1 Putus

"Kudengar kau sudah putus?"

Budi melirik ke samping. Seorang anak remaja berseragam SMA melempar senyum seraya duduk di sampingnya. Dia merentangkan kaki lebar-lebar, menyandarkan siku pada meja di belakangnya, dan menengadah ke atas.

"Tidak heran jika kau tahu berita ini, Andi," ujar Budi, bernada sedih. "Dengar dari mana?"

"Rumor." Andi menyeringai. "Apakah Milanda yang memutuskanmu?"

"Ya." Budi menghela napas. "Milanda bilang semua adalah salahku. Katanya aku tidak memperhatikan serta mengerti dirinya."

"Menurutmu?"

"Entahlah." Budi mengangkat bahu. "Aku sendiri tidak tahu apa salahku."

Andi membuka tas selempangnya dan mengeluarkan dua kaleng jus jeruk. Dia menawarkan sebuah pada Budi yang menerimanya dengan senang hati.

"Kau tahu, perempuan itu tidak pernah salah," ujar Andi, membuka tutup kaleng diikuti suara desis.

"Benarkah?" tanyaku ragu.

"Tentu saja salah," gerutu Andi. "Manusia itu bukan laki-laki saja, perempuan juga. Mereka ada berbuat salah, tapi menyalahkan laki-laki."

"Apa yang harus kulakukan?"

Andi memalingkan wajah ke samping sambil setengah meneguk kaleng jus. Seorang gadis cantik baru saja memasuki kantin. Perawakannya kecil, bertubuh montok, dan memiliki rambut ala ponytail. Gadis-gadis tahun ini lebih menarik dibanding tahun lalu menurut Andi.

Andi menunjuk gadis tersebut. "Lupakan dia. Masih ada gadis lain, seperti gadis itu."

"Mudah bagimu mengatakan begitu," ketus Budi, memandang gadis yang ditunjuk Andi. Memang cantik, apalagi terkenal teladan dan baik. "Tapi aku jarang jatuh cinta."

"Jatuh cinta saja pada yang lain." Andi memutar kepala ke arahku. "Kau sudah dengar banyak ceritaku, bukan?"

Budi mengangguk pelan. "Dan kau membenarkan satu hal."

"Yang mana?"

"Aku tidak percaya perkataanmu tentang tidak bisa menjadi teman dengan perempuan yang kita sukai setelah putus sampai aku mengalaminya sendiri." Budi menggeleng kepala. "Kurasa aku tidak bisa berteman dengan Milanda lagi."

Andi mengeryitkan kening. "Karena itu kau boleh berhenti membantuku berdamai dengan para mantanku mulai hari ini."

"Tentu saja." Budi tertawa kecil. "Sekarang aku sudah mengerti."

Ada hal yang tidak akan bisa kita mengerti sampai kita mengalaminya sendiri

avataravatar
Next chapter