1 Chapter 1

---Musim semi, 20XX---

Di hari kelulusan SMP-ku, aku memutuskan untuk menyatakan perasaanku kepada orang yang kusukai.

"Dinda, aku suka padamu! Tolong berpacaran denganku!" ucapku.

Suasana di sekitar kami hening seketika. Aku menunggu respon darinya. Dinda, teman masa kecilku yang aku sukai sejak kami masih SD.

"Eh?... Anu...."

Imut.

"Jadi, apa jawabanmu?" tanyaku.

"Anu...TENTU SAJA TIDAK , DASAR BABI GEMUK!" ucapnya dengan keras.

"Eh? Apa?"

"Kubilang tidak. Kau ini sudah buruk rupa, tuli juga, YA?!" teriaknya.

"T-tapi, kupikir kita ini teman?" ucapku dengan merinding.

"HA?! Kau pikir aku mau berteman dengan babi sepertimu? Jangan harap! Jika bukan karena uangmu, aku tidak akan mau mendekatimu sama sekali, kau tahu?!! Sampai-sampai kau seberani ini, aku sudah muak denganmu! Enyahlah dari hadapanku, BABI GEMUK TIDAK BERGUNA!! " ucapnya dengan keras.

Setelah itu aku terdiam dan tidak dapat berkata apa-apa. Dinda meninggalkanku tanpa ragu. Hujan pun mulai turun. Aku mulai menangis. Bukan karena perkataannya, tapi karena bodohnya diriku mempercayai orang lain.

Mulai dari hari itu, aku tidak pernah keluar dari kamarku selama berhari-hari. Ibuku tidak mengkhawatirkanku karena ia tahu kalau ini adalah titik dimana aku harus merubah diriku sendiri. Ia selalu membawakanku makanan, handuk, dan lain-lain.

Tiga bulan kemudian...

Setelah sekian lama berdiam di kamar. Aku memutuskan untuk keluar.

Saat aku keluar, aku melihat ibuku berdiri di depanku dengan wajah yang bangga sambil menangis. Aku pun langsung memeluknya.

"Maafkan aku, Ibu. Maaf telah merepotkan karena keegoisanku ini" ucapku sambil menangis.

"Tidak apa-apa, kamu sudah berjuang sangat keras. Wow, kamu mirip sekali dengan ayahmu. Apa kamu bertambah tinggi? Kamu jadi tampan sekali. Oh iya, tentang Dinda, Ibu sudah tahu dari awal kalau dia akan begini" ucapnya.

Aku pun melepas pelukanku.

"Benarkah? Bagaimana Ibu bisa tahu?" tanyaku.

"Kamu tahu, mata setiap orang mencerminkan akan jadi apa mereka di masa depan nanti. Saat Ibu melihat matanya, Ibu sudah menebak kalau hal seperti ini akan terjadi" ucapnya.

"Wow, Ibu bisa melakukan itu? Hebat. Apa Ibu melakukan itu kepada Ayah juga?" tanyaku lagi.

"Yah, Ibu pun terkejut saat melihat mata ayahmu untuk pertama kalinya. Pasalnya dulu saat SMA, ayahmu itu adalah berandalan terkuat di kota Zekta"

"Apa? Ayah? Aku tidak menduganya"

Soalnya, meskipun tampang Ayah memang seperti berandalan, dia adalah orang yang sangat baik dan tetangga sekitar pun berteman baik dengannya.

"Suatu saat, Ibu dan ayahmu, tidak sengaja bertabrakan dan ayahmu menindihi Ibu. Ibu sangat ketakutan saat itu, karena yang Ibu tabrak adalah orang yang sangat ingin Ibu hindari. Tapi, saat mata kami bertatapan, Ibu langsung tahu kalau ayahmu itu adalah orang yang sangat baik yang bahkan tidak akan melukai seekor semut pun yang mengganggunya" jelasnya.

"Sebaik itukah Ayah? Keren" ucapku.

"Yah, setelah itu kami jadi sering bertemu dan semakin lama semakin dekat hingga kami berpacaran. Dan sekarang, kami pun sudah menikah dan memiliki anak yang hebat seperti dirimu ini" ucapnya sambil mengelus-elus kepalaku.

"Hehe, terima kasih ya, Bu" ucapku.

Setelah itu kami pergi ke ruang makan untuk sarapan bersama.

"Barang-barangmu benar-benar akan kamu tinggal? Tidak ada yang ingin kamu bawa?" tanya ibuku.

Agar aku mandiri, Ayah membelikanku rumah, beserta kebutuhan lainnya di dekat kota Nalech. Jadi selama aku di kamar, ayahku sudah mempersiapkan semuanya untukku. Aku benar-benar bangga dengannya.

"Tidak ada, Bu. Lagipula, Ayah sudah memenuhi semua yang dibutuhkan, kan? Jadi akan kubiarkan barang-barangku di sini menjadi kenangan agar ayah dan ibu tidak kesepian" ucapku.

"Dasar kamu ini. Itu sama sekali tidak cocok dengan penampilanmu saat ini" ucap ibuku.

"Ayolah, hentikan itu, Bu" ucapku.

"Tapi, apa kamu yakin ingin masuk ke SMA Indragiri? Ada ujian masuknya juga, dan jaraknya lumayan jauh dari sini lho. Kamu yakin bisa mengerjakan ujiannya dengan mudah?" tanya ibuku.

"Ya, aku yakin. Selama di kamar, aku sudah mempelajari semua pelajaran yang ada. Bahkan aku mempelajari materi yang seharusnya ada di kelas akhir. Jadi, kurasa aku bisa mengerjakannya. Kalau soal transportasi aku bisa naik bis dari halte dekat rumah yang dibeli Ayah selama lima belas menit" ucapku.

Setelah selesai sarapan, aku berangkat ke sekolah.

"Kalau begitu, aku berangkat dulu!" ucapku sambil keluar rumah.

"Baiklah. Selamat jalan, Ryan!" ucap ibuku.

Aku pun berangkat dari rumah menuju SMA Indragiri. Oh iya, namaku Destryan Putra Anggara. Putra tunggal Keluarga Anggara. Ayahku merupakan seorang pengusaha sekaligus guru beladiri tradisional, yaitu pencak silat. Meskipun diajarkan sebentar saja, aku sama sekali tidak tertarik dengan beladiri.

Aku pun akhirnya tiba di halte. Dari rumahku, aku harus menaiki bis untuk sampai ke SMA Indragiri. Aku harus membiasakan diri karena aku akan sering menaiki transportasi ini saat sudah pindah nanti.

.

.

.

.

Sesampainya di halte tujuanku, aku pun turun di depan SMA Indragiri. Di sebelahku ada perempuan yang sangat cantik yang turun dari bis sebelum bisku.

"Cantiknya..." gumamku.

*(Menoleh)

"Hm? Ah! Maafkan perkataanku tadi!" ucapku meminta maaf.

Tidak kusangka aku mengucapkannya terlalu keras.

"Ryan? Itu kamu?" ucapnya.

Perempuan itu memanggil namaku. Kurasa dia mengenalku.

"Um..ya?"

"Kamu Ryan?! Kamu beda sekali saat SD dulu! Kamu juga jadi lebih tinggi!" ucapnya sambil mengusap-usap rambutku.

"Um..maaf, kau siapa, ya?" tanyaku.

Aku masih bingung dengan situasi ini.

"Apa maksudmu? Ini aku! Aniendya Juliani Suratman! Sahabatmu saat SD!" ucapnya.

.

.

.

"Eh!?!??! Niendya?! Ini benar-benar kamu?! Kamu sangat berbeda sekali!" ucapku dengan terkejut.

Aku benar-benar tidak menyangka bahwa gal cantik di depanku ini adalah sahabat saat aku SD dulu, Niendya. Dia bilang padaku akan pindah ke kota pinggiran karena pekerjaan ayahnya. Siapa sangka ternyata kota yang dimaksudnya itu adalah kota Nalech.

"Jadi, bagaimana dengan Dinda? Kamu selalu menceritakan betapa kamu menyukainya saat kita kecil dulu. Ada perkembangan?" tanyanya.

Pertama kali aku keluar untuk berubah dan aku sudah ditanya tentang hal yang sangat tidak mengenakan.

"Ah, soal itu...."

"Hm? Ada apa? Ceritakan saja padaku! Aku akan mendengarkannya kok!" ucapnya dengan semangat.

Ternyata aku tetap tidak bisa menolak permintaannya. Aku heran, apa yang membuatku seperti ini ya?.

"Kamu yakin? Berjanjilah kamu tidak akan marah atau menyalahkan siapapun" ucapku.

"Iya, aku janji. Nah, ceritakan!" ucapnya dengan semangat.

Selama perjalanan ke sekolah, aku menceritakan semuanya. Ekspresi Niendya yang tadinya penuh dengan rasa penasaran semakin lama berubah menjadi penuh dengan kemarahan dan kesedihan.

*(berhenti)

Tiba-tiba, Niendya berhenti. Dia menatapku dengan mata serius.

"Ryan. Biar kutanya satu hal padamu" ucapnya.

"Silahkan"

"Apa kamu memaafkannya? Atau kamu ingin memegang dendam padanya?" tanyanya.

Memang apa yang sudah diperbuat Dinda itu tidak dimaafkan, tapi sampai ingin memegang dendam mungkin itu agak berlebihan.

"Kalau itu adalah diriku yang dulu, mungkin aku akan memaafkannya. Tapi sekarang...aku mungkin masih belum memaafkannya. Tapi tenang saja, aku tidak akan pernah memegang dendam padanya" ucapku seraya menenangkan ketegangan Niendya.

"Hm, baguslah! Ayo kita lebih cepat, sebelum waktu ujian dimulai" ucapnya.

"Ayo" balasku.

.

.

.

Kami pun sampai di sekolah tanpa masalah. SMA Indragiri, sekolah elit dimana siapa saja dapat belajar di sini setelah melewati ujian masuk. Seperti yang lainnya, aku dan Niendya harus melewati ujian yang disediakan.

Aku dan Niendya ada di ruang ujian yang berbeda.

"Hm, sepertinya aku di ruang 1-A, kamu di ruang apa?" tanyaku.

"Sepertinya kita berbeda. Aku di ruang 1-B. Kalau begitu sampai jumpa nanti, ya!" ucapnya sambil pergi.

Ujian dimulai tepat pukul tujuh pagi. Ujian yang kami lewati berisi soal pilihan ganda yang mencakup semua mata pelajaran, dan juga psikologi. Dengan percaya diri, kami semua pun memulai ujiannya.

.

.

.

.

Tepat pukul sembilan pagi, ujian selesai. Kami hanya perlu menunggu satu hari untuk melihat hasil ujian kami.

Setelah selesai ujian, kami diperbolehkan untuk melihat klub-klub yang ada di sekolah. Ada klub bulutangkis, futsal, basket, baseball, kesehatan siswa, perpustakaan sekolah, berbagai macam beladiri, dan masih banyak lagi.

Aku dan Niendya memutuskan untuk melihat Klub Perpustakaan. Jika ditanya kenapa, mungkin karena tempat ini adalah tempat paling tenang di sekolah ini. Saat aku memasuki ruang klub, yaitu perpustakaan tentu saja, ada satu siswi cantik yang sedang membaca buku.

Setelah menyadari keberadaan kami, dia langsung menghampiri kami berdua.

"Ara? Kalian calon murid baru? Ada gerangan apa kalian kesini?" tanyanya.

"Hm...kami tertarik dengan klub ini saat masuk sekolah nanti" ucapku.

*(senyum)

Perempuan itu tersenyum.

"Kalian yakin akan bisa diterima di klub ini?" ucapnya.

"Aku akan mencobanya. Ngomong-ngomong, buku yang tadi kau baca, apakah itu 'EnD' volume ke dua belas tahun 1922 oleh Van Ni?" kataku.

Dia pun terdiam.

"Apa maksudmu?"

"Kau tahu, buku itu adalah buku favoritku. Meskipun sudah tidak ada lagi di pasaran, aku sudah lama mengoleksi setiap volume buku itu. Jadi, aku terkejut karena tidak mengira ada orang lain yang memiliki buku itu" ucapku.

Suasana di sekitar kami pun hening. Niendya yang tidak mengetahui hal itu hanya terdiam di sebelahku.

"Fufufu....kau bisa menebaknya, ya? Tapi, bagaimana kau bisa tahu kalau itu dibuat tahun 1922? " ucapnya.

"Jika kau menanyakannya, kurasa dari caramu membalikkan setiap halaman buku itu. Karena hanya buku itu yang cara membalikkan halamannya berbeda dari volume yang lain" tanyaku.

"Fufufu...kau benar-benar pecinta buku, ya? Mungkin kau akan diberi kursi Wakil Ketua Klub saat kau masuk nanti" ucapnya.

"Terima kasih kalau begitu. Oh iya, aku belum mengetahui namamu, namaku Destryan, kau bisa memanggilku Ryan. Dan ini temanku, Aniendya Juliani Suratman " ucapku sambil memperkenalkan diri.

"Ah, panggil saja Niendya!" ucapnya.

"Fufu..Ryan, dan Niendya, ya? Perkenalkan, aku Shaqilla Rahmawati, kelas 2-F. Salam kenal!" katanya.

"Ah, apa kami harus memanggilmu 'Kak'? Kalau iya, maaf kami tidak sopan" tanya Niendya.

Aku hampir lupa kalau dia itu kakak kelas.

"Tidak perlu. Kalian bisa memanggilku Qilla. Aku tidak terlalu suka jika diseniorkan seperti itu" ucapnya.

Tiba-tiba, Niendya mengecek jam tangannya.

"Ah, waktu berkeliling sudah habis, kami, harus segera pulang!" ucap Niendya.

"Begitukah? Sayang sekali. Sampai jumpa lagi, ya!" ucapnya.

"Kalau begitu, mohon kerjasamanya nanti ya, Qilla!" ucap kami sambil meninggalkan perpustakaan.

"Fufu, semoga beruntung!" ucapnya.

.

.

Setelah diberi pengarahan untuk besok, kami pun diperbolehkan pulang. Aku dan Niendya setuju untuk pulang bersama. Aku terkejut saat mengetahui kalau rumahnya itu sangat dekat dengan rumahku. Kami pun tiba di halte.

"Ryan, jadi bagaimana?" ucapnya.

"Bagaimana apanya?" ucapku.

"Qilla sangat cantik, bukan? Apa kau tertarik dengannya?" tanyanya.

"Hm, memang benar dia cantik. Tapi, kalau soal tertarik atau tidak, aku tidak tahu. Sejak saat itu, perasaan suka atau cinta sudah tidak dapat aku percaya lagi. Mungkin masih lama agar aku dapat mempercayainya lagi" ucapku.

"Hee...semoga beruntung" ucap Niendya.

Dengan begitu, hari yang menakjubkan ini berakhir.

To Be Continued...

avataravatar
Next chapter