webnovel

Sampai Ujung Kematian Pun Tak Sudi Membantu, Sungguh Kejam (4)

Editor: Wave Literature

Mo Liancheng menghindar ke samping sembari mengatakan 'Maaf' dengan dingin saat Qu Tan'er akan melompat. Tetapi, sebelum pria itu sempat selesai berbicara, gadis cantik itu sudah terjatuh.

"Ppuehh!" teriak Qu Tan'er menyemburkan tanah yang masuk ke dalam mulutnya, matanya melotot penuh amarah. Dia tidak melotot pada siapapun, hanya pada tanah tempat dirinya terjatuh. "Kenapa kamu tidak menangkapku?" Dia meratap, marah, sedih dan merasa sengsara… Kenapa aku bisa begitu sial bertemu dengan pria brengsek ini? batinnya.

Mo Liancheng dengan sangat elegan menepuk debu yang mengenai pakaiannya. Gadis ini tidak lemah lembut seperti yang terdengar, ternyata kabar itu tidak bisa dipercaya. Sepertinya, hari-hari esok akan menyenangkan! batinnya. Pria itu tersenyum pelan dan bertanya, "Apa aku mengatakan kalau aku akan menangkapmu?"

"Tidak. Tapi kamu juga tidak bilang kalau kamu tidak mau menangkapku."

"Jadi, itu alasan kenapa kamu sekarang terkapar di tanah."

"...." Dia, dia, dia… batin Qu Tan'er. Untuk pertama kalinya dia merasa ingin membunuh seseorang. Dia yang sudah merasa kesakitan dan tak berdaya, kemudian mengangkat kepalanya sedikit untuk menatap pria itu, "Tuan, apa kamu tidak bisa membantuku bangun?"

Dalam sekejap Qu Tan'er sadar bahwa dirinya bertemu dengan orang yang bahkan sampai ambang kematian pun, dia tidak akan mau membantunya. Bahkan, pria ini juga tidak mau menopang orang yang terjatuh.

Lalu, Mo Liancheng berkata, "Kamu kan punya tangan dan kaki. Sepertinya akan lebih cepat kalau kamu bangun sendiri tanpa bantuan."

"...." Pria ini sungguh berhati dingin! batin Qu Tan'er. Saat itu tidak ingin berdiri, tapi dia malah ingin menyandung Mo Liancheng sampai jatuh ke lubang toilet, agar pria itu memakan kotoran.

"Haiya, Nona Keempat, kenapa Nona di sini? Tuan Besar sedang mencari Nona." kata seseorang. Terlihat segerombolan pelayan datang tergesa-gesa dan segera membantu Qu Tan'er bangun. Semuanya menatap Mo Liancheng sekejap dan kemudian membawa Qu Tan'er ke arah pintu belakang.

Mo Liancheng menonton mereka dengan seru. Tiba-tiba, dia merasa tak sabaran ingin melihat ekspresi Qu Tan'er saat mengetahui wajah calon suaminya ini.

***

Setengah jam pun berlalu.

Qu Tan'er dengan patuh mengganti pakaiannya dengan gaun yang bermotif awan. Hampir saja para pelayan mengangkatnya sampai aula besar. Sejak tadi, dia merasa dirinya seperti seekor ikan yang mati dan para pelayannya juga mungkin menganggapnya sebagai boneka.

Sejak masuk ke aula besar, Qu Tan'er tak pernah sekalipun mengangkat kepalanya. Karena… Orang yang hari ini datang adalah calon suaminya, Pangeran Kedelapan, Mo Liancheng. Bagaimana pun wajahnya, tidak masalah bagi Qu Tan'er, asalkan masih manusia dan tidak memalukan.

"Tan'er menghadap Ayahanda dan Ibunda." kata Qu Tan'er sambil menundukkan kepala dengan lembut dan menekuk lututnya dengan anggun, menyapa kedua orang tuanya. Kedua tangannya diletakkan bersama, seakan-akan menunjukkan sosok putri yang sangat taat aturan… Tanpa perlu berpura-pura, penampilan luarnya memang bisa membuat semua orang salah sangka.

"Tan'er, cepatlah sapa Pangeran Kedelapan…" kata Qu Jianglin dengan lantang seperti sedang memerintah. 

Belum selesai Qu Jianglin berbicara, Qu Tan'er langsung menghadap tamu di sebelah kanan yang dikiranya Mo Liancheng, dan dia mengucapkan kata sambutan seperti robot. "Baik, Tan'er menghadap Pangeran Kedelapan. Aku tidak tahu kedatangan Pangeran, maafkan kelancanganku yang tidak segera menyambut. Tan'er harap Pangeran memaafkan ketidaksopanan Tan'er." 

Mau Pangeran Kedelapan (Ba Ye) atau Ba Ge (sejenis burung), burung Huang Li (burung langka) pun juga aku tak peduli! batinnya.

Namun, sekali lagi Qu Jianglin menegur, "Ceroboh kamu, beliau adalah Pangeran Keempat belas, Pangeran Kedelapan ada di…"