1 Part 1: Sandyan yang ku cinta

Hari ini, tanggal ini, bulan ini, namun dengan tahun yang berbeda. Tepat sepuluh tahun yang lalu, cerita ini dimulai. 10 September 2010 hari yang paling membahagiakan untukku. Hari dimana aku bisa menyelesaikan studi program S1 ku tepat waktu. Rasa syukur ku panjatkan kepada sang Maha Pencipta. Hanya karena kuasaNya lah aku bisa menunjukkan rasa baktiku kepada kedua orang tuaku. Gelar Sarjana Pendidikan yang ku raih adalah berkat tetes keringat dan air mata mereka. Masih terbayang dalam benakku senyum kebahagiaan di wajah keduanya. Saat aku menyerahkan undangan acara wisudaku. Jakarta Convention Center tempat dimana acara wisudaku saat itu diselenggarakan. Kami sekeluarga datang ke tempat itu dengan penuh kebahagian. Aku duduk di deretan kursi peserta wisuda, sedangkan keluargaku menempati kursi tamu undangan.

Acara wisuda pun dimulai oleh panitia. Satu persatu acara berlalu begitu saja. Aku menoleh ke arah belakang, berharap dia hadir di dalam gedung JCC. Entah sudah berapa kali aku melihat ke arah belakang saat itu. Namun, dia yang sangat ku harapkan kedatangannya tidak juga menampakan wajahnya. Dalam hati aku terus saja berdoa, semoga ada keajaiban terjadi saat itu. Dia bisa datang dan duduk sebagai tamu undangan di acara terpenting dalam hidupku. Do'aku ternyata sia-sia belaka. Lelaki yang ku nantikan tidak datang juga.

Tiba giliranku dipanggil maju ke depan. "Naslia Yuna, silahkan naik ke panggung," suara pembawa acara memanggil namaku. Aku pun bangun dari kursiku dan melangkah maju ke depan. Sebelum naik ke atas panggung, langkah kakiku terhenti. Aku menoleh lagi ke arah belakang. Mataku melihat ke semua penjuru, mencari dia. Tapi, tidak ada wajahnya di sana. Jantungku berdetak tak beraturan. Keringat dingin keluar dari pori-pori kulitku. Meski mulutku tak sanggup mengucap sepatah kata pun. Tapi hatiku berbicara. Aku sebut namanya berulang kali. Aku menjerit, berteriak memanggil namanya. Hatiku berontak, tidak terima dengan keadaan ini. Tanpa terasa mataku pun mulai berair. Kakiku seakan tak sanggup menaiki anak tangga yang ada di hadapanku. Berat rasanya kaki ini naik ke atas panggung. "Sungguh kebahagian yang tidak sempurna," fikirku kala itu.

"Silahkan Naslia, Naslia...Naslia," berulang kali suara itu memanggilku. Aku pun mengangkat wajahku ke hadapan rektor dan dekan yang sudah menungguku. Aku berusaha kuat dan tersenyum, meskipun terasa teramat berat.

Akhirnya pita togaku pun telah berpindah. Dan aku resmi mendapat gelar sarjana SI. Gemuruh tepuk tangan terdengar dimana-mana. Semua terdengar bersorak gembira. Dari atas panggung aku hanya tersenyum sambil mengangkat ijazah secara simbolis. Kini, di belakang nama terakhirku terdapat gelar kesarjanaan. Tapi, di belakang diriku tidak ada dia yang menjagaku. "Sedih, kesal, benci dengan ini semua. Pada siapa harus ku luapkan ?" umpatku dalam hati.

Setibanya di rumah, orang tuaku langsung mengadakan pesta syukuran kecil-kecilan. "Lia, kenapa sandy tidak datang di acara wisudamu?" tanya ibu padaku saat itu. Aku hanya menggeleng tanpa memberikan jawaban apapun. Kemudian aku masuk ke dalam kamar dan menutup pintu rapat-rapat. Aku jatuhkan tubuhku ke atas tempat tidur. Aku peluk bantal erat-erat. Air mata yang sejak tadi berusaha ku tahan, akhirnya tumpah ruah membasahi bantal kesayanganku. "Kak San, kenapa kamu tidak datang di acara wisudaku?" Padahal kamu sudah berjanji," batinku merintih menyesali keadaan.

Aku berusaha bangun dan menenangkan diri serta fikiranku. Kemudian, ku ambil tas ransel yang tergantung di balik pintu kamar. Aku pun mengeluarkan handphone yang selalu menemaniku saat aku masih aktif kuliah. Teringat olehku sms terakhir yang dikirim oleh kak Sandy. Aku tekan tombol on, dan mengaktifkannya. Lalu aku membuka pesan masuk. Muncullah pesan sms terakhir dari kak Sandy."Adikku sayang, senyum donk. Jangan sedih, yah. Kakak pulang hanya sebentar saja. Kakak pergi untuk kembali. Kakak janji akan kembali tepat waktu. Kakak akan hadir di acara wisudamu nanti. Semangat terus yah, dek." Aku sangat merindukan kak San. "Dimana dia sekarang," tanyaku dalam hati.

Ingatanku kembali ke masa lima tahun sebelum aku diwisuda. Saat itu aku belum kuliah. Aku baru saja diterima sebagai peserta pelatihan bahasa asing di sebuah lembaga pelatihan bahasa yang didirikan oleh pemerintah daerah khusus ibukota Jakarta. Disanalah awalnya aku mengenal sosok Sandyan nama lengkap dari kak San. Lelaki yang ramah dengan postur tubuh tinggi atletis, berkulit putih dan bermata sipit itu telah mencuri perhatianku.

Lembaga pelatihan bahasa menampung banyak mahasiswa dari berbagai universitas dan pelajar lulusan SLTA sederajat. Terkhusus bagi mereka yang berkeinginan memperdalam keahlian berbahasa asing.

Untuk masuk ke dalam lembaga tersebut, semua peserta harus mengikuti serangkaian tes seleksi kemampuan berbahasa asing. Mereka yang telah lulus seleksi akan ditempatkan pada level yang sesuai dengan nilai hasil penyeleksian. Ada tiga level yang terdapat di lembaga tersebut. Level dasar 1-2-3, level menengah 1-2-3 dan terakhir level atas 1-2-3. Saat itu aku diterima masuk pada level menengah 1. Betapa senangnya perasaan hatiku. Ternyata keahlianku berbahasa asing tidak terlalu rendah.

Di dalam kelas menengah 1 aku memiliki banyak teman, baik laki-laki maupun perempuan. Total teman kelasku sekitar kurang lebih tiga puluh orang. Semuanya berasal dari sekolah dan universitas yang berbeda-beda. Meskipun aku bukan mahasiswa aku tidak minder. Aku tipikal orang yang selalu percaya diri dan optimis menatap masa depan.

Di lembaga itu aku mempunyai seorang teman akrab bernama Fitri. Dia seorang mahasiswi dari universitas negeri ternama yang ada di Jakarta. Orangnya cukup cantik, berkulit putih dan sangat ramah kepada siapa saja. Jadi menurutku, tidak mengherankan kalau dia mempunyai banyak pacar. Terbukti dengan kebiasaannya yang selalu diantar dan dijemput dengan lelaki yang berbeda bila pulang dari lembaga bahasa. Dari lelaki yang pakai kendaraan bermotor sampai yang naik kendaraan umum. Lain halnya dengan diriku yang masih saja menjomblo. Saat itu semua lelaki hanya dianggap teman biasa, tidak ada yang istimewa.

Sebenarnya dalam hati kecilku ingin sekali mempunyai seorang kekasih. Sebagai penyemangat aku menuntut ilmu. Tapi, saat itu hatiku belum tertambat kepada siapapun. Semua hanya teman dan teman. Padahal aku tidak terlalu jelek dan tidak juga cantik. Orang selalu mengatakan kalau aku manis. Mungkin karena warna kulitku yang coklat. Rambutku hitam panjang terurai. Mataku bulat dengan alis tebal dan bulu mata yang lentik. Hidungku mancung dan bibirku tipis. Kata teman-temanku, aku seperti keturunan orang arab. Apapun keadaannya aku tetaplah menjadi diriku sendiri.

Saat belajar di lembaga bahasa. Aku selalu rajin mengikuti pembelajaran tanpa absen. Semua tugas yang diberikan oleh tutor selalu aku kerjakan dengan baik. Bila tidak ada tugas, kebiasaanku duduk di perpustakaan lembaga. Aku memang gemar membaca buku. Bagiku buku adalah gudangnya ilmu pengetahuan. Jika aku tidak sempat membaca buku di perpustakaan, aku akan meminjamnya untuk dibaca di rumah. Terkadang waktu yang ada juga aku manfaatkan untuk sharing atau diskusi tentang materi selanjutnya dengan teman satu kelas. Karena bagiku waktu sangatlah berharga. Dan aku tidak mau menyia-nyiakannya.

Saat aku belajar di lembaga bahasa, Fitrilah teman yang selalu menemaniku, duduk dan berada di sebelahku. Menurutku, Dia seorang teman yang enak diajak bercerita. Dia juga pendengar yang baik, jika aku curhat semua keluh kesahku. Bagiku dia teman yang sangat menyenangkan. Persahabatanku dengan Fitri terjalin cukup lama. Sayangnya aku kehilangan kontak dengan Fitri, saat aku memutuskan untuk kuliah di universitas yang berbeda dengannya.

###################################

Perputaran waktu terasa berlalu begitu cepat. Pagi siang malam datang silih berganti. Jam menit detik terus berdetak dan berputar pada porosnya. Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Bulan pun berganti tahun. Tahun demi tahun berlalu tanpa sebuah kepastian. Hingga kini semua kenangan itu tinggallah cerita. Dan terangkai sebagai tulisan yang masih tersimpan rapi. Mengharap, menanti dan menunggu yang tak pasti kapan akan kembali seperti dulu lagi.

Siang itu Fitri tidak datang ke lembaga. Aku pun mempercepat langkah kakiku menuju halte. Setibanya di halte aku sudah ketinggalan oplet yang biasa ku tumpangi. Dengan terpaksa aku duduk di bangku panjang yang tersedia di halte. Rasanya jenuh sekali siang itu. Oplet yang semenjak tadi ku tunggu tidak juga kunjung datang. Aku mulai merasa bosan berada sendirian di halte.

Tiba-tiba dari arah sebelah kanan datanglah kak San bersama temannya yang bernama Eza. Mereka berdua tersenyum padaku. Aku pun membalas senyum mereka. Tidak ada pembicaraan di antara kami bertiga. Kami hanya terdiam dan sibuk dengan fikiran masing-masing. Beberapa menit kemudian, oplet yang ku tunggu pun datang. "Aku duluan kak," ucapku pada mereka. Mereka berdua hanya memandangku dengan tersenyum. Ada rasa senang di hatiku mendapat balasan senyum. Sampai akhirnya oplet yang ku tumpangi pun berlalu dari hadapan mereka.

Keesokan harinya Fitri tidak datang lagi ke lembaga bahasa. Tinggallah aku sendirian. Seperti hari sebelumnya aku pun bergegas pulang dengan cepat. Aku merasa kesepian karena tidak ada Fitri.

Saat berjalan menuju halte, tanpa sepengetahuanku kak San dan kak Eza sudah berjalan di belakangku. "Kok sendirian, mana temannya ?" tanya kak San. "O.....Fitri, dia tidak datang." Jawabku. Kami akhirnya jalan bertiga menuju halte. Sesampainya di halte, oplet belum datang juga. Kami pun terlibat percakapan ringan. "Kamu arab Kalimantan yah ?" tanya kak san. "Aku bukan orang arab, aku betawi asli," jawabku malu-malu. "Pulang sama-sama yuk," ajak kak San. Aku kaget, tapi aku berusaha menutupinya. Aku hanya dapat mengangguk saja, tanda setuju. Oplet pun berhenti tepat di depan kami. Aku naik duluan ke dalam oplet, lalu di susul kak San dan kak Eza. Di dalam oplet kami bertiga hanya terdiam, hingga aku turun duluan.

Hari berikutnya aku pun harus sendiri lagi, tidak ada Fitri menemani. Perasaanku merasa kurang nyaman. Ku percepat langkah kakiku ke halte. Betapa kagetnya aku, ternyata kak San dan kak Eza sudah sampai duluan di halte. Aku salah tingkah sendiri, tidak tau harus berbuat apa. "Eh, kok bisa keduluan yah," kataku basa basi. "Lelaki itu harus di depan wanita," jawab kak San dengan tersenyum. "O.....begitu," aku bingung mau bicara apa lagi. Untunglah sebuah kopaja lewat saat itu. Kak San mengajakku mencoba naik kopaja. Kami pun naik bertiga. Kata kak San, ongkos kopaja lebih murah daripada oplet. Aku hanya tersenyum saja. Dalam hati aku menduga-duga sendiri. Ada apa gerangan ini, kenapa berturut-turut aku selalu berpapasan dengan mereka terus ? Ah, tidak usah difikirin, nanti dibilang kepedean.

Siang itu aku datang lebih cepat ke lembaga bahasa. Aku duduk sendirian dan merasa tidak enak badan. Sebenarnya aku sedang tidak bersemangat untuk belajar. Di dalam kelas, aku melihat kak San dan kak Eza sedang berdiskusi dengan beberapa teman perempuan. Sejenak aku memandangi mereka. Lalu aku pun meletakkan kepalaku di atas meja.

"Yuna, kamu kenapa ?" Aku langsung mengangkat kepalaku. Dan melihat ke arah sumber suara itu. "Kak San !" Aku terkejut melihat kak San sudah duduk di sebelahku. "Tidak tau nih, aku lagi tidak mood," jawabku. "Semangat donk," kata kak San dengan senyum khasnya. Lalu dia pun kembali duduk di dekat kak Eza.

Pembelajaran dimulai, aku mulai tidak fokus dengan penjelasan tutor di depan kelas. Fikiranku menerawang, mendadak aku jadi gr alias gede rasa. Hatiku bergemuruh dan jantungku berdebar-debar. Ah, buang perasaan ini jauh-jauh, aku harus tetap tenang.

Mendadak tutor menyuruh kami semua mengumpulkan tugas yang tadi beliau berikan. Aku tersentak dari lamunanku. Secepatnya aku kerjakan tugas yang tinggal tiga nomor lagi. "Yuna, kamu sudah siap," suara kak San membuatku grogi. Kak San memberikan buku latihannya kepadaku. "Kamu pakai bukuku saja," katanya dengan tatapan penuh perhatian. Aku hanya tersenyum. Aku tidak sanggup mengambil bukunya. "Makasih ka, aku sudah selesai mengerjakannya," aku pun melangkah maju ke depan tutor untuk mengantar buku latihanku.

Pembelajaran telah selesai. Aku tidak mau keduluan lagi sampai di halte. Setengah berlari aku sampai juga di halte. "Yuna," lagi-lagi ada suara itu. Ternyata kak San sudah duduk sendirian di halte. Aku berusaha menenangkan hatiku. Aku atur pernafasanku. Lalu, aku duduk di sebelah kak San.

"Yun, kamu dapat salam dari kak Eza," kata kak San kepadaku. "Berapa banyak salamnya," candaku saat itu. "Kamu sendiri lagi yah," katanya. "Kak San juga sendiri, kak Eza kemana?" dengan cepat aku pun balik bertanya. "Dia lagi ada keperluan," jawabnya ringan. "Kita pulang sama yuk!" ajaknya kepadaku. "Hah, pulang bersama," setengah terkejut, akupun mencoba tersenyum. Dalam hati aku berbunga-bunga. Banyak pertanyaan muncul dalam benakku. Entah perasaan apa yang hinggap dalam hatiku saat itu. Selama di perjalanan kak San tidak banyak bicara kepadaku. Tapi, dari sudut mata aku melihat dia selalu menoleh ke arahku. "Pertanda apakah ini?" aku malu menjawab pertanyaan hatiku sendiri. Dalam hati aku berharap waktu dapat terhenti, hingga aku dan kak San dapat berlama-lama di dalam kopaja.

Hari berikutnya, aku datang ke lembaga bahasa dengan penuh semangat. Hatiku berbunga-bunga. Aku berharap sesuatu yang lebih dari kemarin dapat terjadi di hari itu. Benar saja, saat aku membuka pintu masuk lembaga, ada dia di depanku. Aku melihat kak San sudah duduk sendirian di lobby. Dia sedang membaca buku. Aku mencoba membuka hati. Tanpa sungkan aku menegurnya dan dia pun menutup bukunya. Lalu, tersenyum padaku. Tanpa diminta olehnya, aku langsung duduk di bangku lobby. Tepat di hadapannya. Dalam waktu yang singkat, kami berdua pun sudah asyik mengobrol disertai canda tawa. O....bahagianya hatiku. Do'aku terkabul, inikah takdirku dipertemukan dengannya disaat aku membutuhkan seseorang di dekatku.

Tanpa terasa jam masuk kelas tiba. Kami pun mengakhiri pembicaraan. Aku berdiri duluan. Tanpa menoleh lagi ke arah kak San, aku berjalan menuju ruang kelas. "Dek tunggu kakak," suara kak San memanggil seseorang. Jantungku berdegup kuat. "Siapa wanita yang dipanggil dek oleh kak San ?" tanyaku dalam hati. Rasa penasaran di hati membuatku berbalik badan dan melihat ke arah kak San. Tapi, tidak ada siapapun di dekat kak San. "Tunggu dek," katanya lagi. Kali ini aku menoleh ke kiri dan kananku. Tidak ada siapapun juga di dekatku. Sambil tersenyum kak San berjalan menghampiriku. "Kita ke kelas berdua yah," ajaknya dengan suara lembut. Kami pun berjalan beriringan menuju kelas. Perasaanku saat itu bercampur aduk antara senang dan malu. Aku merasa semua mata tertuju pada kami berdua. "Kok, jadi begini yah," tanyaku dalam hati. Ah, biarlah semua berjalan sesuai ketentuanNya.

"Dek, kakak duduk di sini yah." Pinta kak San padaku. Dia pun langsung duduk dan meletakkan tasnya di bangku kosong yang ada di sebelahku. Aku hanya mengangguk. Dalam hati aku masih tidak percaya kak San mau duduk disebelahku. Bangku kosong itu biasa diduduki Fitri. Sudah lama Fitri tidak mengikuti pembelajaran di lembaga bahasa. Aku pun tidak tahu kenapa Fitri selalu absen dari lembaga.

Pembelajaran selesai. Aku melangkah meninggalkan lembaga sedirian. Aku tidak berani mengajak jalan bareng kak San. Masih ada rasa takut di hati. Tapi, kak San justru mengejarku hingga halte. Dia mengajakku bareng naik kopajanya. Tidak ada lagi kak Eza yang selalu menemaninya. Aku tidak mau tahu apa penyebabnya. Bagiku saat itu aku bersyukur sekali, sebab kak San selalu mendekatiku.

Hari demi hari kak San selalu ada di dekatku. Kami berdua meluangkan waktu untuk membaca buku di perpustakaan lembaga. Kami juga senantiasa membahas materi pembelajaran dari tutor. Jika waktu istirahat tiba, kami pun makan di kantin berdua saja. Berjalan pulang dari lembaga berduaan. Sampai duduk menunggu kopaja pun kami berdua.

Aku mulai memperhatikan semua gerak gerik kak San. Juga menjadi pendengar yang baik, saat dia berbicara. Dunia seakan hanya milik kami berdua. Tapi, saat itu belum ada kata ikatan apapun untuk aku dengannya. Aku tidak tahu, apa sebutan untuk kedekatan kami berdua saat itu.

Hingga suatu hari tutor yang selalu mengajar di kelasku jatuh sakit. Aku dan semua teman kelas berinisiatif datang menjenguk. Kami pun bersama-sama naik kopaja. Saat di dalam kopaja, aku berusaha duduk di kursi paling belakang bersama teman wanita lainnya. Aku menjauh dari kak San. Tapi, kak San justru mendatangiku. Dia sengaja berdiri dengan berpegangan besi yang ada di depanku. Dia memandangiku aku pun membalasnya. Kami saling diam dan tidak bicara. Hingga kami sampai di tempat tujuan.

Sesampainya di rumah tutor, kak San pun memilih duduk di sebelahku. Semua mata seakan-akan memandangi kami berdua. Tapi, kak San terlihat tidak memperdulikannya. Aku malu dan merasa tidak enak dengan mereka semua. Tidak berapa lama kami pun pulang. "Yuna, kakak akan menemanimu pulang," kata kak San di sebelahku. Aku hanya mengangguk. Selama di perjalanan aku hanya diam, begitupun dengan kak San.

Siang itu sangat panas. Tubuhku terasa basah dengan keringat. Aku merasa kepanasan sekali. Cepat-cepat aku melangkah ke ruang lobby. Di ruang lobby ada AC. Aku fikir ada baiknya aku duduk disana untuk menyejukkan diri.

Tiba-tiba kak San memanggilku keluar lembaga. "Iya kak, ada apa," kataku menyahut panggilannya. Kak San memberiku sebuah amplop surat. Aku terkejut, terfikir olehku kalau kak San akan memperjelas hubungan kami. Aku pun menerima amplop tersebut dan membukanya. Ku baca isi di dalamnya. aku paham isi dan maksud surat tersebut. Tapi, itu bukan tulisan kak San. "Ini tulisan siapa, kak ?" tanyaku. Kak San pun membalik amplop surat tersebut. Tertera nama pengirim surat "Dari Zanna yang mencintaimu." Aku terdiam. "Surat ini kamu simpan yah dek," pinta kak San padaku. Aku tidak mengerti apa maksudnya, kenapa harus aku yang membaca dan menyimpan surat dari wanita lain.

"Kita jalan yuk dek. Hari ini kita tidak usah masuk. Adek mau kemana, kakak siap mengantar." Kata kak San kepadaku yang masih terdiam. "Ke toko buku aja kak, aku mau lihat-lihat buku," kataku pelan. Akhirnya, kami pun meninggalkan lembaga bahasa dan pergi ke toko buku. Yah, kami berdua membolos. Itulah pertama kalinya aku absen mengikuti pembelajaran. Tingkah kak San tidak seperti biasanya. Dia terlihat lebih bersemangat dan banyak bercanda. Mungkin karena surat itu, kataku dalam hati.

Sejak kejadian itu kami bertambah dekat. Dimana ada kak San di situ ada aku. Begitupun sebaliknya. Hingga pada suatu hari kak San mengajakku jalan-jalan. "Gimana kalau kita ke Ragunan?" tanya kak San padaku. "Siapa aja yang ikut?" aku balik bertanya. "Kita aja berdua," jawabnya. Tanpa rasa ragu aku pun menuruti ajakan kak San.

Saat di Ragunan cuaca mendung dengan disertai hujan rintik-rintik. Biarpun demikian keadaannya, tidak menghalangi keinginan kami berdua untuk berkeliling area Ragunan.

Saat itulah Kak San mulai berbicara perihal kehidupannya. Dia buka mengenai dirinya yang seharusnya aku ketahui. Tentang pendidikannya, keluarganya dan masa depannya. Dia juga menceritakan bahwa sekarang ini dia tidak ada hubungan dengan siapapun. Dia sedang berusaha dekat denganku. Mengenai surat Zanna yang dikirim untuknya, itu hanya bertepuk sebelah tangan. Zanna mencintai kak San. Tapi, sedikit pun kak San tidak pernah ada hati padanya. Aku mendengarkan semua cerita kak San dengan sepenuh hati. Sungguh aku sangat bahagia mendengarnya. Berarti aku punya harapan bersama dengan kak San. Selesai kak San bercerita mengenai dirinya. Lalu giliranku bercerita tentang semuanya mengenai diriku.

Langit tampak gelap. Hujanpun bertambah lebat disertai kilatan petir. Membuat aku ketakutan. Lalu aku mengajak kak San mencari tempat berteduh. Wajah dan pakaian kami juga sudah basah terkena air hujan.

Setengah berlari kami mencari tempat berteduh. Kebetulan ada rumah kecil untuk tempat kami singgahi. Kami berdua pun berteduh. Kak San duduk di pagar tembok setinggi setengah meter dan aku berdiri saja. Tiba-tiba tangan kak San menggeser pundakku ke dekat dadanya. Dia menginginkan aku agar bersandar. Lalu dia merangkulku dari belakang. kemudian dia memintaku untuk menghadapnya. Aku pun membalikkan tubuhku dan menatapnya dengan berjuta perasaan yang berkecamuk.

"Adek sayang kakak," tanyanya padaku. Tanpa menjawab pertanyaannya, justru aku langsung memeluk tubuh kak San. Dan kak San pun memelukku erat sekali. Kami saling berpelukan tanpa berkata apa-apa. Aku merasa waktu itu kami berdua sangat terbawa suasana yang sepi, dingin. Hingga kami merasa ada kenyamanan di antara kami berdua.

Akhirnya hujan pun berhenti. Dan kami segera melanjutkan perjalanan pulang. Aku diantar kak San naik kopaja. Di dalam kopaja kami duduk berdampingan. Kak San meraih jari telunjukku, lalu aku menoleh menatap wajahnya. Kak San tersenyum sambil menggenggam erat kelima jemariku. Tanpa ragu aku pun menyandarkan kepalaku ke dadanya. Oh, inikah namanya cinta. Beginikah rasanya orang yang sedang jatuh cinta? Betapa indahnya dunia dengan berjuta rasa di dalamnya.

Hari-hariku kini lebih berwarna. Penuh cinta, sayang dan kebersamaan yang tidak ingin ku sia-siakan. Aku dan kak San saling melengkapi. Kami selalu mengerjakan apapun berdua. Kami sudah tidak malu lagi menunjukkan kepada semua teman, kalau kami memang mempunyai hubungan spesial. Kemana pun kami dan dimana pun kami berada, kami selalu berdua dan berpegangan tangan. Kak San tidak mau jauh dariku. Begitu juga diriku yang tidak mau lepas sedikitpun dari pandangannya. Aku merasa saat itu kak San adalah segalanya bagiku. Dia seorang laki-laki yang sangat perhatian. Tidak sedetikpun aku terlepas dari perhatiannya. Sungguh aku sangat beruntung bisa dekat dengan dirinya.

Suatu hari kak San membawakan sebuah bingkisan buatku. Aku tidak mengetahui maksud dan tujuannya. Ternyata itu adalah hadiah ulang tahunku. Jauh-jauh hari dia sudah mempersiapkan hadiah itu untukku. Dia mencari tahu tanggal dan bulan lahirku. Yah, dia memberiku kado ulang tahun yang pertama buatku yang tersayang.

Perlahan ku buka kertas kado berwarna kuning keemasan itu. Dan kejutannya dia memberiku sepasang sepatu tali berwarna hitam. "Pakai yah dek, kakak harap kamu suka dengan pemberian kecil ini," ucapnya penuh ketulusan. Aku hanya mengangguk dan memeluk erat tubuhnya. Tanpa terasa air mataku mengalir membasahi pipi. Aku sangat terharu dengan kata-katanya. "Jangan tinggalkan aku kak, aku tidak mau pisah dengan kakak," suaraku serak menahan tangis. "Iya kita bersama selamanya," ucapnya sambil membelai rambutku.

#####################################

Kami berdua masih terus aktif mengikuti pembelajaran di lembaga bahasa. Kedekatan kami membuat keadaan banyak mengalami perubahan. Terasa ada dinding pembatas antara kami dengan teman yang lainnya. Seakan kami tidak lagi memperdulikan keberadaan mereka. Kami hanya berduaan saja.

Bila sebelumnya kak San selalu berdiskusi tentang materi pembelajaran dengan teman lainnya, kini tidak pernah lagi. Begitupun persahabatan kak San dengan kak Eza menjadi renggang. Padahal sebelumnya kak San dan kak Eza sangat dekat sekali. Tapi, sejak kak San dekat denganku, kak Eza pun perlahan mulai menjauh. Dan yang lebih mengherankan adalah saat aku tidak lagi melihat kak Eza datang ke lembaga. Saat hal itu ku tanyakan kepada kak San, katanya dia memang sengaja memutuskan berhenti belajar di lembaga bahasa. Dikarenakan dia harus balik ke kampung halamannya.

Kak San dan kak Eza berasal dari daerah yang sama yaitu kota Batam. Mereka berteman dekat sejak dari Batam. Keduanya terlihat kompak dalam segala hal. Tapi, sejak kehadiranku di hati kak San, semua tinggal kenangan. Mereka menjalani kehidupan masing-masing. Sedangkan alasan lainnya aku tidak mengetahui dengan jelas apa penyebabnya. Bagiku itu urusan mereka berdua. Aku tidak mau terlalu banyak ikut campur.

Siang itu aku dikejutkan dengan kehadiran Fitri di lembaga bahasa. Padahal sudah beberapa bulan terakhir Fitri absen dari pembelajaran. Perkiraanku saat itu Fitri sudah out dari lembaga bahasa. Karena, memang tidak ada sedikitpun kabar mengenai dirinya.

Tapi, siang itu dia benar-benar datang. Aku senang dia datang dan masuk kelas kembali. "Aku kangen Fit, kamu kemana aja?" tanyaku pada Fitri. Fitri tidak menjawab pertanyaanku, dia malah melihat ke arah kak San yang sedang duduk tidak jauh dariku. "Boleh juga tuh cowok, kamu minat tidak Yun, kalau tidak nanti aku ambil," mataku melotot padanya dan tanganku pun mencubit perutnya. "Kamu udah jadian yah," tanyanya. Aku malah tersenyum. "San, nanti kamu anterin Yuna jalan-jalan ke rumahku," ucapnya pada kak San. Kak San hanya membalasnya dengan senyum.

Aku pun segera menceritakan semuanya pada Fitri. Dia mendengarkan ceritaku dengan santai dan selalu tersenyum. "Kamu jaga tuh si Sandyan baik-baik, takut diambil orang," ejeknya padaku waktu itu.

Setelah Fitri mengetahui aku ada hubungan dengan kak San, dia tidak mau lagi duduk di sebelahku. Dia malah menyuruh kak San untuk duduk di sebelahku selama pembelajaran. Begitupun saat pulang, Fitri tidak mau lagi jalan berdua denganku menuju halte. Semuanya jadi berubah. Haruskah jadi seperti ini? Di saat aku mempunyai seorang kekasih, di saat itu pula aku dijauhi oleh sahabat baikku.

Ternyata hari itu adalah hari terakhir aku bertemu dengan Fitri. Kedatangannya ke lembaga bahasa saat itu, hanya untuk mengurus sertifikat yang belum dia ambil. Dia keluar dari lembaga bahasa, dikarenakan tugasnya di kampus terlalu banyak dan dia tidak bisa membagi waktu dengan optimal.

###################################

Perlahan-lahan teman-temanku di lembaga bahasa keluar satu persatu. Tinggallah aku dan kak San yang masih bertahan dan beberapa teman lainnya. Walaupun begitu kami tetap bersemangat belajar.

Sepulangnya dari lembaga bahasa, aku mengajak kak San main ke rumahku. Ajakanku ternyata disambut dengan senang hati oleh kak San. Di perjalanan kak San mampir membeli buah-buahan dan kue untuk dibawa ke rumahku. Sungguh kak San sosok yang sangat perhatian. Dan bisa selalu menyenangkan hati orang yang berada di dekatnya.

Kami berdua tiba di rumahku. Kedua orang tuaku menyambut dengan baik kedatangan kak San. Mereka berbincang-bincang mengenai berbagai hal dengan kak San. Kak San ternyata bisa cepat akrab dengan keluarga besarku. Kami pun mengajak kak San makan malam sekeluarga. Setelah selesai makan malam kak San pamit pulang. Malam itu merupakan malam terindah untukku. Karena hubunganku dengan kak San telah mendapat restu dari kedua orang tuaku. Inilah do'a dan harapanku selama ini.

Setahun sudah aku menjalin hubungan pacaran dengan kak San. Selama itu pula hari-hari kami dipenuhi dengan cinta kasih, saling pengertian, dan perhatian. Tidak ada permasalahan yang menyebabkan aku harus bersedih hati. Di antara kami hanya ada kebahagian dan kebahagian.

Jika ada waktu luang, kami manfaatkan dengan berkunjung ke tempat-tempat rekreasi yang ada di Jakarta. Kami tidak ingin masa-masa indah berdua terlewatkan begitu saja.

#######################################

Tibalah tahun ajaran baru untuk penerimaan mahasiswa mahasiswi di semua universitas. Aku dan kak San segera mendaftarkan diri untuk melanjutkan kuliah, namun kami memilih universitas yang berbeda. Kami bertekad untuk dapat meraih gelar kesarjanaan (S1). Setelah itu barulah kami akan meresmikan hubungan yang ada.

Saat itu aku memilih fakultas pendidikan di sebuah universitas swasta di Jakarta. Sedangkan kak San lebih menginginkan masuk di fakultas hukum di unversitas swasta yang berbeda denganku, tapi masih di Jakarta juga.

Sejak perkuliahan formal mulai dilaksanakan. Aku dan kak San pun mulai masuk dan mengikuti perkuliahan dari para dosen. Dan mereka secara rutin memberi kami tugas. Kami berdua pun merasa terus berpacu dengan waktu. Aku dan kak San kesulitan mengatur waktu. Antara perkuliahan formal dengan pembelajaran di lembaga bahasa.

Sampai pada akhirnya kami berdua memutuskan berhenti dari lembaga bahasa. Padahal aku sangat senang mengikuti pembelajaran di sana. Demikian juga dengan kak San, dia juga memutuskan berhenti belajar dari lembaga bahasa. Dikarenakan padatnya jadwal perkuliahan.

Tinggallah semua kenangan terukir indah di lembaga bahasa. Tempat dimana pertama kali kami berdua dipertemukan, didekatkan dan dipersatukan menjadi sepasang kekasih. Kini kami harus terpisah tempat belajar. Dan bertemu dengan teman baru yang belum pernah kami kenal.

Masih teringat dalam benakku bagaimana perasaanku pertama kali datang ke kampus. Terasa membawa beban yang teramat berat. Memang aku menginginkan sekali bisa kuliah secara formal. Aku merasa senang bisa kuliah formal. Di lain sisi aku juga merasa kehilangan sosok kak San yang biasanya selalu menemani hari-hariku.

Jarak kampus dengan rumahku terbilang lumayan jauh. Kalau naik kendaraan umum dan tidak mengalami kemacetan sekitar 15 menit. Kalau terjadi kemacetan bisa sekitar 30 menit, baru sampai di kampus. Setiap hari aku berangkat sendirian dari rumah, sekitar pukul 07.30 wib. Dikarenakan perkuliahan dimulai pukul 08.00 wib.

Pernah suatu hari setibanya aku di kampus, aku terkejut ketika melihat kak San sudah duduk di ruang lobby. "Kakak tidak ke kampus?" tanyaku. "Pagi ini tidak ada dosen, jadi kakak ke sini aja," jawabnya. "Aku ke kelas dulu, kak," kataku pada kak San yang masih memandangiku. "kakak akan tunggu adek di sini," Kak San pun kembali duduk di bangkunya.

Semangat belajarku muncul kembali, setelah melihat kak San datang ke kampusku. Aku ditunggunya hingga selesai perkuliahan. Lalu, kami pun pulang bersama. Memang sejak perkuliahan dimulai, setiap hari kami hanya bisa berkomunikasi lewat hp. Hanya untuk sekedar berbagi kabar dan melepas kerinduan, karena kami sudah tidak bisa lagi bertemu setiap hari.

Bagiku hari-hari yang ku lewati bersama kak San waktu itu, sungguh sangat membahagiakan. Kami saling berbagi dalam setiap keadaan, baik itu suka maupun duka.

Pernah suatu hari selesai jam perkuliahan. Kak San datang menjemputku ke kampus dan kami pun memutuskan untuk berkeliling ke salah satu pusat perbelanjaan Hanya sekedar melihat-lihat dan makan-makan berduaan.

Namun, saat kami berdua sedang asyik berjalan-jalan di tengah pusat perbelanjaan. Tiba-tiba, kepalaku terasa berat dan tubuhku lemas, aku pun langsung jatuh pingsan tidak sadarkan diri. Menurut kak San, pada saat itu dia sangat panik. Ketika melihat aku terjatuh tidak sadarkan diri. Dan orang-orang yang datang mengerumuni kami berdua. Tanpa fikir panjang, dirinya langsung mengangkat tubuhku keluar dari pusat perbelanjaan. Dan memanggil taksi yang dapat mengantar kami ke rumah sakit terdekat.

Menurut pihak rumah sakit, aku terlalu kelelahan dan juga faktor kekurangan darah. Aku beristirahat sejenak di ruang perawatan dan kak San dengan setianya menemaniku. Dia menyuapi aku makan bubur dan minum obat penambah darah. "lekas sembuh dek," katanya penuh harap. Dia belai rambutku dengan penuh kasih sayang.

Banyak bentuk perhatian kak San yang masih ku ingat hingga saat ini. Sejak peristiwa aku jatuh pingsan, dia tidak pernah membiarkanku pergi sendirian ke kampus. Kak San selalu meluangkan waktunya untuk mengantar dan menjemputku setiap hari. Berbagai tugas kampus kami pun selesaikan bersama-sama. Dari mulai mencari referensi untuk makalah, mengetik makalah di rental, hingga mempelajari isi makalah. Semua hal kami usahakan terselesaikan dengan baik dan bersama-sama.

Pernah pada suatu ketika aku mendapat tugas penelitian di daerah Banten selama dua hari. Dengan terpaksa kak San harus absen dari perkuliahan. Dia sengaja mengantar kepergianku sampai di stasiun. "Jangan biarkan hp kamu mati yah dek, nanti kakak akan terus menghubungimu," pesannya padaku. Aku hanya diam dan mengangguk. Tanpa terasa aku menangis. Aku peluk kak San erat, aku takut pergi tanpa dirinya. "Jangan menangis dek, Banten kan dekat, kalau ada waktu kakak menyusul," bujuknya menenangkan perasaanku. Yah, kak San tidak ikut bersamaku waktu itu.

Aku pergi bersama dosen pembimbing dan teman-teman kelas. Kak San menungguku sampai kereta api yang ku tumpangi melaju meninggalkan stasiun. Aku lihat kak San melambaikan tangan. Dalam hati kecilku kesal dengan keadaan waktu itu. "Kenapa aku harus masuk rombongan penelitian." Perpisahan singkat ini sungguh menyesakkan hati dan perasaanku waktu itu.

Selama di tempat penelitian, sedikitpun aku tidak kehilangan kontak dengannya. Sampai tiba waktunya aku pulang dari Banten. Kak San bersemangat menjemputku di stasiun, tepat pada jam yang sudah ku beritahu sebelumnya. Tapi, ternyata aku dan rombongan ketinggalan kereta api. Kami pun harus menunggu kedatangan kereta api selanjutnya. Tinggallah kak San menunggu kedatanganku sekitar empat jam lebih.

Tiba di stasiun Jakarta, aku langsung memeluknya dan meminta maaf. Terlihat wajah kak San yang kelelahan menungguku. Namun, dia masih memberikan senyumnya untukku.

Bagiku Sandyan tidak bisa tergantikan oleh siapapun. Tidak ada seorang pun laki-laki yang bisa mengambil posisinya dari hatiku. Aku sangat mencintainya. Seperti dia yang sangat mencintai diriku. Betapa aku wanita paling beruntung, karena bisa selalu berada di hatinya.

###########################################

Tanpa terasa empat tahun sudah kebersamaan kami. Tinggal satu semester lagi yang harus diselesaikan, setelah itu kami akan mendapat gelar kesarjanaan. Itulah hari-hari tersibuk yang harus kami lalui berdua. Dari konsultasi dengan dosen pembimbing skripsi, mencari buku-buku referensi untuk skripsi, menyusun dan mengetik skripsi di rental dekat kampus. Semua kami lakukan tanpa kenal lelah. Hingga akhirnya semua terselesaikan juga tepat waktu.

Bulan Juli 2010, kak San terlebih dulu diwisuda di TMII. Aku dan kedua orang tuaku menjadi tamu undangan di acara wisudanya. Di tempat itu aku juga bertemu dengan orang tua dan keluarga kak San yang lainnya. Semua terlihat bahagia menyaksikan kak San diwisuda.

Setelah acara wisuda kak San selesai, kedua keluarga mengadakan pertemuan keluarga. Kami semua makan malam bersama dan juga membahas kelanjutan hubunganku dengan kak San. Berdasarkan kesepakatan aku dan kak San akan meresmikan hubungan kami setelah aku selesai diwisuda.

"Kakak akan mencari pekerjaan, dek," kata kak San dengan memegang jemariku. "Tapi, di Jakarta kan," jawabku. "Ha...ha...ha...." adek tidak mau kakak keluar dari Jakarta yah," lanjutnya dengan bercanda. Aku yang ditertawakan saat itu pun mencubit perutnya kuat-kuat.

Syukurlah nasib baik berpihak padanya, kak San langsung diterima bekerja di sebuah PT. Waktu itu kak San mendapat gaji mingguan. Karena hubungannya denganku tidak main-main. Kak San pun berinisiatif menyimpan sebagian gajinya untuk pesta kami nantinya. Sejak kak San menerima gaji pertama, dia selalu memberikannya kepadaku untuk ditabung.

Dua bulan sudah kak San bekerja di PT. Tinggallah aku yang berkonsentrasi menyelesaikan skripsiku. Akhir bulan Agustus aku telah melaksanakan sidang skripsi. Syukurlah, akhirnya semua terselesaikan dengan sangat baik dan lancar. Tanggal 10 Sepetember 2010, hari wisudaku akan dilaksanakan. Aku membayangkan semuanya akan kembali berkumpul. Seperti halnya saat kak San diwisuda.

Malam itu, kak San mendadak datang ke rumahku. Katanya, dia harus segera pulang ke Batam. Karena, adiknya akan menikah. Aku terdiam, tidak tahu harus mengatakan apa. Aku melihat di tangan kak San sudah ada tiket kapal kelud dengan tujuan kota Batam. "Kakak pulang sebentar saja, dek," kata kak San meyakinkanku. "Pulanglah kak, aku menunggumu di sini," dengan suara berat aku pun melepas kepergian kak San.

Hari Jum'at 1 September 2010. Aku berada di pelabuhan Tanjung Priok. Aku mengantar kepergian kak San waktu itu. Berat rasanya hatiku melepas kepergiannya. Meskipun aku yakin dia akan kembali, tapi ada juga keraguan di hatiku. Akahkah dia kembali untukku?.....sedikitpun aku tidak mau melepaskan genggaman tangan kak San. Aku terus memeluknya dan tidak peduli penumpang lain yang memandangiku.

"Kakak berangkat, dek," katanya pelan. Perlahan ku lepaskan pelukanku. Aku menangis, aku takut sendirian. Ku lihat kak San melambaikan tangannya kepadaku. Air mataku tak berhenti mengalir. Aku melihat kak San dari kaca pembatas di ruang tunggu pelabuhan. aku melihatnya naik tangga ke atas kapal kelud, aku terus memandanginya hingga kak San tidak nampak lagi di hadapanku. Perlahan aku melangkah keluar dari ruang tunggu pelabuhan.

Air mataku sudah mengering. Aku harus kuat. Aku yakin dia akan kembali. Aku terus melangkah keluar dari pelabuhan Tanjung Priok, menuju terminal bis. Aku pun pulang dengan sejuta harapan, menanti kedatangan kak San kembali ke Jakarta.

Setibanya aku di rumah. Ada sms kiriman dari kak San :

."Adikku sayang, senyum donk. Jangan sedih, yah. Kakak pulang hanya sebentar saja. Kakak pergi untuk kembali. Kakak janji akan kembali tepat waktu. Kakak akan hadir di acara wisudamu nanti. Semangat terus yah, dek."

"Cepatlah kembali, kak." Itulah jawaban sms ku terakhir dan tidak pernah dibalasnya lagi.

############################################

Jum'at 15 September 2010, aku sudah berada di pelabuhan Tanjung Priok bersama kedua orang tuaku. Mereka mengantar keberangkatanku ke kota Batam. "Hati-hati di perjalanan nak," kata ibu mengingatkanku. Aku hanya mengangguk. Aku cium tangan ayah dan ibuku. Dan aku peluk mereka berdua. "Do'akan Yuna, bu, semoga Yuna dapat bertemu dengan kak San," ucapku dengan penuh harap.

Bagian informasi sudah memberitahukan bahwa para penumpang harus segera naik ke atas kapal kelud. Aku pun segera melangkah meninggalkan kedua orang tuaku dengan lambaian tangan.

Perlahan ku naiki anak tangga di kapal kelud. Mataku pun tertuju ke arah ruang tunggu. Yah, dua minggu yang lalu aku yang berdiri di sana melihat kepergian kak San. Kini aku yang berada di atas sini. Mencari keberadaan kak San. Mengejar kepastian cintaku yang belum kembali.

Sabtu malam aku tiba di pelabuhan kota Batam. Aku memilih bermalam di sebuah hotel yang berada di sekitar pelabuhan. Dari hotel aku terus menghubungi kak San, tapi nomornya sudah tidak aktif lagi. Aku mencoba menanyakan alamat rumah kak San kepada resepsionis hotel. Ternyata mereka mengetahui alamat lokasi tersebut. Kata mereka, minta saja ke taksi hotel untuk mengantar ke sana, agar tidak tersesat. Yah, secarik kertas berisi alamat tempat tinggal kak San yang pernah dia berikan kepadaku.

Keesokan paginya, aku pun bergegas memanggil taksi hotel untuk mengantarkanku. Tidak berapa lama aku sudah berada di jalan kota Batam. Dari dalam taksi aku melihat ke kanan dan kiri jalan. Aku berharap bisa melihat kak San di jalan. Ternyata sia-sia saja. Hingga akhirnya, taksi pun sampai di depan rumah kak San. Aku meminta supir taksi untuk menungguku.

Kedatanganku disambut baik oleh keluarga kak San. Tapi, aku tidak melihat sosok kak San berada di dalam rumah itu. Aku bertanya kepada keluarganya mengenai kak San. Tidak ada jawaban apapun. Mereka hanya saling memandang. Lalu, adik kak San mengeluarkan album foto. Dia memperlihatkan foto acara pernikahannya. Aku melihat ada kak San tersenyum di dalam foto itu. "Dimana kak San, dek," tanyaku pada adiknya. Dia hanya menggelengkan kepala. "Maaf kami tidak dapat memberimu informasi apapun, pulanglah ke Jakarta. Kalau ada lelaki yang datang melamarmu menikahlah!" kata-kata ibu kak San langsung menusuk ke hatiku. Sakit sekali mendengarnya. Aku langsung menangis dan memeluknya. "Aku harus bertemu dulu dengan kak San, baru aku bisa menentukan langkah hidupku selanjutnya." Jawabku dengan tegas padanya.

Aku pun keluar dari rumah itu. Hatiku sakit, nyeri dan pedih bercampur jadi satu. "Inikah bukti cinta dan kasih sayangnya selama ini padaku?" tanyaku dalam hati. Untuk kesekian kalinya aku menangis lagi. Menangis dan terus menangis.

Ada satu lagi alamat yang harus ku datangi. Dan setelah itu aku baru pulang ke Jakarta. Supir taksi pun segera mengantarku ke alamat yang ku maksud. Hanya 15 menit perjalanan, aku sampai juga di alamat yang tertera di buku agendaku.

Seorang lelaki yang tidak asing lagi bagiku keluar dari dalam rumah. Dia ditemani seorang wanita dan anak perempuan di sampingnya. Yah, dia kak Eza sahabat dekat kak San selama belajar di lembaga bahasa. Aku bersalaman dengannya. Aku tidak tahan membendung air mataku saat memandang tatapan matanya. "Aku mencari kak San, kak," kataku padanya. Dia tidak menjawab. Dia memintaku masuk ke dalam rumah. Aku pun mengikutinya. Aku dipersilahkannya duduk di ruang tamu. Aku melihat bingkai-bingkai foto yang menempel di dinding. Aku pun berdiri. Aku melihat foto-foto kak San dan kak Eza selama di Jakarta. Ada juga fotoku berdua dengan kak San. Aku menangis lagi. "Dimana dia, kak," tunjukku pada foto kak San.

"Duduklah Yuna," pinta kak Eza padaku. "Silahkan diminum airnya, dek," suara istri kak Eza padaku lembut. Aku pun meminum air dingin yang mereka suguhkan. "Kamu sekarang sudah tenang, Yun," tanya kak Eza padaku. Aku membalasnya dengan senyum. Lalu dia mengajakku masuk ke sebuah kamar yang berada di sebelah ruang tamu.

Perlahan ku buka pintu kamar itu, dan betapa terkejutnya aku ketika aku melihat sosok lelaki yang terbaring di atas ranjang dengan selang infus di tangan dan selang oksigen di mulut dan hidungnya. "Kak San..........aku menjerit sekuat-kuatnya. "Aku Yuna kak, aku datang mencari kakak." Aku peluk dan aku goyang-goyangkan tubuhnya. "Kak San sayang, adekmu di sini kak," aku menangis tak henti-henti. Tapi, kak San sedikit pun tidak merespon.

"Dia koma, Yun," kata kak Eza. Kak Eza pun menceritakan peristiwa naas yang menimpa Sandyan. Sebenarnya dia sudah bersiap kembali ke Jakarta. Hari itu dia menelphon kakak. Katanya, dia harus segera sampai di Jakarta. Karena, dia ingin sekali melihatmu diwisuda. Dia menelphon kakak, saat dia berada di atas motor menuju pelabuhan. Tapi, takdir berkata lain. Motor ojek yang ditumpanginya ditabrak oleh truk. Tukang ojek yang membawanya meninggal seketika di tempat kejadian. Sedangkan kak San mu itu sudah dua minggu terakhir, hanya terbaring dan tidak merespon apapun.

Menurut kak Eza, keluarga besar Sandyan lah yang memintanya untuk merawatnya. Bersama kak Eza mereka berharap dia bisa lekas sembuh dan sadar dari komanya. Karena, kak San dan kak Eza berteman akrab sudah lama sekali. Dan ada kemungkinan bisa mengembalikan ingatannya lagi. Dan juga untuk menyembunyikannya darimu Yun. Mereka tidak mau kamu kecewa dengan melihat keadaannya sekarang. Tapi, sekarang kamu sudah melihatnya. Kamu bisa memberikan keputusanmu sekarang. Aku terdiam sejenak, lalu aku menghapus air mata yang membasahi pipiku, aku genggam erat jemari tangan kak San. "Kakak, aku ada di sini, aku ada di hadapanmu, aku tidak akan kemana-mana. Aku akan merawat dan menjagamu. Hingga kakak sadar kalau adekmu senantiasa selalu menemani hari-harimu," kataku saat itu.

###########################################

Sejak kejadian itu aku tidak pernah lagi kembali ke Jakarta. Aku telah menceritakan semuanya kepada kedua orang tuaku dan mereka dapat memahami sepenuhnya. Mereka juga menerima keputusanku untuk tinggal dan menetap di kota Batam.

Hari-hari ku habiskan untuk merawat dan menemani kak San. Dan untuk kelangsungan hidupku di kota Batam, aku pun bekerja paruh waktu.

Hingga kini aku belum menikah dan kak San juga masih terbaring di atas ranjangnya. Inilah perjalanan cerita cintaku, jawaban dari kisah cinta yang ku impikan. Tidak ada yang ku inginkan, selain aku ingin selalu bersamanya. Aku ingin selalu dapat memandangnya. Aku ingin selalu tersenyum padanya. Aku ingin selalu memegang tangannya. Juga dapat memeluknya dengan seluruh rasa cinta yang ku miliki.

Besar harapanku dia bisa kembali seperti dulu, walaupun itu sangat tidak mungkin. Karena, tubuhnya kini tinggal kulit pembalut tulang.

Inilah ceritaku. Cerita ini belum berakhir, sampai kalian semua membacanya.

avataravatar
Next chapter