15 Lomba Debat

Author's POV :

Aku duduk di kelas 10 MIA/IPA.1. Di sekolah ini terdapat beberapa murid SMPN 09 Jakarta selain aku. Namun aku tidak begitu mengenal dan dekat dengan mereka. Hanya sekedar tahu nama dan wajah saja. Di kelasku juga tidak ada yang berasal dari SMPN 09 Jakarta. Sehingga aku duduk dengan teman baruku yang bernama Dini.

"Dini kemana? Kok dia ga masuk?" Tanyaku kepada temanku yang lainnya.

"Katanya si sakit."

"Sakit apa?"

"Tipus katanya."

"Yahh, gua duduk sendiri dong hari ini, ga ada temannya."

"Gua duduk di sini boleh ga? Gua ga keliatan duduk di belakang."

"Oh, iya boleh."

Dia adalah Gilang. Teman laki-laki yang berada di kelasku. Dia memang berkacamata, memiliki minus 3 katanya, dan duduk di kursi bagian belakang. Sehingga terkadang dia suka pindah-pindah duduk di kursi depan ketika salah satu dari kami ada yang tidak masuk.

Tidak lama kemudian guru bahasa inggris kami masuk ke kelas.

"Selamat pagi anak-anak."

"Pagi Bu..."

"Gimana? Udah pada belajar kan? Belajar itu harus setiap hari yaa."

"Yah ini mah tanda-tanda ulangan mendadak," ucapku dengan nada pelan dan berbicara sendiri.

"Hari ini kita ulangan harian pertama ya."

"Kan benar," kataku sambil menghentakan pulpen di atas meja. Aku tidak sadar dengan apa yang telah aku lakukan barusan. Itu rasanya seperti terjadi begitu saja tanpa aku sadari.

"Azkia. Kenapa? Kamu ga suka? Boleh keluar dari kelas sekarang juga."

"Eng... Engga Bu.  Tadi pulpennya jatuh dari tangan saya."

"Jangan banyak alasan kamu. Ya sudah, untuk kali ini kamu boleh mengikuti ulangan harian mata pelajaran Ibu. Lain kali jangan di ulangin ya Kia."

"Yah, kenapa ga jadi di keluarin? Kan enak jadinya gua ga ketemu pelajaran bahasa inggris," ucapku di dalam hati.

"Iya, maaf Bu."

"Ngapain lu ketawa?" Tanyaku kepada Gilang yang sedang menertawaiku.

"Lu si ada-ada aja. Segitu ga sukanya lu sama pelajaran bahasa inggris?"

"Iya. Ga suka, soalnya susah, gua ga bisa, haha."

"Lu harus rubah mindset lu. Kalo lu suka nanti lu bakalan bisa deh, yakin."

"Iya iya iya."

Aku memang tidak begitu suka dengan mata pelajaran bahasa inggris. Karena memang aku yang sedari dulu tidak mampu menguasai bahasa inggris. Di antara semua pelajaran, terdapat satu mata pelajaran yang mendapatkan nilai merah. Yaitu bahasa inggris. Namun walaupun aku memiliki kelemahan dalam mata pelajaran bahasa inggris, tetapi aku mampu menguasai pelajaran yang lainnya. Terutama matematika, kimi, fisika, dan pelajaran lainnya yang berhubungan dengan hitung-hitungan.

Guru bahasa inggrisku mulai membagikan kertas soal ulangan hariannya kepada seluruh murid yang berada di kelas 10.MIA.1. Kertas soal itu di berikan dengan cara es tapet. Guru hanya membagikan murid yang duduk di barisan paling depan. Kemudian dari murid yang duduk di bagian depan memberikannya lagi ke teman yang berada di belakangnya. Begitu terus sampai baris terakhir.

Ulangan harian akan di laksanakan selama 40 menit kedepan atau selama satu jam pelajaran selesai, dan sampai waktunya hampir habis, aku belum mengisi jawabannya satupun.

"Lu belum selesai juga Ki?" Tanya Gilang kepadaku.

"Belum. Bodo ah."

"Hahaha. Nih liat jawaban punya gua aja."

"Serius boleh?"

"Iya boleh. Tapi nanti istirahat traktir gua makan ya, haha."

"Sial. Ada bayarannya juga."

"Haha engga engga, becanda. Buruan. Nanti Bu Susi lihat, waktunya juga ga lama lagi."

Aku segera menyalin semua jawaban dari Gilang. Menjiplaknya tanpa ada kata yang di bedakan. Jika nanti Bu Susi menyadarinnya, aku tidak perduli. Yang penting kertas ulanganku tidak kosong karena tidak terisi sama sekali.

Kring... Kring... Kring...

"Waktu habis. Selesai tidak selesai harus di kumpulkan."

Kami semua mengumpulkan kertas soal tersebut yang sudah di jawab di atas meja guru yang berada di sudut bagian depan kelas kami. Guru tersebut merapihkannya kemudian pamit untuk keluar kelas. Karena sekarang waktunya untuk kami beristirahat.

"Ayo, jajanin gua di kantin."

"Emang ye lu Lang, bener-bener dah." Logat Betawieku keluar begitu saja. Karena aku memang adalah orang Betawie dan ada campuran Sunda sedikit. "Ayo."

Aku dan Gilang berjalan menuju kantin yang berada di belakang sekolah.

"Mau beli apaan emang lu?" Tanyaku kepada Gilang.

"Haha. Santai aja. Temanin gua makan aja."

"Ga jelas dasar."

Gilang melirik seluruh kursi yang berada di kantin. Mencari kursi kosong untuk dirinya dan aku tempati. Ketemu. Di sana masih terdapat empat kursi kosong dengan satu meja panjang.

"Lu mu makan apa Ki?"

"Hmm, soto ayam deh sama es jeruk. Enak kayanya."

Gilang mengangkat satu tangannya ke arah penjual soto ayam tersebut.

"Soto ayam nya dua Bu, es jeruk satu, dan es teh manis satu."

Tidak lama kemudian penjual soto ayam itu menghampiri tempat duduk kami berdua, dan memberikan makanan sesuai dengan pesanan kami. Namun selama kami berdua makan, tidak ada satupun dari kami yang memulai percakapan. Kami sama-sama terdiam seribu bahasa.

Kemudian aku memilih untuk mengambil ponsel yang berada di saku bajuku dan memainkannya. Ketika aku sedang mengscroll layar ponselku. Aku menemukan status whatsaap Randi yang terdapat foto dirinya sedang bersama teman-temannya di sebuah acara. Sepertinya itu adalah acara OSIS atau acara besar lainnya. Karena tempatnya yang cukup bagus dan terdapat banyak orang. Langsung saja aku mengirimkan komentar kepadanya.

"Dimana itu?"

"Lagi lomba gua."

"Ohhh. Lomba apa? Tumben banget orang kaya lu ikutan lomba, wkwk."

"Lomba debat."

"Ohh, cocok emang itu mah sama lu, wkwk."

"Gua suka lomba kali ini, haha."

"Kenapa emang?"

"Yah, kepo lu. Wkwk."

"Ngapain bilang Mansur, kalo ga mau kasih tau."

"Wkwk, nanti lu kaget lagi."

"Menang?"

"Bukan. Nanti gua ceritain kalo inget, haha. Gua mau lanjut lomba dulu."

"Oke gua tunggu."

Perkataannya sungguh membuat aku sangat penasaran. Randi memang semenjak memasuki masa putih abu-abunya, dia lebih sering mengikuti lomba untuk mewakili nama sekolahnya. Namun tidak seperti biasanya dia berbicara seperti itu.

"Kenapa? Kok muka lu kaya bingung gimana gitu?" Tanya Gilang kepadaku.

"Engga. Emang lagi kepo aja gua. Haha."

"Dasar ya cewek suka aneh. Kalo habis liat ponsel, seketika mukanya langsung berubah jadi senyum-senyum sendiri, sedih sendiri, atau engga berubah jadi bingung gitu aja."

"Hahaha. Namanya juga cewek."

Randi yang telah berjanji akan menceritakannya setelah selesai lomba debat pun aku tunggu-tunggu. Mulai dari di kantin, masuk kelas, istirahat kedua hingga bel pulang berbunyi Randi belum juga mengabariku kembali. Mungkin dia lupa atau memang masih melaksanakan lomba debat tersebut.

Aku menunggunya sampai pada akhirnya lomba debat tersebut telah selesai. Yaitu ketika aku sudah berada di rumah, dan waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam.

"Baru selesai lomba nih gua."

"Ya udah mana ceritanya?"

"Sabar dong, wkwk."

"Ya lu bikin kepo si wkwk."

"Besok lu ada acara ga?"

"Engga si. Kenapa?"

"Besok jalan yu, sambil gua ceritain semuanya. Udah lama juga ga jalan sana gua kan lu, kangen kan? Wkwk"

"Idih, pese banget lu. Oke, bayarin ya? Wkwk."

"Santai."

"Jemput juga, wkwk."

"Enak banget hidup lu ya Ki, udah di bayarin, di anter jemput lagi, wkwk."

"Iyalah. Harus itu, haha."

Lagi-lagi aku akan bertemu dengan Randi. Entah untuk yang ke berapa kalinya aku jalan bersamanya. Seperti biasa, dekat dengannya tanpa sepengetahuan Elina dan kedua sahabatku yang lainnya. Aku tidak tahu apa reaksi mereka kepadaku jika mereka semua mengetahui perbuatanku di belakangnya.

-TBC-

avataravatar
Next chapter