webnovel

Hitam di Atas Putih

Arga baru saja keluar dari kamar mandi saat handphone-nya berdering, dengan enggan, pria itu menghampiri bed king size-nya, dan meraih benda persegi panjang yang tergeletak di atas sana.

Sebuah panggilan masuk dari nomor yang tidak di kenal. Meski begitu, Arga langsung mengangkatnya, karena ia tahu benar bahwa hanya orang-orang tertentu yang mengetahui nomornya.

"Halo?"

"Ini saya Mika. Saya mau bertemu dengan Om Arga!"

Arga nyaris tersedak ludahnya sendiri  saat mendengar gadis itu memanggilnya dengan sebutan om.

Ia tahu bahwa tentu saja usianya jauh lebih tua dari gadis itu, tapi tidakkah itu terlalu berlebihan?

"Om? Kok nggak ada suara? Ini signalnya lagi jelek apa gimana sih?"

"Kamu mau bertemu kapan?"

"Eh, em ... kapan ya? Sekarang bisa?"

Arga memijit pelan pelipisnya, dan menghela napas berat. Panggilan dari Mika itu masih mengganggunya.

"Bisa. Kamu kirim saja alamatnya, saya akan langsung ke sana."

"Oke."

Setelah mengatakan itu, Mika langsung menutup teleponnya.

Arga pun bergegas mengganti baju, dan turun ke bawah. Rumahnya selalu saja diramaikan oleh para ibu-ibu sosialita yang kurang kerjaan, seperti biasa. Arga hanya tersenyum kecut melihat sekumpulan wanita tua yang selalu menjodoh-jodohkan dirinya dengan putri mereka itu.

"Kamu mau ke mana, Ga? Hari ini kamu nggak ngantor, 'kan? Kok rapi gitu?"

Arga berhenti begitu mendengr suara mamanya memanggil namanya itu.

"Mau ketemu sama Mika."

Raut wajah mamanya langsung berubah masam begitu mendengar nama gadis itu disebut. Sepertinya mamanya itu memang sangat tidk menyukai Mika. Ini merepotkan.

"Arga pergi dulu!"

***

Mendadak Arga langsung merasa tua begitu memasuki sebuah kafe dengan dekorasi mencolok berwarna-warni.

Ini jauh dari ekspektasinya. Selera gadis itu benar-benar luar biasa.

"Di sini, Om!"

Arga terlonjak kaget mendengar suara Mika yang melengking dari meja di sudut ruangan.

Gadis itu melambaikan tangan ke arah Arga.

Kabar buruknya adalah, semua orang yang ada di sana langsung menoleh ke arah Arga. Mereka pasti berpikir apa yang dilakukan pria dewasa seperti dirinya di tempat seperti ini.

Buru-buru Arga menghampiri Mika dan duduk berhadapan dengan gadis itu.

"Kamu mau membicarakan pernikahan kita?" Arga berujar cepat.

Dia memang bukan tipe orang yang suka basa-basi. Lebih cepat diselesaikan, lebih baik.

"Saya setuju untuk menikah dengan Om Arga." Mika menatap lurus-lurus pria di hadapannya itu.

"Tunggu, sebelum itu, bisa kamu berhenti memanggil saya dengan sebutan om? Orang-orang akan berpikir saya ini daddy sugar-nya kamu atau om-om yang sedang mengincar kamu! Itu mengganggu saya!"

"Bukannya Om Arga jauh lebih tua dari saya? Kalau tidak om, lalu saya harus memanggil dengan sebutan apa?" tanya Mika dengan polosnya.

"Kamu itu seumuran sama adik saya, jarak usia kami hanya lima tahun! Kamu bisa panggil saya mas, abang, kakak, atau terserah apa pun itu asal jangan om!"

Mika terkekeh pelan. Dia tidak menyangka, hal sepele seperti itu bisa membuat Arga begitu kesal.

"Ya sudah, mas saja! Ribet amat," ucap Mika pada akhirnya.

"Jadi, sampai mana kita tadi?"

"Saya setuju menikah dengan Mas Arga, asal Mas menyetujui beberapa syarat yang saya ajukan."

Arga hanya terdiam saat Mika mengeluarkan sebuah map berisi surat perjanjian mengenai syarat-syarat yang Mika ingin Arga setujui.

"Mas bisa baca dulu baik-baik."

Arga pun menarik map tersebut, dan membaca secarik kertas yang ada di dalamnya.

"Satu, setelah menikah, harus tinggal di rumah Mika. Kenapa gitu? Kamu bisa tinggal di rumah saya!" Arga mengernyit bingung.

"Itu satu-satunya tempat yang berisi kenangan tentang keluarga saya. Saya ingin terus dekat dengan kenangan ayah dan ibu." sahut Mika pelan.

Itu bukan masalah besar bagi Arga, karena toh ia bisa sedikit merubah tempat itu menjadi tempat yang nyaman untuk ia tinggali.

"Kedua, Mika diperbolehkan untuk kuliah, dan jalan-jalan kapan pun ia mau. Oke, yang ini juga tidak masalah. Saya sudah pernah bilang sebelumnya, kamu boleh melanjutkan kuliah, dan pergi jalan-jalan semau kamu. Akan tetapi, harus ditambah beberapa poin di sini."

"Apa?"

"Kamu bebas jalan-jalan, atau bersenang-senang bersama teman kamu, asal bukan seorang pria. Saya tidak mau wanita saya dekat dengan pria lain." tegas Arga.

"Oke." sahut Mika cepat.

"Yang ketiga, tidak tidur bersama sampai Mika lulus kuliah?" Arga sedikit terkejut membaca poin terakhir dari surat perjanjian tersebut.

"Saya tidak mau hamil muda. Bukankah resiko nya terlalu berat jika hamil terlalu muda? Apalagi, jika hamil, saya akan kesulitan beraktivitas di luar rumah, itu akan mengganggu kuliah saya."

Arga tersenyum tipis. Itu ide bagus, apalagi ia sendiri juga masih belum siap memiliki anak, jadi itu bukan masalah.

Tanpa mengatakan apa pun lagi, Arga mengambil sebuah pena yang sebelumnya memang sudah Mika siapkan di atas meja. Pria itu menandatangi surat tersebut tanpa keraguan sedikit pun.

"Oh iya, bukannya kamu itu sudah punya pacar? Bagaimana dengan pacar kamu itu?"

Mika tampak kebingungan dengan ucapan Arga. Bisa dikatakan, bahwa Mika itu sudah jomblo sedari lahir. Jadi, pacar mana yang Arga maksud?

"Saya tidak punya pacar."

"Lalu, siapa anak menteri yang dikabarkan jadi pacar kamu itu?"

"Tunggu, Mas nyelidikin saya?" pekik Mika kaget.

"Saya bukan orang yang kurang kerjaan seperti itu. Kamu ingat adik saya yang dulu ikut ke rumah sakit, 'kan? Dia itu satu sekolahan sama kamu. Dia yang bilang kalau kamu punya pacar."

Mika pun mengangguk mengerti. Ia mengingatnya, adik Arga yang memang terlihat tidak asing di matanya itu.

"Itu cuma gosip! Si anak menteri yang Mas maksud tadi, teman saya dari kecil. Dia memang sengaja membuat hubungan kami terlihat seperti itu karena dia malas dikejar-kejar para siswi di sekolah kami."

"Kalau begitu bagus."

Setelah itu, tidak ada percakapan apa pun yang terjadi. Suasana cukup canggung di antara mereka.

"Saya nggak tahu harus mulai hubungan ini dari mana!" Mika berujar pelan.

"Sama. Ini pertama kalinya saya menjalin hubungan dengan perempuan. Saya juga tidak tahu harus memulai dari mana."

Mika terkejut mendengar pengakuan dari Arga. Tidak mungkin pria setampan Arga belum pernah berpacaran sebelumnya.

"Jangan bohong!" seloroh Mika dengan tatapan penuh selidik.

"Saya home schooling sejak kecil. SMA pun di sekolah asrama khusus laki-laki. Kuliah juga hanya fokus dengan tugas. Setelah lulus, langsung membantu ayah di perusahaannya hingga pada akhirnya saya bisa mendirikan perusahaan saya sendiri. Jadi, tidak ada waktu untuk sesuatu seperti itu."

Mika menggeleng tak percaya. Di saat hidup begitu indah, mengapa ada orang yang begitu serius seperti pria di hadapannya itu? Hidup Arga terlihat benar-benar hambar.

"Kalau begitu, kita bisa memulainya pelan-pelan karena kita sama-sama belum berpengalaman. Bagaimana jika berteman dulu?"

"Kita akan menikah, jadi untuk apa berteman?"

"Gini ya, Mas. Tak kenal maka tak sayang! Jadi kita kenal dulu, berteman dulu, sampai sayang itu hadir, dan bisa melanjutkan ke tahap yang lebih serius dari itu!"

"Ha?"

Next chapter