webnovel

Jarum Dan Benang

Setelah beberapa saat Aya terbangun, Mahis mengusap keringat, air, air mata, dari wajah Aya.

"Maafkan aku. Minum," titah Mahis, mengangkat leher Aya, Aya terlepas dari hijabnya.

"Hi_jab?" Mata Aya penuh dengan duka, ia troma. Mahis membantunya minum.

Mahis mengambil kapas, betadin, dan obat luka oles. Ia mengobati kaki Aya yang terluka, sangat perih rasanya. Setelah di jalan aspal ia berlarian.

Aya menggigit apel karena menyumpal mulutnya agar tidak berteriak kesakitan. Aya memejamkan mata, rasa takut menghantuinya.

'Kau ini, sangat sulit di fahami. Perhatianmu ini apa? Apa karena ada yang mengawasi? Mungkin orang suruhan Oma. Jika orang lain menyentuhku, ada rasa takut. Kesucianku memang untuk mu suamiku.' batin Aya memejamkan mata dan sadar diri jika suaminya terpaksa.

Mahis lalu fokus menyetir setelah mengobati Aya, sesekali dia melirik ke Aya.

'Maafkan melampiaskan perasaan marahku, tapi aku belum bisa, walau sudah ciuman di bibir hatiku tidak tertarik, tidak ada aliran listrik yang menyatukanku, tiada kemestri, aku tidak tersetrum olehmu. Jika begini terus kamu akan semakin terluka. Terluka dan sakit. Aku bukan orang jahat Ya, tapi maaf, maafkan aku.' batin Mahis juga sakit, jika terus bertahan tanpa cinta.

Siang hari mereka sampai di sebuah penginapan, Mahis sibuk mengatur pertemuan dengan klien. Sementara Aya selalu sabar dengan sikap suaminya, yang acuh kepadanya, Mahis duduk di depan laptop sambil terus fokus mengerjakan tugasnya. Mahis mengambil apel sambil terus bergumam.

"Mas makan sambil komat kamit baca mantra apa sih. Jangan-jangan Mas akan memeletku," goda Aya, Mahis tidak menggubrisnya.

Aya ke dapur, tidak lama dia kembali dengan membawa masakan ke meja makan. Entah sengaja atau tidak Mahis memasang kaki kanannya di depan kaki Aya.

Mahis pergi ke kamar, walau satu penginapan dan pasangan suami istri, Mahis tetap acuh dan sok sibuk. Aya menunggu suaminya untuk makan bersama, namun nikhil Mahis tidak keluar kamar.

Ceklek!

Suara pintu akan dibuka, Aya dengan semangat berdiri.

"Iya, kita akan bertemu, lima belas menit lagi aku sampai resto. Aku sudah mempersiapkan berkas-berkasnya." Mahis melintasi Aya yang baru saja membuka mulut untuk menawarkan makanan. Pergi tanpa pamit, Aya menghela napas.

Beberapa jam Aya menanti suaminya yang tidak kunjung datang. Aya selesai melaksanakan salat lalu kembali menunggu suaminya. Mendengar suara mobil, Aya bergegas menyambut suaminya.

Dia berupaya mendatangkan cinta untuk dirinya dan untuk suaminya. Perhatian sederhana yang sering kaki diabaikan Mahis.

Aya membuka pintu, Mahis pulang dengan wajah yang sedih dan letih. Aya tidak berani mendekat. Mahis lalu berlari dengan keras, Aya memandangnya, Mahis menghampiri Aya lalu memeluk istrinya dengan sangat erat dan tak ingin melepaskan.

'Setelah bertingkah sok nggak kenal kini dia memelukku. Sangat sulit di mengerti. Aku yakin orang suruhan Oma pasti sedang memantau,' batin Aya yang lalu melihat mobil berhenti di depan penginapan mereka, Aya memulai ektingnya.

"Ada apa?" tanya Aya melepaskan pelukan Mahis melepas secara perlahan, tanpa berkata mereka masuk ke dalam rumah penginapan itu, Mahis berjalan ke kamarnya, Aya melihat pipinya yang memar.

Aya mendekat dan melihat luka Mahis.

"Lebih baik gak usah, menjauhlah. Kita sudah di dalam!" Setelah berkata Mahis menampik tangan Aya yang ingin memastikan memarnya. Penolakan itu membuat sesak, Aya menahan air matanya lalu diam dan berfikir.

"Sebenarnya maumu apa! Aku jadi serba salah, mendekat atau menjauh. Maumu apa sih Kak. Kamu itu udah dewasa, kamu memperlakukanku sesuka hatimu, mungkin pernikahan ini terikat perjanjian. Akan tetapi kita manusia, saling membutuhkan," tegur Aya menatap Mahis yang berbaring tanpa merespon perkataannya.

'Aku bertemu mantanku saat mantannya berselingkuh. Aku memukul kekasih mantanku karena sudah tega, Apa aku bodoh?' batin Mahis.

"Maaf Kak," kata Aya tidak tega melihat suaminya, Aya hendak mengobati suaminya yang sedari tadi diam.

"Aku tidak suka kamu menyentuhku!"

Aya tidak memperdulikan penolakan itu Aya duduk di sampingnya, ia mencoba menjadi seorang teman bagi suaminya. Aya mau mengobati, tapi Mahis menolak dan merebut kapas itu. Mahis mengobati lukanya sendiri.

Aya dengan sabar berdiri. "Mau kemana? Duduk." titah Mahis, Aya duduk.

"Aku melihat kejenuhan," kata Mahis mengambil sesuatu di dompetnya, kartu ATM di sodorkan olehnya. "Hiburan wanita biasanya kan shoping. Pakailah," ucap Mahis, Aya merasa muak dengan tingkah suaminya.

'Aya jangan emosi, jangan emosi,' batin Aya.

"Aku menerima uang saja." Aya terlihat sangat malas, ia tidak ingin. Bicara soal apapun.

"Jangan membuatku merasa tambah bersalah." ujar Mahisa, mereka saling menatap.

"Bukan itu yang aku mau." ucap Aya membantah.

"Aku tidak bisa memberi cintaku. Maafkan aku," ucap Mahis, keduanya saling menatap.

"Aku hanya meminta sedikit waktumu, sebagai teman. Teman baik, apa kau bisa? Setidaknya saling bicara, jangan mendiamkan!" Permintaan kecil dari Aya. "Aku ingin kita berteman, membagi batin, mengeluarkan rasa sakit, sedih, bahagia, bersama, hanya saling bicara yang ku minta. Aku tidak pernah memaksa cintamu. Dan ingat ATM pun yang isinya bisa untuk membeli rumah, gudang sembako, bakso dan gerobaknya atau yang lain. Moll dan isinya. Aku tidak menginginkan itu," jelas Aya "Kamu diam membisu, lalu baik, lalu mesra. Kamu egois, aku tidak bisa mengerti dengan itu!" lanjutnya.

Mahis diam dan berfikir. 'Rasanya bertemu denganmu saja sudah menyakitkan. Aku merasa memelukmu bisa damai. Tapi aku semakin sakit dan sedih. Rasanya aku ingin menjauh-sejauh, jauhnya.' batin Mahis merunduk.

"Jika kamu diam! Aku juga diam, katamu kita tidak saling mengenal, lalu kenapa? Aku tidak boleh beranjak." Aya mulai bersikap tegas.

"Pergilah. Kenapa masih di sini!" Mahis berteriak dan membanting kotak obat. Mata Aya mulai menangis dadanya berdebar dan rasanya sangat sesak, ia pergi.

Sangat sulit memahami seseorang. Aya berwhudlu, lalu mengaji, ia berusaha menenangkan diri namun air matanya berlinang.

Ia tertidur sampai Azan dhuhur berkumandang. Aya tidak mau keluar kamar, ia berwhudlu.

Tok

Tok

Tok

"Ayo jama'ah." ajak Mahis tenang.

"Ih, rasanya ingin membejek-bejeknya. Astagfirullah, dia tidak sadar, jika sudah membuatku tercabik-cabik. Rasanya robek hatiku ini...," gumamnya ia membuka pintu, Mahis berdiri di depan pintunya dengan bersandar.

Aya membuka pintu dan diam, Mahis hendak berjalan lalu menoleh saat istrinya masih berdiri di tempat.

"Kok malah melamun!" tanya Mahis.

"Aku butuh jarum dan benang." ujar Aya, sambil memegang mukenanya.

"Mukena baru sudah sobek. Bagaimana sih." Mahis mendekati Aya merebut dan mencari yang sobek. "Di mana yang robek?" tanya Mahis, Aya menunjuk ke hatinya.

"Di sini. Ayo solat," ajak Aya merebut mukena, Mahis bengong, ia menggaruk kepalanya.

"Apa hubungan hati, benang dan jarum. Gila nih." gumamnya masih berfikir. "He tunggu, solat tidak boleh memikirkan sesuatu, jadi maksudmu, antara hati, benang dan jarum."

"Tidak penting." Aya acuh, Mahis menatapnya dengan tajam. "Awas nanti jatuh cinta." ujar Aya. Mahis gregetan.

"Heh." Mahis kembali berwhudlu, kemudian mereka berjama'ah, melaksanakan solat.

Next chapter