webnovel

Part 8. Sidik Jari

Sepulang sekolah, Adel dijemput Zahra. Gadis itu mengajaknya melihat pameran hewan peliharaan yang diadakan dekat SMA 6.

"Ikan cupang yang itu bagus banget. Aku mau beli," teriak Zahra girang. Adel hanya mengangguk. Ia tidak bagitu suka hal-hal imut dan lucu.

"Kamu mau juga, Del?"

"Nggak. Kalau ada kalajengking, aku mending beli itu," sahut Adel cuek. Zahra tertawa. Kalajengking buat apa coba?

"Berapa, Pak?" Zahra mengeluarkan dompet kecilnya.

"80 ribu, Nduk."

Zahra melongo. "Bukannya lima ribuan?"

Bapak penjual ikan tertawa. Ia menunjukkan ikan kecil biasa berperut buncit.

"Yang ini, baru lima ribu. Sepuluh ribu tiga, deh," ujarnya. Zahra cemberut. Ditatapnya ikan gendut itu dengan kesal.

"Nggak mau. Ekornya nggak ada begitu. Yang ini aja, ya. Lima ribu ...," rengeknya.

Adel menarik tangannya sebelum si Bapak kesal. Ia mengajak ke kandang hamster.

Di sana, banyak anak-anak sekolah berkerumun. Dilihat dari seragamnya, mereka siswi SMA 6. Adel teringat sesuatu. Ia meninggalkan Zahra yang asik melihat kura-kura di sebelah kandang hamster, dan mendekati seorang siswi yang sedang menyesap es teh dalam plastik.

"Mbak, maaf mau tanya. Mbak Sandra udah pulang belum, ya?" tanya Adel pura-pura lugu.

"Sandra? Kelas berapa?" Gadis itu menghentikan aktifitas minumnya.

"Emm ... kelas dua tapi nggak tahu jurusannya."

"Emang kamu siapanya?"

"Eh, sepupu ...." Adel memainkan tali tas selempangnya.

"Oh ... kalau yang kamu maksud Sandra itu, dia udah pindah sekolah. Kebetulan aku anggota OSIS jadi sedikit banyak tahu tentang anak-anak yang pindah sekolah. Eh ... tunggu! Kamu sepupunya masa nggak tahu dia pindah? Kamu bohong ya?" Gadis bernama Dina itu menatap Adel tajam.

"Buat apa bohong? Kami memang sepupu, tapi hubungan kami kurang baik. Tadi cuma tanya aja, kok."

"Hahh ... sama saudara sendiri ternyata juga kurang baik ya," gumam Dina.

"Memangnya Mbak Sandra gimana di sekolahan?" Adel memasang wajah penasaran.

"Dia dikucilkan. Penyendiri dan susah diajak sosialisasi. Tapi, waktu teman sebangkunya yang sama-sama pendiam dijadikan bahan candaan, tiba-tiba dia berteriak. Kalau nggak salah, Wina waktu itu sempat emosi karena Sandra yang pendiam tiba-tiba ngomong kasar. Ah, Wina ... sampai sekarang dia nggak masuk sekolah. Kenapa sih, anak itu?" Dina menghabiskan sisa es tehnya.

"Oh ... Mbak Wina. Dia tetangga komplekku, lho," ujar Adel. Dina menatap tak percaya.

"Serius? Terus kamu tahu kenapa dia sampai sekarang nggak sekolah?"

Adel mengangkat bahu.

"Yah, lagian ngapain juga aku cerita nggak penting sama anak kecil. Dahh ... aku mau pulang." Dina bergegas menghampiri temannya yang sudah mulai jalan. Adel mencari Zahra yang menghilang.

**

"Tambah lagi, Del ...," tawar ibunya Zahra sambil mengacungkan centong nasi. Adel menggeleng.

"Cukup, Bu. Terima kasih, ya."

"Anggap aja rumah sendiri. Kalau tantemu masuk siang, nggak perlu sungkan pulang sekolah mampir sini."

"Iya, Del. Lagian aku takut orang itu mecahin kaca lagi," celetuk Zahra sambil menggigit ayam terakhir. Adel menendang kakinya dengan keras.

"Aduh!"

"Siapa yang mecahin kaca?" Bu Sari menatap Adel dengan panik.

"Nggak tahu, Bu. Mungkin orang iseng." Adel meringis. Tapi Bu Sari menangkap hal yang mengkhawatirkan.

"Apa sudah lapor polisi? Coba bicara sama Ayahnya Zahra."

"Belum. Tapi tante sudah ngasih tahu satpam. Ya sudah, kami ngerjain PR dulu," pamit Adel sambil menggamit lengan Zahra. Mereka pun ke kamar diikuti pandangan heran Bu Sari.

"Zahra ... kamu kenapa ngomong sama Ibu kamu?" sungut Adel.

"Maaf ... keceplosan." Zahra nyengir.

"Oh ya, Ayah kamu pulang jam berapa?" Adel menimang batu berbungkus plastik dalam sakunya.

"Sekitar jam empat. Ada apa?" Zahra penasaran memandang isi kantong sahabatnya itu.

"Mau minta tolong, kamu bantu aku, ya. Aku mau menyelidiki sidik jari dalam batu ini. Semoga dugaanku benar, batu ini yang udah digunakan si pelaku."

Zahra mengangguk. Ia tahu ayahnya pasti mau membantu. Walau Adel masih anak-anak, tapi kata ayahnya, ada yang lain dalam diri anak itu. Adel memiliki bakat untuk menjadi penyelidik.

"Soal ... hantu itu. Gimana menurutmu? Apa itu Sandria?" tanya Zahra sambil bergidik.

"Entahlah, aku masih belum yakin. Malam itu aku melihatnya lagi, tapi ia tidak mau bicara apa-apa."

"Apa kita ke rumah Kakek aja?" usul Zahra. Kakek yang ia maksud adalah Kakek Ahmad. Adel pernah bertemu sekali.

Bocah itu menggeleng cepat. "Jangan. Tidak apa-apa, aku nggak terganggu dengan hantu itu. Justru penasaran," gumamnya dengan dahi mengernyit.

Mereka pun menghabiskan waktu dengan mengobrol dan membaca komik. Sesekali Adel memandang halaman lewat jendela, ia berharap Ayahnya Zahra cepat pulang.

Jam empat lewat lima belas menit, terdengar suara motor memasuki halaman rumah. Zahra menunjuk, Ayahnya sudah pulang. Kantor tempat beliau dinas memang dekat, di pusat kota, sebelah utara alun-alun.

"Biar aku yang ngomong sama Ayah," angguk Zahra. Adel mengacungkan jempol.

**

"Ini ... salinan sidik jari yang berhasil saya temukan di batu itu. Meski awalnya agak susah, karena permukaannya yang tidak begitu rata, akhirnya bisa terbaca juga. Tapi ngomong-ngomong, kalian sedang menyelidiki soal apa?" Ayahnya Zahra menyerahkan selembar kertas kepada Adel. Adel tersenyum senang dan mengucapkan terima kasih.

"Jadi ... kemarin malam ada yang melempar jendela rumah kami dengan batu. Dan setelah Adel cari, hanya batu ini yang berbeda dengan yang ada di dalam halaman dan teras. Ternyata betul," ujar Adel.

"Kamu tahu kira-kira siapa tersangkanya?" senyum Pak Burhan, Ayah Zahra.

Adel mengangguk meski ragu. Ia pun teringat sesuatu.

"Oh ya, Pak. Apa Bapak ingat kasus anak kecil yang bunuh diri di bulan Juli 2018 lalu?"

Pak Burhan tertegun. Ia mengusap dagunya.

"Yaa ... Sandria maksudnya?"

Adel terlihat sumringah. "Iya, betul. Menurut Bapak, apa ia benar bunuh diri? Anak umur 6 tahun, apa bisa melakukan itu?"

Pak Burhan menatap Adel. Laki-laki bertubuh kekar itu mengajak Adel ke ruang kerjanya.

"Aku tunggu di sini aja," tolak Zahra saat Adel menggamit lengannya. Pak Burhan tertawa. Katanya, Zahra memang tidak pernah suka masuk ke ruang kerjanya sejak melihat banyak dokumen foto korban pembunuhan dan pelaku tindak kriminal. Gadis itu takut melihat darah dan bagian tubuh yang koyak.

"Ini, foto Sandria yang berhasil kami dapat. Di foto itu, umurnya masih sekitar tiga tahun. Dan ini, foto terakhir saat ditemukan tergantung di kamarnya." Pak Burhan menyodorkan sebuah map berisi dua buah foto dan laporan yang tidak ingin Adel baca.

Bocah itu terdiam cukup lama. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia sekarang yakin, Sandria ... adalah hantu anak kecil yang selama ini menerornya.

Digenggamnya foto itu dengan erat meski tangan bergetar hebat.

"Del ... kamu nggak apa-apa?" Pak Burhan terlihat panik. Ia mengangsurkan segelas air putih yang langsung ditenggak habis.

"Hantu Sandria ...," gumam Adel sambil menatap atas rak buku. Hantu itu duduk di sana, menatapnya dengan hampa. Luka jeratan di lehernya masih nyata, dan mulut kering itu masih tak bersuara.

***

Next chapter