3 Teguran Teman

Malam yang indah, walau pagi hujan deras, malam ini sangat terang bulan sabit dan bintang-bintang, menjadi saksi di malam pengantin.

Gadis dengan hijab biru itu melamun, sambil melihat ribuan bintang berkilau, mengharapkan sesuatu akan datang dan menghiasi hati yang sepi dan merana. Walau tempatnya sangat ramai tapi ia seperti sendiri. Dia adalah Rania.

"Aku mencintaimu selamanya." Suara itu datang, membuyarkan lamunan yang membelenggu. Rania mencari suara itu berasal. Ia kecewa, membuang nafas.

Ia mencari kesibukan, matanya kesana-kemari, entah apa yang dia cari. Pandangannya berhenti di satu titik, pria itu dengan kemeja biru tua, sangat serasi dengan yang di kenakannya, ya dia adalah Hanif. Hanif datang dengan kado kecil.

Rasa rindu yang terpendam karna tidak ingin menanbah luka hati, Rania menatap dari kejauhan. Namun walau hati jauh, hati Hanif terasa ada yang memanggil, satu tolehan, pas dan langsung bertemu. Ya mata keduanya saling menatap, tersirat kesidihan walau saling tersenyum.

Begitu menyiksa batin, walau bibir diam tapi mata bisa menunjukkan kepedihan. sesekali Hanif melambaikan tangan, Rania membalasnya. Hanif segera ke pelaminan.

"Lho? Kok. Ajaib nih!" Hanif terkejut melihat Kanaya bersanding dengan Mahis.

"Kita bukan teman jangan sok akrab." Mahis sangat acuh. Tapi Hanif memang orang yang tenang, ia malah tertawa. Rania mengintip dan bersembunyi ikut tersenyum, ia menutup bibirnya.

"Selamat, selamat." Hanif mengulurkan tangan. Mahis malah memeluk, Kanaya sangat terkejut dan tidak menduga.

"Sangat sakit tidak bisa memiliki orang yang di cintai. Aku sarankan kaburlah bersama Rania," bisik Mahis, Hanif tersenyum singkat lalu melepas pelukan Mahis.

"Cinta ku sejati walau tidak termiliki," ujar Hanif, Mahis tertawa kecil.

"Selamat Aya, dan kalian harus berjuang, Allah akan membantu kalian. Apa yang tidak mungkin kini jadi mungkin." jelas Hanif, Mahis membuang wajah, malas mendengar ocehan, Kanaya tersenyum singkat.

"Oh ya. Jika kamu jenius maka kamu memilih jalan yang baik. Dan tidak ada madhorotnya atay kesusahan, kesulitan," tegur Hanif, Mahis tertawa remeh.

"Aku tidak bisa sepertimu, kamu hebat," ujar Mahis mengejutkan orang yang mendengar. Hanif turun dari pelaminan.

Pria berkumis menghampiri Hanif dan menghadang. "Jangan pernah mendekati Rania lagi." Serasa di tampar, tiada basa-basi dari pria itu yang tidak lain Ayah Rania, Mahis melihat itu, ia segera turun untuk menghampiri Hanif, Rania melangkahkan kaki melihat Mahis, ia kembali di persembunyiannya.

"Rania, tolong bawa ini." suruh Jihan, ini kesempatan Rania, agar bisa mendengar obrolan mantan kekasih dan ayahnya. Rania menerima dan bergegas ke depan.

"Om, dia temanku. Lagian dia sudah putus kok," jelas Mahis. Hanif mengulurkan tangan hendak mencium tangan ayah dari gadis yang di cintai. Jangankan menerima uluran itu, ayah Rania pergi begitu saja, Rania menangis sedih melihat perlakuan sombong ayahnya, rasa sakit. Ia berlari ke parkiran.

Hanif dan Mahis berjalan bersama. "Jadi sekarang aku terakui?" tanya Hanif, Mahis tertawa.

"Kita memang teman, maaf aku memang dingin orangnya, sekian lama kita bersama, di SMA, Di Kampus, di kantor. Tapi aku sok tidak kenal," ujar Mahis memandang pemuda kesepian di depannya.

"Hehe kau menyesal," ucap Hanif masih heran dengan Mahis.

"Okelah, terserahmu. Tiada rencana semua pertemuan kita tak terduga. Kita bisa bersama, namun jarang bicara. Aku sangat mengagumimu.

"Kekasih yang teramat kau cintai yang sampai kamu mau mati karenanya, dia pergi kemana?"

"Kamu teman macam apa sih!" Mahis mendorongg Hanif, Hanif tertawa.

"Ha haha, terserah. Tapi aku sangat bersyukur, Allah memberimu jodoh yang baik untukmu. IngsyaAllah," ujar Hanif, lega teman sekelasnya gagal nikah dengan wanita yang tidak baik.

"Kenapa semua orang berfikiran seperti itu? Kamu tahu dari dulu, ah, sulit ngomong sama orang sepertimu," ucap Mahis.

"Aku berfikiran soal mantanmu karena aku bisa melihat ketidaksetiaannya, mana yang terbaik saat ini, kamu belum sadar saja, namun suatu saat nanti aku akan yakin, pertemuan tak terduga bisa jadi cinta," perkataan Hanif belum selesai.

Mahis menyahut,

"Ngomong apa kamu ini, tidak jelas, bahkan aku sudah merancang. Sudah berhenti membicarakan kejadian tragis ini, apa kamu tidak rindu?" pertanyaan Mahis mengarah pada satu tujuan, Hanif mengikuti mata Mahis melihat.

Terlihat di salah satu rumah yang bersorot lampu, di bawahnya berdiri gadis yang didambakan hati.

"Rasa ingin memeluk dan jadi tempat bersandarnya, tapi kami tahu batasan kami. Kami ingat kepada Allah, kami belum muhrim, memandang dari kejauhan adalah penawar dan obat rindu. Kami membuktikan jika cinta kami kepada Allah sangat besar, hingga mencegah keinginan dan sahwat rasa ingin bersama," ujar pelan dari Hanif.

"Aku tidak bisa sepertimu, mencintai benar-benar karena Allah, mencegah sahwat, nafsu. Aku berhasil tidak menciumnya, kami hanya bergandengan tangan, mungkin itu yang membuatnya tidak puas hingga dia meninggalkanku, hasratnya bersamaku ku tahan. Aku mencegahnya ketika ingin menciumku, karena aku masih ingat dosa. Saat seperti jarang orang yang bisa mencegah, pacaran secara islami ta'aruf saling menjaga sentuhan sampai benar-benar halal, sangat sulit ya, maklum manusiawi," kata Mahis sadar.

"Mencintai karena Allah sangat sulit, tidak semudah dan seindah lagu, penuh perjuangan memerangi nafsu yang berapi-api. Aku memang mencintainya, tapi kami sama-sama berfikir, restu orang tua adalah restu Allah, aku hanya bisa berdoa, semoga dia bahagia." Mata Hanif berkaca-kaca suaranya terpecah. Hanif segera mendatangkan senyum.

"Setidaknya bicara sebentar, setelah bertahun-tahun tidak bertemu. Aku orang ketiga, tidak akan ada setan yang mengganggu, karena ada aku," pinta Mahis, Hanif tersenyum.

Mereka berjalan menemui Rania, Rania dan Hanif berjarak satu setengah meter, dan Reza duduk di atas motor.

"Assalamu'alaikum ya habibi, kaifa haluk (hai kekasihku, bagaimana kabarmu?")" pertanyaan Hanif membuat Rania menangis.

Tangisan dengan tersedu-sedu, itu sangat membuat hati Hanif sakit.

"Eh, mmm, hiks. Wa'alaikummussalam, saya baik, namun maridon fil qolby (sakit di dalam hati.) hek, hiks. Huh ehm. Maaf, maaf kan aku, aku tidak mengabarimu sejak 3 hari ini, sejak hiks." Rania yang sesenggukan mencoba menahan air matanya, Hanif tertawa kecil, walau hatinya tercambuk ia ingin gadis yang mencintainya kuat dan tegar.

"He he, sudah." Hanif memberi sapu tangan, Rania menerima, dan sangat terkejut, itu sapu tangan kenangan mereka. Rania menerima.

"Lama tidak bertemu, lebih cantik dari pada di vidio, aku akan datang, bahkan kalau boleh aku akan menyumbang lagu," ujar Hanif, walau tidak menangis namun dadanya sesak.

"Aku akan menunggu, karena restu dari sang kekasih, akan membuatku merasa tidak bersalah," ucap Rania mereka tertawa kecil, Mahis yang melihat sangat kagum dan merasakan sakit hati.

"Tapi akan nyanyi lagu apa?" tanya Rania, Hanif tertawa, Rania ikut tertawa dalam kesedihannya.

"Aku tak akan tega jika menyanyi lagu, harusnya aku yang di sana. Dampingimu dan bukan dia ..." Hanif tidak memyelesaikan lagu dari band Armada.

"Jangan itu kejam, ini pilihan kita. Salam sejuta rindu, semoga kamu segera menemukan penggantiku, wanita yang baik dan solihah." Rania dengan tegar mendoakan sang kekasih hati untuk orang lain.

"Aku tidak akan mencari siapa pun, sampai kamu punya anak, baru aku akan mencari." Keputusan Hanif membuat Rania tertawa hancur.

"He hehe."

"Kok ketawa?" Hanif bingung.

"Jangan bilang kamu akan menunggu jandaku, nanti," ujar Rania, mereka tertawa, Mahis yang hanya mendengarkan ikut teriris dan tersenyum.

'Bagitu tegar. Ya Allah, jauhkan aku dari mabuk kepayang karena mantan penkhianat," batin Mahis

avataravatar
Next chapter