1 Ana

"Ana, boleh tolong ambilkan tas saya di dalam ruangan!" perintah bu Lidya, bos Ana di kantor.

"Baik, Bu," ucap Ana sambil berdiri dari tempat kerjanya menuju ruangan bu Lidya.

Ana magang di kantor periklanan di daerah Jakarta Selatan, jangan tanya pekerjaan apa yang Ana lakukan di sini. Bukan menyusun proposal ataupun membantu konsep dan desain iklan yang akan dikerjakan.

Tapi Ana seperti helper di kantor ini, maksudnya adalah, dia melakukan apapun yang diperintahkan oleh karyawan kontrak maupun karyawan tetap di sini. Dari mulai men-copy berkas-berkas, merapikan meja beberapa karyawan, bahkan membuatkan mereka segelas kopi maupun jenis minuman lain, terkadang malah disuruh membelikan makan siang di luar kantor.

Rasanya ingin berteriak dengan segala perintah-perintah mereka, tapi apa daya Ana hanya seorang pegawai magang bukan karyawan. Mengadu dengan dosen di kampus pun percuma, dosen hanya memberikan penyemangat supaya Ana bisa melewati masa magang yang masih tersisa lima bulan ini.

Bagaimana bisa membayangkan lima bulan, satu bulan saja seperti satu tahun bagi Ana. Ana direncanakan akan magang di kantor tersebut selama 6 bulan lamanya.

Dari awal magang pun mereka sudah berlaku seperti ini, bagaimana 5 bulan ke depan ya?

"Ana, belikan saya ayam penyet ya! Ini uangnya" perintah Riko.

"Ana, gue paket Nasi Padang ya?" pinta pegawai lain.

"Gue tahu campur, An!" pinta pegawai lainnya lagi.

"Gue rujak aja, An. Tanpa nanas, ya!" pinta pegawai yang tidak diketahui Ana.

Inilah saat yang tidak Ana sukai, jam makan siang. Entah siapa saja tadi yang bicara, Ana tidak memperhatikan. Dia hanya fokus pada pilihan makanan yang mereka inginkan. Terkadang mas Jupri karyawan bagian pantry ingin membantu Ana, tapi selalu tak diperbolehkan sama karyawan yang bernama Riko. Katanya Ana disuruh belajar sengsara dulu.

"Gila kali ya tu orang, sengsara kok dibuat belajar" gumam Ana.

Ana menuju lift dan menekan tombol turun, menunggunya sambil menuliskan makanan yang akan dia beli.

Ting...bunyi lift akan terbuka.

Di dalam lift hanya ada satu pria berpakaian lengkap dengan jas dan dasi yang sangat cocok ditubuhnya. Ana tidak terlalu menghiraukan orang tersebut, dia masih fokus dengan buku kecil yang dia gunakan untuk mencatat tadi. Karna lantai lobby sudah tertekan, maka Ana melanjutkan tulisannya tanpa menghiraukan apapun.

"Dek, Dek, uangnya jatuh" ucap si pria.

Reflek Ana menoleh ke sumber suara lalu menatap heran.

"Di mana pak?"

"Itu" tunjuknya.

"Oh, itu bukan uang saya pak."

"Lalu?"

"Entah, kan bapak yang lebih dulu ada di lift ini" ucap Ana seadanya.

Si pria langsung terdiam sesaat lalu membungkuk untuk mengambil uang yang terjatuh di lantai. Setelah lift sampai lobby, segera Ana keluar dengan cepatnya dan keluar kantor menuju sederatan pedagang kaki lima. Dan si pria masih memperhatikan Ana sampai dia benar-benar tidak terlihat lagi.

***

"Ini kak makanannya" ucap Ana ke Riko.

"Thank you, An?"

"Sama-sama."

Lalu Ana menuju lift untuk keluar kantor dan memulai istirahatnya yang telah terpotong hampir setengah jam karena harus membelikan pesanan karyawan lain.

"Akhirnya gue istirahat juga" ucap Ana lirih.

Tringgg... dering ponsel ana berbunyi.

"Halo, Kin"

"Lagi istirahat gue"

"Lu di gedung kantor ini?"

"Gue di tukang abang bakso depan gedung"

"Oke gue tunggu"

Setelah sambungan telfon terputus, Ana mengarahkan pandangannya mencari sesosok yang barusan menelfonnya.

"Hey" ucap seseorang sambil melambai ke arah Ana.

"Sini Kin!"

"Oke" jawab Kino teman terdekat Ana dari Bayi.

"Lu jauh amat istirahat makan siang sampai sini, Kin?"

"Sengaja mau ketemu sama elu, An"

"Oh, ada apaan emangnya?"

"Kerjaan lu di kantor gimana? Masih disuruh-suruh kayak babu?"

"Ya seperti itulah Kin"

"Udah, lu pindah magang aja napa?"

"Kagak bisa Kin, bu Dian gak kasih gue ijin"

"Dasar dosen aneh tu orang, udah tahu mahasiswanya ditindas. Masa mau pindah malah kagak dibolehin"

"Udahlah biarin Kin, tinggal 5 bulan aja kok."

"Lima bulan aja? Sebulan aja kata lu kayak setahun, gimana 5 bulan coba."

"Ya 5 tahun Kin jadinya."

"Eh ni anak, malah diitungin beneran. O iya, nanti pulang jam berapa? Bareng gue aja ya!"

"Belum tahu Kin, lu tahu sendirikan mereka kayak gimana dari cerita gue sebelum-sebelumnya."

"Iya sih, tapi gue takutnya lu keabisan angkot An."

"Kan ada ojek online Kin. Santai aja!"

"Kabarin gue kalau lu minta jemput ya!"

"Siap Kin!"

"Yaudah, gue balik kantor dulu. Gak enak anak magang telat masuk."

"Oke deh Kin, gue juga mau masuk kok."

"See you An."

"See you too Kin."

Ana memutuskan langsung menuju kantor setelah dia selesai membayar uang bakso, bakal ada drama kalau dia sampai telat masuk nanti. Disaat Ana tengah menunggu lift di lobby, tanpa sadar tali sepatu kets yang dia gunakan terlepas.

"Dek, Dek, tali sepatunya lepas" ucap seorang pria.

"Oh" ucap Ana sambil mengarahkan pandangan ke kaki dan mulai membungkuk dan membetulkan tali sepatunya.

"Makas...sih" ucap Ana terbata.

"Gila, suara siapa ya tadi? kok gak ada orang" ucap ana lirih.

Padahal tanpa Ana sadari, pintu lift sudah terbuka dan tertutup kembali saat dia membenarkan tali sepatunya.

"O iya, kok dia manggil gue dek sih? Dikira gue anak kecil apa ya" keluh Ana.

Padahal emang Ana terlihat sekali masih mahasiswanya. Malah terkesan anak SMA yang lagi main-main ke kantor. Ana berperawakan kecil munggil, dia hanya setinggi 153 cm. Itupun kadang jadi 151 cm saat di ukur lagi, jadi kalau ditanya berapa tinggi badan Ana, dia akan menjawab 151 cm - 153 cm.

Ana mengunakan celana levis serta kaos putih dirangkap dengan kemeja kotak-kotak yang ukuran bajunya lebih besar jauh dengan besar badannya. Di tambah sepasang sepatu kets berwarna biru levis dan rambut lurus dikuncir kuda.

Sudah banyak yang memanggil dengan awalan kata dek, karna memang wajah Ana juga baby face. Ana mahasiswa akhir jurusan DKV atau Desain Komunikasi Visual, semester akhir ini dia sedang menyusun skripsi dan menjalani magang. Karna memang dia menginginkan magang di akhir semester, walau bisa jadi skripsi akan terganggu. Toh Ana gak terlalu peduli dulu dengan skripsi, yang penting dia bisa mendapatkan uang terlebih dahulu, untuk menutup tunggakan biaya kuliah. Setelah lunas tunggakan, baru Ana akan mengajukan skripsi dan membayar segala embel-embelnya.

Ana hanya seorang gadis yang ingin membuktikan kepada orang tuanya, bahwa dengan menolak perjodohan yang orang tua Ana rencanakan, tidak akan membuat dia susah menjalani kehidupan.

Ana akan dijodohkan oleh seorang anak dari rekan bisnis orang tuanya, katanya orang tua Ana berhutang budi dengan keluarga tersebut. Tapi untuk membayarnya, tidak harus mengorbankan hidup Ana kan seharusnya?

avataravatar
Next chapter