan mataku dan mencoba mengeringkan air mataku dengan selimut tersebut.

Ini adalah mimpi, mengapa aku meneteskan air mataku? mengapa aku bersedih?.

Ini adalah mimpi kesedihan, air mata dan perpisahan yang tiada tara.

Memimpikan dirimu yang pergi meninggalkanku bersama luka hati dan kesedihan terbalut dalam isak tangis air mata.

Tanganku kian erat meremas selimut ranjangku, dan air mata ini kembali menetes.

Aku bersedih kembali, lara dan duka kembali kurasakan, menghantam sanubariku sangat dalam penuh dengan luka.

Derai air mata ini kembali mengalir, seperti tetas hujan yang membasahi dedaunan.

Kuusap air mata ini dengan kedua jemari tanganku, berusaha untuk tidak menangis.

Mengapa aku kembali memimpikan dirimu hingga aku bersedih dan meneteskan air mata.

Tiada pantas lagi untukku kuteteskan air mata ini menangisi dirimu yang telah lama meninggalkanku.

Oh Ibu, sudah sekian lama kita berpisah, apakah kau yang di sana masih mengingat diriku?

Oh Ibu, berapa lama kita terpisah, aku masih saja mengingat dan menangisi dirimu.

Oh Ibu, apakah kau masih ingat dengan anakmu yang kau tinggalkan tanpa alasan yang jelas.

Kejamnya dirimu meninggalkanku yang masih kecil, tidak mengerti bagaimana kejamnya hidup ini.

Mengapa aku harus meneteskan air mata, mengapa aku harus menangisimu, mengapa aku merindukanmu Ibu, kau sudah tidak ada lagi di sisiku.

Kapan air mata ini akan berhenti berlinang? Pipi merahku sudah basah dengan air mataku.

Air mata ini sudah mengering, menyisakan hati yang berputus-asa.

Aku berusaha untuk tidak menangis, tidak ingin lagi air mata ini terjatuh menangisimu.

Walaupun hatiku yang sendu ini penuh luka terbalut oleh kesedihan yang tiada tara.

Aku masih terbaring di ranjangku yang putih bersih bagaikan awan yang terbuat dari awan.

Membiru bagaikan dihujani oleh air mata, seperti popok yang basah ketika aku menangisi tubuhku yang basah.

Mataku menatap ke atas dinding-dinding langit bagaikan awan kelabu yang akan meneteskan air matanya.

Seperti awan hujan membasahi ranjangku dengan air mata, wajahku seperti diguyuri hujan deras, pipi merah ini tidak luput dari tangisan air mata.

Bangun dari tidurku, mengepal selimut yang basah, telapak tangan ini seperti terasa meremas gumpalan kapas yang berat penuh dengan air hujan.

Aku duduk di atas ranjang, sembari melihat ke jendela yang penuh dengan debu, seperti kalbu aku ingat denganmu.

Sepuluh tahun telah berlalu, mengapa aku masih ingat denganmu.

Mata ini dengan wajah yang sayu memandang ke sisi jendela, debu kulihat bagaikan kabut yang menghalangi mataku melihat dirimu.

Pelan kumelangkah, kaki ini berpijak di lantai putih, dingin menusuk kakiku bagaikan sedang menginjak es batu.

Seperti itulah kurasakan saat itu, kaki kecil ini terasa sakit saat melangkah, berusaha berlari mengejar dirimu yang menjauhiku.

Seperti sedang menginjaki batu di atas telapak kakiku, aku menangis seperti anak kecil merengek di hadapan ibunya.

Kakiku tersandung, aku menangis menahan lututku yang terluka, seperti menangisi diriku berharap kau datang padaku.

Tersadar dari lamunanku, masih saja aku ingat ingatan pedih kurasakan saat itu.

Saat-saat paling menyedihkan dalam diriku, aku tidak bisa mengapai dirimu yang menjauh pergi meninggalkanku.

Dalam raut wajah dan suasana hati yang bersedih, wajahku penuh dengan debu dan tanah, mengotori wajah ini yang belum pernah melihat perpisahan.

Saat aku sudah tidak bisa bergerak lagi, kulambaikan tangan kecil ini meski aku tidak dapat menggapaimu.

Memandang ke kaca jendela, aku teringat akan masa laluku.

Aku merangkak seperti seorang bayi yang sedang mengejar ibunya.

Dalam suasana hati yang sedih, ingin sekali aku dapat melihatmu, oh Ibu.

Aku seperti orang lumpuh, yang tidak sadar diriku berjalan merangkak.

Aku melangkah pelan mendekati kaca jendela, jemari tangan ini mulai menyentuh dan mengusap-usap kaca jendela yang berdebu.

Aku ingat saat itu aku masih kecil berusia lima tahun, aku berdiri di samping ibuku sembari meninjukan kebun bunga di depan rumah yang terlihat dari jendela kamarku.

Kebun bunga hydrangea biru yang subur sudah tidak mekar lagi seperti dahulu.

Bunga hydrangea itu adalah bunga kesukaan dari ibuku, aku teringat dia pernah menunjukkan bunga itu kepadaku.

Tubuh ini telah berlutut mengharapkan engkau kembali padaku, namun apa daya masa lalu tetaplah sudah berlalu.

Masa lalu yang dapat diubah, tetaplah aku tidak dapat melihatmu lagi.

Seandainya aku dapat melihat dirimu lagi, ingin kuucapkan terima kasih padamu, karena kau telah merawatku.

Walaupun kita sudah tidak bersama lagi, tidak pernah aku lupakan, kaulah sesosok Ibu yang berharga untukku.

Aku berdiri, meratapi nasibku, perpisahan tetaplah perpisahan, sesuatu yang belum siap aku temui, itulah perpisahan.

Aku teringat, bunga biru hydrangea itu adalah lambang dari penolakan cinta, perpisahan dan kesedihan.

Apakah bunga itu yang menjadi saksi perpisahan ibu dengan ayahku, hingga dia tega meninggalkanku.

Apakah bunga itu yang menjadi lambang dari kesedihan yang kurasakan saat ini, hati ini tidak akan pernah sembuh, luka masih saja mengangga di hatiku.

Sejujurnya aku belumlah siap harus berpisah denganmu Ibu, namun mau bagaimana lagi, sudah terlanjur terjadi.

Sekarang aku sadar, aku harus melupakan dirimu, aku tahu sudah tidak mungkin lagi aku bisa kembali ke sisimu.

Aku sadar, sudah mungkin lagi aku dapat bertemu denganmu lagi, jika takdir mempertemukan kita lagi, aku ingin melihat dirimu sekali saja.

Aku melangkah mendekati ranjang, aku merapikan ranjangku.

Aku sadar aku sudah tumbuh dewasa, aku yakin tanpa dirimu aku akan baik-baik saja.

Mungkin kau juga berharap padaku, agar kelak aku menjadi anak yang mandiri, itu keinginan terakhir darimu dan aku mengerti.

Aku harus menjadi orang yang mandiri karna kau sudah tidak ada lagi bersamaku dan mungkin ayahku juga tidak akan pernah peduli padaku.

-To Be Continue -

avataravatar