9 Mulai Terungkap

"Ihsan." Sapa Riska kepada Ihsan.

"Iya kenapa?"

"Nanti pulang sekolah kita berdua dan anak divisi mading buat mading dulu ya."

"Kan itumah urusan divisi mading bukan?"

"Iya, tapi ada beberapa pesan yang harus gua sampaikan ke divisi mading yang baru."

"Oh gtu, yaudah. Buatnya dimana emang?"

"Di rumah gua aja, gimana?"

"Boleh."

"Oke. Kia tolong kabarin teman sedivisi kamu untuk kumpul di rumah aku ya habis pulang sekolah."

"Iya Ris." Setelah pembicaraan selesai, Ihsan pun langsung pergi begitu saja.

Setelah jam istirahat selesai, kami semua segera kembali memasuki ruang kelas masing-masing untuk melanjutkan kegiatan belajar mengajar yang sempat tertunda. Kini rasanya aku ingin sekali cepat-cepat pulang sekolah. Karena sepulang sekolah kali ini aku akhirnya akan bertemu kembali dengan Ihsan dan dengan waktu yang lumayan lama. Sehingga aku bisa puas memandangi wajahnya, menebus waktu yang sudah terbuang karena tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas akhir-akhir ini. Karena kini aku dan temanku yang lainnya sudah tidak terlalu aktif dalam kegiatan OSIS. Semua itu sudah di handle dengan anggota OSIS yang baru.

Bel pulang telah berbunyi. Waktu yang telah aku nanti-nanti ketika sehabis istirahat tadi siang. Teman-teman sedivisiku juga sudah aku kabari bahwa ada tugas membuat mading di rumah Riska.

"Semuanya udah kumpul kan?" Tanyaku kepada semua teman dan anak OSIS baru yang sedivisi denganku.

"Tinggal Ajeng doang kak Kia, dia ada urusan di ekskulnya, jadi dia nyusul aja," ucap salah satu temannya Ajeng.

"Oh gitu, yaudah."

"Lu bawa motor Ris?" tanyaku.

"Engga. Nanti gua sama Dina aja."

"Yahh, gua sama siapa dong?"

"Sama gua aja." Jawab Ihsan dengan cepat.

Matahari yang masih lumayan terik menemani perjalanan kami, belum lagi debu yang berterbangan di tengah-tengah Ibu Kota Jakarta. Jarak dari sekolah ke rumah Riska membutuhkan waktu 40 menit menggunakan sepeda motor.

Sebenarnya 15-20 menit saja sudah bisa sampai di rumah Riska, tetapi kali ini kendaraan di jalan sangat padat, macat dimana-mana. Keadaan dimana kebanyakan orang merasa kesal menghadapinya karena sekarang juga adalah jam pulang kerja, sehingga banyak kendaraan roda dua maupun roda empat di jalan. Tetapi tidak bagi diriku. Kali ini aku sangat suka dengan kemacatan. Karena macat aku jadi bisa lebih lama bersama dengan Ihsan di atas motor.

Setelah sampai di rumah Riska, kami semua tidak langsung mengerjakan tugas membuat mading, tetapi kita santai terlebih dahulu karena kelelahan di perjalanan tadi.

Langsung membuat minuman dingin dan membuat makanan ringan. Kami semua mengerjakan tugas sambil sesekali memakan makanan ringan dan bercanda. Keseruan terjadi di sini, semuanya tertawa dengan lepas. Aku pun sangat bahagia karena bisa tertawa bersama Ihsan, walaupun banyak wanita juga disini yang tertawa bersama Ihsan.

"Assalamualaikum." Suara perempuan dari balik pintu rumah Riska.

"Waalaikumsallam." Jawab semua orang yang berada di dalamnya.

"Eh Ajeng, yaudah yu sini masuk aja." Jawab Riska kepada Ajeng.

"Maaf ya kak telat. Tadi aku ada urusan ekskul di sekolah."

"Iya ga apa-apa. Tadi Kia juga udah bilang ke aku kok."

"Udah bagus dia ga dateng, ternyata dia benar-benar menyusul juga ke sini," ucapku di dalam hati.

Tugas kami pun telah selesai. Mading yang kami buat sudah jadi. Waktu juga sudah menunjukkan pukul 7 malam. Untung saja besok adalah hari Sabtu, dan sekolah kami libur. Sehingga kami tidak terlalu terbebani dengan tugas-tugas sekolah yang harus di kumpulkan esok hari.

"Gua balik duluan ya, mau nganterin Ajeng sekalian."

"Iya San, hati-hati." Jawab Riska kepada Ihsan.

Sial. Ihsan ternyata sedang berusaha untuk mendekati Ajeng. Padahal aku berharap kali ini bisa berboncengan kembali seperti tadi ketika aku berangkat ke rumah Riska, tetapi kenyataannya dia pulang dengan wanita lain.

"Udah Ki, sabar," ucap Riska untuk menenangkan aku yang sepertinya Riska menyadari kalau aku sedang merasa sedih, karena pada saat itu mataku mulai berkaca-kaca.

"Iya, ga apa-apa. Santai, hehe."

"Eh tapi lu pulang sama siapa jadinya? Gua anterin aja ya?"

"Ga usah Ris, gua naik ojek online aja."

"Ga apa-apa, cewek ga baik pulang malam sendirian."

"Lah lu, nanti pulang ke rumah lu sendirian."

"Kan gua bawa kendaraan pribadi, aman. Udah yu ah, kelamaan, gua ambil motor dulu sebentar."

"Ga usah, gua bilang ga usah ya ga usah. Ga apa-apa kok. Kasian lu nya juga. Gua naik ojek online aja, oke?"

"Ya udah deh kalo lu terus ngotot mau pulang naik ojek online aja. Hati-hati ya, kalo ada apa-apa langsung hubungi gua aja."

"Iya, siap boss, haha." Kataku sembari tersenyum kepadanya. Fake smile, senyum palsu, itulah yang aku rasakan.

Rasa sesak menyelimuti hatiku. Bagaimana tidak. Melihat Ihsan mengajak perempuan lain untuk pulang bareng bersamanya di depan mataku adalah hal yang paling menyakitkan. Padahal dia tahu kalau aku suka terhadap dirinya. Karena waktu itu juga ulahnya Riska yang memberitahukannya kepada Ihsan. Mungkin memang dia tidak memiliki perasaan apapun terhadapku, tetapi anehnya, kenapa aku terus mencoba mendekatinya walaupun sudah tahu bahwa kenyataannya dia sudah sering menyakitkan dan mematahkan hatiku.

Cinta pertama pada pandang pertama. Mungkin itu alasannya kenapa aku tidak mudah untuk melupakannya. Sudah 2 tahun aku menyukainya secara sepihak. Entah sampai tahun ke berapa lagi aku harus menanggung semua ini.

*****

Di kamar.

Pecah semua air mata yang sudah aku tahan sejak berada di rumah Riska sampai sekarang, dan kini air mata itu sudah tidak bisa di tahan lagi. Menangis sejadi-jadinya. Di atas bantal guling air mata itu terus berjatuhan. Dengan di temani tembok di kanan kiriku dan pintu yang terkunci. Sesakit ini perasaan yang sedang aku rasakan untuk saat ini.  Mungkin menurut orang lain aku sangat berlebihan terhadap Ihsan. Namun aku tidak bisa menahan perasaan. Seperti inilah yang aku rasakan sekarang.

Bagaimana bisa aku tetap mencintai orang yang terus menyakiti hatiku. Terkadang dia membuatku senang, tetapi lebih sering dia membuatku menangis. Mungkin aku menjatuhkan hati kepada orang yang salah, dan salahnya lagi aku tidak bisa membuka hatiku untuk lelaki lain selain dirinya.

Drt... Drt... Drt...

Tiba-tiba saja ponselku bergetar. Ternyata itu adalah pesan singkat yang datang dari seseorang yang selalu bisa membuat aku tertawa lepas dan tidak pernah membuat aku menangis sedikitpun. Aku membuka ponselku, dan aku merubah posisiku yang tadinya teridur di atas kasur seketika langsung terbangun untuk duduk dan membalas pesan singkat darinya.

"Hahaha, sialan."

Aneh. Kenapa ketika sedang sedih seperti ini aku langsung bisa tertawa lepas begitu saja karena hal sepele darinya. Dia memang bukan orang yang menarik, biasa aja, tetapi selalu membuat aku tertawa lepas. Namun aku tidak memiliki hak untuk bisa lebih dekat dengannya.

*****

Singkat cerita, kini aku sudah memasuki akhir masa putih biruku. Kelas 9 atau kelas 3 SMP. Waktu dimana semua murid harus lebih fokus terhadap pelajaran dan ujian-ujian yang akan kami hadapi.

Masalah Ihsan? Itu pun aku belakangi. Karena untuk kali ini tidak ada yang bisa membuat aku bahagia kecuali bisa melewatkan semua ujian-ujianku dengan mudah dan mendapatkan nilai yang memuaskan, serta bisa masuk ke sekolah menengah atas negeri impianku.

"El, main ke rumah gua dong." Pintaku kepada Elina.

"Ngapain? Kan lu lagi ga ulang tahun."

"Yehh, emangnya gua lu, kalo setiap ulang tahun ngajakin main ke rumah, haha."

"Terus mau ngapain?"

"Belajar bareng yu. Udah lama juga kan lu ga main ke rumah gua. Ibu gua nanyain lu mulu tuh."

"Ohh gitu. Ya udah boleh. Sekarang?"

"Ya lu bisanya kapan? Kalo sekarang juga bisa, ya gua ayo ayo aja."

"Bisa kok. Ya udah sekarang aja ya."

"Asik. Oke El."

"Eh pada ngomongin apa nih?" Tanya Rania.

"Itu, si Kia ngajakin belajar bareng di rumahnya."

"Eh gua ikut dong."

"Gua juga," ucap Riska.

"Ayo, boleh."

Elina dan kedua sahabatku yang lainnya pun datang ke rumahku untuk belajar bersama. Karena sedikit lagi ujian-ujian akan datang kepada kami. Elina adalah murid yang cerdas. Dia selalu mendapatkan juara satu di kelasnya. Bahkan juara satu seangkatan, dan juara duanya di raih oleh Riska. Kedua sahabatku ini memanag sangat cerdas. Namun walaupun demikian, aku dan Rania juga tidak bodoh-bodoh amat kok.

Elina POV :

Di rumahku.

Drt... Drt... Drt...

"Hpnya Kia getar terus tuh udah berapa kali dari tadi," ucap Elina kepada kedua sahabat lainnya.

"Udah biarin aja, Kia kan lagi ke kamar mandi dulu." jawab Riska.

"Kok kaya ada tulisan Randi ya di layar hpnya Kia? Perasaan gua aja atau emang itu benaran Randi?" Ucap Elina di dalam hati.

Setelah Kia selesai dari kamar mandi.

"Ki, maaf gua mau tanya."

"Iya, nanya apa?"

"Lu udah mulai dekat sama Randi?"

"Kata siapa?"

"Tadi gua liat di layar hp lu Randi ngirim pesan ke lu."

-TBC-

avataravatar
Next chapter