webnovel

Perjodohan dan Pernikahan

Mobil pengganti dihiasi semerbak bunga memasuki pekarangan kediaman asing adalah kediaman calon mertuaku. Sejak kemarin hatiku terus digandrungi rasa cemas.

Bagaimana tanggapan mertua tentangku, tanggapan kakak iparku, dan tanggapan calon suamiku. Bagaimana kesan pertama dia bertemu denganku. Apakah dia dengan besar hati mau menerimaku ataukah memerlukan waktu. Perasaanku padanya tidak perlu dipertanyakan lagi, aku telah mencintainya sejak awal pertemuan kami.

Flashback

"Siapa namamu?" Suaranya terdengar dingin begitupun wajahnya. Sebisa mungkin ku usahakan tuk mulai terbiasa karena mungkin dia membutuhkan waktu, begitupun diriku. Kita tidak boleh asal menilai orang hanya dari kesan pertama bukan.

"Audia..." Jawabanku lirih. Suasana canggung menyelimuti.

"Em, kamu belum tau namaku?" tanyaku menunduk karena tatapannya yang begitu tajam dan mengintimidasi. Aku benar-benar tak berani melihat wajahnya. dia sangat dingin.

"Kita dijodohkan, jadi ayah dan ibu sering menceritakan tentangmu," ucapku karena dia tak menjawab. Dia benar-benar adalah pria paling dingin.

aku menggigit sudut bibir, aku tak tahu harus bicara apa lagi.

"Dan kau apa kau …?" aku kembali bersuara, mencoba mencairkan suasana yang dingin ini. Namun aku terhenti dan sedikit tertegun

ketika pria dingin di depanku tiba-tiba berdiri.

Ku beranikan diri menatap wajahnya yang benar-benar dingin seakan diselimuti awan hitam. Seakan-akan sedang marah padaku atau mungkin hanya perasaanku saja.

"Setelah kita menikah karena perjodohan, ku harap kau tidak berkecil hati terhadap sikap ku," ucapnya menatapku dengan serius sebelum ia berjalan pergi meninggalkanku sendirian di restoran.

Ku ketupkan mataku mengingat pertemuan kami saat itu. 'Apakah karena aku belum mengenalnya? Sebaiknya aku harus mengenalnya lebih jauh lagi,' gumamku menyemangati diri sendiri.

Saat ini kediaman keluarga Buhron telah ramai dipenuhi parah tamu yang turut menghadiri pernikahan kami, Kamis 02, Mei-2003, berkat perjodohan ayah ibu hari ini aku akan diperistrikan oleh anak keluarga Buhron, Kaian Hariz Buhron.

Audia Sentia Bella Hazana, kedua orang tuaku biasa memanggilku Audia, sedang teman-teman terbiasa memanggilku Sentia. Setelah menamatkan studi ekonomi S1 niatnya ingin melanjutkan S2. Namun takdir Allah berkata lain. Aku yang jauh dari kampung berjodoh dengan Mas Kai yang notebet adalah penduduk kota, status keluarga mereka juga terpandang. Jodoh memang tiada yang tahu.

Dari cerita yang ku dengar dari ayah bahwa ayah memiliki hubungan baik dengan ayah mertuaku, mereka telah bersahabat sejak kecil bahkan sejak menduduki bangku sekolah dasar, kemudian terpaksa berpisah karena keluarga calon mertuaku harus pindah ke Jakarta. Setelah kami dewasa mereka setuju untuk menjodohkan salah satu anak mereka, aku sebagai anak sulung yang tersisa ditetapkan untuk menjalankan silaturahmi ini.

Ibu menggengam tanganku, menuntutku dengan beberapa teman serta saudara wanitaku untuk duduk di balik tirai yang memisahkan untuk mendengar kalimat ketika aku akan disahkan menjadi seorang istri.

Dadaku bertalu kencang, seakan akan lari dari tempatnya. Bagaimanapun aku sangat gugup saat ini. Ibu yang mengerti perasaan mengelus lembut telapak tanganku.

"Saya nikahkan dan kawinkan kau Audia Sentia Bella Hazanah dengan lantunan surat An-nisa dibayar tunai!" ucap pemilik suara asing namun begitu familiar dalam sekali tarikan nafas itu membuat detak jantungku seakan berhenti untuk beberapa saat.

Deg! Begitu cepat jantungku berdetak, berdebar-debar seakan copot dari tempatnya. Ya Allah beginikah nikmat diperistrikan. Rasanya sangat indah. Meskipun saat ini cintaku tak seberapa, namun akan ku coba mencintainya dengan tulus.

Aku menunduk dan sedikit gugup.

"Bagaimana para saksi? Sah?"

"Sah! Sah! Sah!" ucap para tamu bersamaan.

Pujian Dan syukur serta congrats ditujukan pada kami pasangan serasi di mata para tamu saat ini.

Aku memerhatikan Mas Kai, mencuri pandang kepada pria yang telah sah menjadi imamku. Rasanya dia semakin tampan jika diperhatikan terus. Hingga penghulung menuntutku mencium tangan Mas Kai, membuatku tersipu malu. Dengan gugup ku cium telapak tangan Mas Kai. Sepanjang hidup tak pernah terlibat sentuhan melebihi ini dengan pria lain selain ayah, tanganku basah bermandikan keringat.

"Sekarang giliran mempelai pria," ucap penghulu disambut sorakkan para tamu yang mulai menggoda kami.

Aku menatap Mas Kai. Jantungku berdetak 2 kali lipat saat telapak tangan Mas Kai menyentuh kedua wajahku, kemudian bibirnya menyentuh jidatku. Ku rasakan ada bunga yang sedang bermekaran di dalam sana. Sebuah perasaan yang sulit ku jelaskan. Namun bisa kubayangkan jantung yang memompa cepat seakan lompat dari tempatnya.

...

Pernikahan berjalan hingga jam 12 malam tamu mulai sepi. Setelah dibolehkan istirahat, aku mengekori Mas Kai ke kamarnya.

Kediaman Buhron yang begitu besar benar-benar membuatku kelelahan.

Sesakkan nafas ku hembuskan cukup membuat Mas Kai mendengarnya. Namun ku perhatikan dia tidak berniat menoleh ataupun memperlambat langkahnya. Hingga harus menaiki tangga yang kesekian kalinya.

Sejak di pelaminan tidak ada percakapan apapun antara kami.

"Mas …" Panggilku sudah tak sanggup berjalan lagi. Menggunakan gaun panjang dan hils membuatku kesulitan dalam bergerak.

Mas Kai akhirnya berhenti lalu berbalik menatapku. Meskipun lelah ku usahakan tersenyum kepadanya.

Kesekian detik wajah teduhnya seakan sirna ditelan kemarahan.

'Apa aku membuat kesalahan?'

Tanpa memperdulikan diriku yang kesusahan, Mas Kai berbalik melanjutkan langkah meninggalkanku sendirian.

Aku menatap punggung belakang Mas Kai hingga menghilang. Serentak tatapanku berubah sendu.

"Ya Allah ada apa dengan ini? Tolong berikan kedamaian dalam rumah tangga hamba yang baru menginjak umur jagung ini."

Berulang kali ku lafazkan istighfar. Menyemangati serta meyakinkan diri bahwa Mas Kai mungkin kelelahan. Dengan penuh keyakinan aku pun kembali menaiki tangga.

Kediaman Buhron yang begitu besar membuatku kesasar, beruntung bertemu pelayan yang bersedia mengantarku ke kamar Mas Kai. Sesampainya disana Aku berlalu masuk karena pintu kamar tidak ditutup.

Di dalam mataku jeli memerhatikan kamar yang didekor layaknya kamar panganti seharusnya membuatku senang. Namun tingkah Mas Kai tadi menimbulkan pertanyaan di benakku dan membuatku sedikit tidak tenang.

Bisa ku dengar ciprakan yang berasal dari kamar mandi. Mungkin Mas Kai sedang mandi.

Aku memilih duduk di tepi ranjang memandangi kelopak mawar di ranjang berbentuk bund hingga Mas Kai selesai mandi.

Ku duduk merenung dan memperhatikan dekorasi kamar Mas Kai yang terlihat mewah. Jika dibandingkan dengan kamarku yang tidak seberapa besarnya.

Kreeek~

Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka. Muncul Mas Kai yang bertelanjang dada.

Serentak aku membeku, rasanya pengen teriak. Bisa ku rasakan detak jantungku yang begerak lebih cepat dari biasanya. Tanpa sadar aku menunduk, mencoba menyembunyikan kedua pipi yang telah bersemu.

Kai menatapku sebentar kemudian melangkah memasuki walkin closed seakan tak peduli.

'Sama sepertiku. Mungkin dia canggung,' gumamku sebisa mungkin berpikir positif. Walaupun sikap biasa Kai membuatku agak kecewa.

Sambil menunggu Mas Kai keluar lebih baik ku copoti aksesoris yang terasa berat. Mahkota ku letakkan di meja beserta anting dan kalung yang ku pakai adalah emas pemberian keluarga Buhron.

Terdiam, jariku menjeda memegang pentil khimar. 'Apa mungkin harus dibuka?' Benakku berdebat. 'Dia adalah suamiku.' Dengan penuh keyakinan keputuskan membuka khimar, namun belum sempat melanjutkan niat pintu walking closed serentak terbuka membuatku terkejut..

Kreeek~

Muncul Mas Kai yang telah tampil formal menggunakan kaos longgar dan celana pendek. Bisa ku lihat otot yang terbentuk sempurna.

Mas Kai memperhatikanku. Matanya kemudian menusuk pada tanganku yang masih menyentuh pentil Khimar.

"Apa yang ingin kau lakukan?" tanyanya dengan dingin.

Glup

"Aa-aku, anu ..."

"Kau masih ragu membukanya di depan suamimu?" ucap Mas Kai seperti mengintrogasi, segera ku menggeleng untuk meyakinkannya.

Mas Kai menatapku tajam penuh selidik. "Lalu bukalah khimarmu dan jalankan tugasmu sebagai istri."

Deg! Perkataan Mas Kai membuatku tertegun. Kewajiban istri adalah melayani suami, namun bukan begini caranya. Aku belum siap.

Melihatku tak bereaksi, Kai akhirnya berbalik dan berjalan menuju sofa lalu ia membaringkan tubuhnya berbaring disana.

Aku terdiam. Apakah Mas Kai akan tidur disana karena dia kecewa. Melayaninya? Aku belum siap, namun jika Mas Kai menginginkannya maka ia bisa melakukannya secara perlahan. Bagaimanapun hubungan suami-istri adalah hal yang lumrah.

Aku menatap Mas Kai yang sepertinya sedang berpikir. Saat berbaring alisnya terlihat mengkerut.

"Ma-maaf, Mas," ucapku menunduk.

"Emm, Mas apa aku bisa menggunakan kamar mandi?"

"Gunakan sesukamu," jawabnya terdengar berat.

"Mas aku tidak punya pakaian ganti."

Mas Kai membuka mata dan menatap ke arahku.

"Ibu telah menyiapkan sepasang baju tidur untukmu," ujarnya menunjuk walkin closed kemudian kembali menutup matanya lagi.

Em, tidak terlalu parah. Setidaknya dia menjawab pertanyaanku.

"Terima kasih, Mas." Aku segera beranjak memasuki kamar mandi tuk membersihkan diri. 30 menit aku keluar dari kamar mandi menggunakan baju tidur, aku tidak memiliki keberanian membuka Khimar. Tapi jika Mas Kai menginginkannya maka tak masalah.

Aku menatap Mas Kai yang masih berbaring di sofa. Dia akan kesakitan jika terlalu lama berbaring di sofa yang bahkan tak memuat seluruh tubuhnya. Aku harus membangunkanya.

"Mas kau tidur disini?" Tidak ada jawaban apapun. Aku memberanikan diri menyentuh bahu Mas Kai dan memberikan gerakan ringan disana.

"Mas apa kau sudah tidur?" tanyaku memastikan. Aku sedikit terkejut menemukan kebenaran bahwa Mas Kai telah tidur.

Dia benar-benar tidur? Padahal didalam kamar mandi aku telah menyiapkan diri dan keberanian untuk melewati malam pertama kami. Dengan perasaan kelut dan sedikit kecewa ku sarungi Mas Kai dengan selimut dan tidur sambil memandanginya.

"Aku akan mencoba mencintaimu, Mas …" ucapku lirih memejamkan mata.

Next chapter