webnovel

Kamu Harus Punya Pacar

"Kiranaaa…" suara melengking 10 oktaf membangunkan Kirana dari tidurnya. Kirana mengucek mata sambil melihat siapa manusia yang tega membangunkannya jam 10 pagi dengan lengkingan sekencang itu.

Veronica. Astaga gadis sialan itu, batin Kirana kesal.

"Lihat penampilanmu! Kamu udah seperti mayat hidup!" jeritannya semakin menjadi-jadi. "Lihat juga rambut dan pakaianmu saat ini."

Yang di maksud Vero dengan penampilan seperti mayat hidup adalah rambut ikal sebahu Kirana yang sudah awut-awutan seperti tidak pernah disisir bertahun-tahun. Ada lingkaran hitam di bawah mata Kirana. Lalu kaus polo putih yang seperti sudah di pakai berhari-hari.

Di kondisi normal, Kirana tentu tidak akan berpenampilan seperti ini. Kirana memiliki wajah oval kecil, hidung mancung dan mata mungil yang cerah. Rambutnya yang ikal sebahu biasanya dikuncir menyerupai ekor kuda namun di beri sentuhan jepit rambut sederhana. Ia juga akan memakai blouse bunga-bunga di balik jas dokternya. Ia juga suka mengoleskan make up tipis dan lip balm cherry di bibirnya yang mungil.

"Ya Tuhan, Vero. Suaramu bisa bangunin mayat yang udah mati tau!" maki Kirana kesal pada sahabat sekaligus teman satu apartemennya ini.

Vero hanya mengibaskan rambutnya tidak peduli. Ia meletakkan bungkusan tas di meja sebelah sofa Kirana yang super berantakan lalu mengeluarkan isinya satu per satu.

"Biarin aja mayat-mayat itu bangun," ucap Vero tidak peduli. Hari ini penampilan Vero begitu cerah. Ia mengenakan dress panjang bunga-bunga matahari dengan warna kuning menyala dan kacamata hitam.

Vero menarik Kirana hingga duduk di sofa.

"Kamu lho udah tiga hari gak pulang ke apartemen dan gak mengangkat telponku sama sekali. Aku sangat khawatir. Kukira kamu udah mati karena terlalu sibuk bekerja!" omel Vero.

"Oh ya, aku bawakan bubur, vitamin dan apel. Lihat dirimu yang kacau ini. Aku yakin kamu belum makan dengan benar beberapa hari ini," sambung Vero lagi. "Astaga. Lihat, lihat kantung mata dan kerutan halus ini. Kamu kan sudah kuingatkan untuk menjaga kondisi wajah. Kamu bisa kena penuaan dini kalau seperti ini terus…"

"Ya ya ya. Wajah adalah harta seorang perempuan yang berharga," Kirana melanjutkan kalimat sahabatnya ini. Vero selalu mengucapkan kata-kata yang sama kalau melihat penampilannya berantakan.

Vero selalu merasa punya hak mengomentari penampilan Kirana. Ia dengan bangga menyebut dirinya seorang pakar kecantikan karena memiliki tubuh tinggi langsing, kaki panjang dan rambut yang bergelombang indah seperti model iklan shampoo.

Sebenarnya Vero adalah seorang model betulan. Ia sudah berkecimpung di dunia kecantikan dan lenggak-lenggok diatas panggung sejak SMA. Kini ia sudah tergabung dalam agensi model ternama di Indonesia.

Kirana menyendok bubur yang dibawa Vero. Dalam hal ini Vero benar. Sudah lama ia tidak makan makanan yang benar. Ia hanya sempat makan sehari dua kali. Itupun hanya sandwich ataupun nasi telur. Berbeda dengan makanan yang di bawa sahabatnya ini. Bergizi dan sehat.

"Oh ya, aku lupa memberi tahumu," kata Vero sambil mengupas apel. "Sepupuku akan pulang ke Indonesia 2 minggu lagi. Aku berniat memperkenalkannya padamu."

"Aku tidak tertarik berkenalan dengan sepupumu," jawab Kirana acuh masih terus menyuapkan bubur ke mulutnya.

"Kamu bisa bilang tidak tertarik karena belum bertemu dengannya, Kir. Dia tampan, lulusan sekolah bisnis di Amerika, single, tinggi dan akan mewarisi bisnis orang tuanya," Vero menjelaskan. "Bayangkan aja tampan, tinggi dan kaya menjadi satu paket dalam diri sepupuku. Gadis mana sih yang gak meleleh?"

"Berapa kali sudah kubilang, aku gak tertarik berkencan dengan pria tinggi, kaya dan tampan," Kirana jujur.

Vero melotot. "Kamu harus punya pacar. Lihat umurmu. Dua puluh enam tahun dan gak pernah punya kehidupan percintaan. Sungguh membosankan ckckck."

Kirana mencomot apel. "Aku harus bekerja siang dan malam menjaga pasien. Mana ada waktu untuk pacaran…"

"Pokoknya aku sudah menghubungi tanteku. Kamu akan bertemu sepupu tampanku 2 minggu lagi. Tempat dan jamnya biar aku yang atur. Kamu cukup berdandan cantik dan meluangkan waktu," Vero langsung menyela Kirana galak. "Kalau kamu tidak menemui sepupuku karena alasan sibuk, aku akan mendobrak pintu kantor manajer rumah sakit. Aku akan paksa manajer memberimu cuti. Jadi jangan coba-coba punya alasan!"

Kirana hanya bisa menghela napas. Ia sudah tahu karakter Vero sejak lama. Vero selalu menang di setiap perdebatan. Entah kenapa Kirana tidak sanggup membantah Vero di situasi seperti ini.

Selesai makan, Kirana bersiap mandi karena akan mengecek kondisi para pasien. Ini adalah cara paling jitu untuk kabur dari Vero. Tapi Kirana salah.

"Ingat, hari ini kamu harus pulang ke apartemen. Kalau aku pulang kerja nanti dan tidak melihatmu di apartemen, awas aja. Aku akan menyabotase UGD dan meneror manajer rumah sakit," ancam Vero sebelum Kirana keluar ruang istirahat tenaga medis.

Ancaman Vero benar-benar harus diperhatikan. Kirana tahu kalau Vero adalah gadis yang nekat dan tidak mudah menarik kata-katanya. Jika sahabatnya sudah mengancam, tandanya dia benar-benar akan melakukan ancamannya itu.

Bagi Kirana kehadiran dan ancaman Vero adalah tanda bahwa dirinya harus segera pulang. Tidak boleh mengambil shift jaga lagi. Ya, aku harus segera pulang sebelum gadis itu membuat kekacauan di rumah sakit, batinnya.

….

Bangsal anak-anak terdengar lebih ramai di pagi hari. Anak-anak yang opname di bangsal ini biasanya mulai bermain sehabis sarapan pagi. Apapun kondisi penyakit mereka tentu tidak akan menghentikan keceriaan anak-anak manis ini.

"Dokter," sebuah suara memanggil Kirana.

Kirana menoleh. Ada seorang wanita berumur 30 tahunan berjalan ke arahnya. Ia memeluk Kirana tiba-tiba.

"Terima kasih karena telah menyelamatkan anak saya," katanya penuh ucapan syukur lalu melepaskan pelukannya.

Kirana tersenyum. "Sama-sama, Bu. Itu sudah menjadi kewajiban saya."

"Saya sangat bersyukur dokter merawat anak saya dengan baik. Sekarang demamnya sudah turun. Kata Dokter Mita besok, anak saya sudah boleh pulang," kata si ibu bahagia sambil matanya berkaca-kaca.

….

Setelah selesai mengecek bangsal anak-anak. Kirana berjalan ke lantai 2 tempat pemulihan pasien kecelakaan mobil kemarin. Ia penasaran bagaimana kondisi pasien tampan itu saat ini.

Selang oksigen masih terpasang di hidung si pasien. Kirana mengecek mata dan denyut jantungnya untuk memastikan kondisi pasien tampan. Kirana cukup lega karenanya cukup stabil. Mungkin beberapa hari lagi ia akan sadar dari koma.

Lalu pintu ruang pemulihan terbuka. Seorang kakek berusia sekitar 80 tahun masuk. Kakek itu pendek, semua rambutnya sudah memutih namun rapi disisir, kumis tebal putih, mengenakan kacamata dan berjalan dengan bantuan tongkat kayu. Di belakangnya ada seorang pria muda berusia sekitar 27 tahun. Tubuhnya tinggi, kurus kerempeng, giginya besar-besar, mengenakan kacamata bingkai kotak tebal dan membawa map besar.

"Apakah Anda Dokter Kirana?" tanya kakek itu.

"Iya benar," jawab Kirana.

Kakek itu langsung berjalan mendekatinya. Ia menggenggam tangan Kirana erat.

"Terima kasih karena telah menyelamatkan nyawa cucu saya," katanya penuh rasa terima kasih dengan mata berkaca-kaca. "Saya sudah dengar dari dokter lain kalau Anda mendonorkan darah untuk cucu saya."

Kirana tersipu malu. "Itu bukan apa-apa, Pak. Saya hanya menjalankan kewajiban sebagai seorang dokter."

"Anda sangat rendah hati," kakek memuji Kirana. "Bagaimanapun juga dokter sudah mau bersusah payah mendonorkan darah AB negatif. Saya selalu khawatir dengan kondisi cucu saya yang punya golongan darah langkah. Tapi syukurlah di saat musibah seperti ini bertemu dokter yang punya golongan darah sama dan bersedia mendonorkan."

Kirana membungkuk malu. Ia sudah sering mendapat ucapan terima kasih dari keluarga pasien yang ditanganinya. Tapi respon kakek ini sangat berbeda. Dia benar-benar melihat Kirana sebagai malaikat penolong.

"Apakah dokter sudah punya pacar?" tanya kakek tiba-tiba.

Kirana tersentak kaget. Baru kali ini ia bertemu dengan keluarga pasien yang menanyai kehidupan pribadinya. Karena yang menanyainya seorang kakek tua, Kirana tidak tersinggung.

"Belum," jawabnya.

"Wah kebetulan sekali. Cucu saya juga single, Dok," senyum lebar mengembang dari wajah keriput si kakek. "Kalau cucu saya sudah bangun, saya akan memperkenalkannya pada Dokter Kirana. Cucu saya ini kalau sudah sadar dari koma sangat tampan lho, Dok"

Kirana mengoyang-goyangkan tangannya. "Ah, tidak perlu repot-repot, Pak." Aku pun juga tahu kalau pasien ini pasti sangat tampan jika sudah bangun dari komanya, batin Kirana.

Tanpa mempedulikan penolakan Kirana, si kakek memanggil pria muda di belakangnya. "Adi, berikan kartu namaku ke Dokter Kirana."

Pria kurus kerempeng bernama Adi itu maju lalu memberikan kartu nama. Dengan berat hati Kirana menerimanya. Setelah itu ia bergegas pergi sebelum si kakek mulai meminta nomor ponselnya.

Next chapter