1 Make A Wish

Tuk!

Sebuah kerikil mendarat di kepalaku. Itu bukan suatu benda yang bisa turun dari langit begitu saja jadi kurasa aku tahu siapa yang melemparkannya ke arahku.

"Hentikan, Bram!" aku melotot ke arah kakakku yang tertawa cekikikan. Dia selalu berpikir tingkahnya lucu dan aku selalu jadi sasaran utamanya.

Hampir setiap hari Bram selalu menggangguku dan membuat hariku terasa mengerikan. Setiap aku mengadukannya pada ibu, aku hanya mendengar kalimat bernada bosan, "Bram, jangan ganggu adikmu..."

Ibu tak pernah bersungguh-sungguh membelaku. Bram bilang itu karena aku bukanlah anak kandung ibu melainkan anak yang dipungut dari tumpukan sampah. Aku menangis meraung-raung saat mendengar Bram mengatakannya pertama kali dan ibu hanya tertawa sambil menenangkanku.

Bram sebenarnya anak yang baik hanya saja dia selalu usil dan mempermainkanku.

Hari ini kami sekeluarga sedang berlibur di pantai. Aku sedang berusaha mengubur diriku ke dalam pasir supaya Bram berhenti menggangguku. Tapi lihatlah, dari tadi dia melempariku dengan kerikil-kerikil kecil.

Ibu dan ayah sedang antri membeli ikan bakar dan es kelapa muda. Tidak ada yang menghentikan Bram berbuat jahil padaku kecuali ada hiu yang baik hati menerkam Bram secara tiba-tiba dan mengunyahnya sampai habis. Hmmm, kurasa khayalanku sedikit sadis.

Aku terus menggali pasir dan mengabaikan Bram yang kini sedang bermain bola dengan beberapa anak yang entah sejak kapan ada bersamanya. Mereka terlihat asyik dan ini terasa menguntungkanku karena Bram akan melupakanku selama beberapa menit.

Tiba-tiba jariku menyentuh sesuatu yang keras di dasar lubang. Aku meraba-raba benda itu, sepertinya sebuah benda yang bergerigi. Aku mengeruk pasir di sekitar benda itu agar aku bisa mengambilnya. Dan ternyata sebuah kerang laut yang besar dan melengkung.

"Cantik sekali," aku bergumam mengagumi benda yang kini ada di tanganku. Aku melupakan niatku menggali pasir dan malah memperhatikan kerang itu dengan seksama.

Warnanya putih kebiruan dan terlihat berkilau. Ujungnya sedikit bergerigi, kurasa bagian itulah yang pertama kali kupegang tadi. Sedangkan sisi lainnya benar-benar halus. Aku merasa takjub.

Aku ingat bahwa konon kita bisa mendengar suara laut dari dalam kerang, maka aku mendekatkannya ke telingaku. Awalnya, kupikir aku mendengar suara angin yang berdesir, bercampur suara teriakan Bram dan teman-temannya yang sedang bermain, membuat suara itu terdengar samar.

"Make a wish... Make a wish..."

Aku yakin aku tidak salah dengar, kerang itu benar-benar berbisik memintaku mengucapkan permohonan. Aku mengguncang-guncangkan benda itu dengan keras, mungkin di dalamnya ada sesuatu tapi aku tidak menemukan apapun.

Kudengarkan lagi dengan teliti, hanya untuk memastikan.

"Make a wish... Make a..."

DUAK!!!

Sebuah bola tiba-tiba menghantam pelipisku dan rasa sakit menjalar secara tiba-tiba.

"Ups, ahahaha!" Bram tertawa terbahak-bahak, aku tahu dia sengaja. Aku mengusap kepalaku yang terasa panas dan berdenyut akibat hantaman bola itu.

"BRAAAMMM!!! MATI SAJA KAAAU!!!" jeritku merasa malu dan frutasi. Bram dan teman-temannya terlihat menikmati pertunjukan yang memalukan ini.

CTARRR!!!

Petir tiba-tiba menyambar sebuah pohon kelapa. Pohon itu sudah tua dan miring, akarnya mencuat di atas pasir dan hentakan petir itu membuatnya roboh seketika tepat menuju ke arah Bram. Semua terjadi begitu cepat dan Bram tak sempat mengelak. Terdengar suara krak saat pohon itu menimpa Bram dan menghantam kepalanya.

Aku berlari dan berteriak panik. Orang-orang berkerumun di sekitar Bram berusaha menyingkirkan pohon kelapa itu dari tubuhnya. Leher Bram patah dan kepalanya dipenuhi banyak darah. Kedua orang tuaku segera membawanya ke rumah sakit tapi Bram sudah tiada.

"Ini semua salahku," aku terisak di dalam kamar sepulang dari pemakaman kakakku, sambil mengelus kerang besar itu di pangkuanku. Kebetulan atau tidak, kecelakaan itu terjadi setelah aku meminta Bram mati. Mungkinkah kerang itu penyebabnya?

Ini memang takdir, batinku menghibur diri.

Lalu hari-hari berikutnya tanpa Bram terasa berbeda. Aku bosan sekali karena rumah ini tiba-tiba terasa sepi.

Dan aku terus menerus bermimpi hal yang sama berulang-ulang. Seperti malam ini, dalam mimpiku Bram mendatangiku dengan kepalanya yang luka berdarah-darah.

"Judy, kenapa kamu jahat sekali? Kenapa kamu memintaku mati?" Bram berbisik sambil melayang ke arahku. Tangannya terulur dan bisa kurasakan tangan dingin Bram merengkuh leherku. Dia berusaha mencekikku.

"Aku kesepian, Judy. Aku ingin bermain bersamamu lagi..." Cengkraman tangan Bram terasa makin kencang, leherku tertekan, aku merasa sesak dan ingin muntah.

Aku bangun dengan punggung basah dan keringat yang menetes di dahi. Nafasku naik turun dengan cepat. Leherku terasa kaku.

Aku memandang kerang di atas meja belajarku, benda itu masih terlihat berkilau seperti biasa. Kudekatkan ke telingaku dan aku kembali mendengar bisikannya.

"Make a wish... Make a wish..."

Kuletakkan benda itu dan aku mulai berpikir. Bisakah benda ini membuat Bram hidup kembali?

Aku meraih kembali kerang itu dan berbisik ke lubangnya.

"Aku ingin hidupku kembali dari awal lagi."

Lalu semua menjadi gelap.

***

Aku kedinginan, dimana aku? Aku terbaring di sebuah tempat sempit dan pengap. Bau busuk menyeruak. Segaris celah tampak di atas kepalaku, aku berusaha mengintip dan aku melihat langit.

Langit? Tunggu dulu, sebenarnya aku dimana? Aku mencoba memanggil ibuku tapi tenggorokanku terasa lemah.

Lalu kudengar langkah kaki mendekat. Celah di atas kepalaku tiba-tiba terbuka lebar dan sebuah wajah yang kukenal sedang memandang ke arahku.

"Wow, ini bayi!" Bram berkata sambil mengangkat tubuhku keluar dari kardus. Entah kenapa Bram terlihat lebih kecil dari yang terakhir kuingat.

Bram... Bram...

Aku berusaha memanggilnya tapi lidahku terasa kaku. Aku mengangkat tanganku dan Bram menyambutnya, kemudian Bram memelukku dalam dekapannya.

"Kasihan sekali. Jangan khawatir, adik kecil. Aku akan membawamu ke rumahku," Bram berkata dengan lembut.

Aku tersenyum. Kerang itu benar-benar mengabulkan permohonanku.

avataravatar