9 Catatan 8 : Benarkah Cinta Itu Ada?

Suara dentingan piano terdengar sangat indah di dalam studio musik salah satu akademi seni terkenal di kota ini. Setiap denting nadanya mengandung seribu makna yang mewakili perasaan si pianis. Jari-jari Sheren tampak menari dengan luwes di atas tuts-tuts hitam putih tersebut. Kelopak matanya menutup, menyembunyikan manik hitam di baliknya.

Adisty memperhatikan setiap tuts yang ditekan Sheren dengan penuh perhatian. Sepasang telinganya yang peka tengah berkonsentrasi penuh mendengarkan bunyi itu. Tidak ada satu nada pun yang meleset. Adisty tersenyum puas. Perempuan muda itu merasa bangga dengan kemampuan anak didiknya ini.

Kelopak mata Sheren kemudian membuka seiring dengan berakhirnya nada terakhir yang dia tekan, pertanda bahwa lagu telah usai. Gadis cantik dengan jepit rambut berwarna ungu itu kini menatap sang guru piano. "Bagaimana Kak? Ada yang kurang?"

"Yang kurang adalah bahwa kamu tidak ingin menjadi pianis profesional," jawab Adisty. Perempuan itu menatap Sheren tajam.

"Yahhh, Kakak kan tahu aku tidak memiliki keinginan ke arah sana." Sheren kemudian berdiri dari kursi pendek yang dia duduki selama bermain piano. Gadis itu lalu berjalan ke arah meja panjang di sudut ruangan guna mengambil air minumnya.

Adisty berbalik badan, perempuan itu kemudian bersedekap. "Lalu, untuk apa kamu berlatih piano? Untuk apa semua medali dan pialamu?"

Sheren tersenyum hambar mendengar pertanyaan Adisty. Lalu, dia meneguk kembali beberapa mili air dari botol itu. Kemudian, Sheren menutup kembali botolnya seraya berkata, "Kamu tahu Kak? Kamu terlalu ikut campur urusanku. Kakak bukan keluargaku, Kakak adalah guru lesku. Dan kakak adalah orang lain untukku. Jadi, berhentilah ikut campur mengenai urusanku! Termasuk tentang apa yang akan aku lakukan di masa depan!"

Helaan napas berat dihembuskan oleh Adisty. Wanita itu sudah biasa menghadapi amarah dan bentakan Sheren dan dia tidak marah pada Sheren walau gadis cantik itu sering membentaknya. Kemudian, Adisty mengambil tempat duduk di sofa tunggal yang terletak berhadapan dengan sofa panjang yang diduduki oleh Sheren. Wanita itu menatap Sheren dengan pandangan lembut seraya berkata, "Kakak tahu posisi Kakak yang merupakan orang lain di keluargamu. Tapi, Kakak tidak mau masa depan Sheren hancur begitu saja. Sheren berbakat dan memiliki prestasi di bidang musik. Kakak hanya ingin Sheren tidak salah dan menghancurkan masa depan Sheren sendiri. Karena jika masa depanmu hancur, hal itu akan berimbas pada anak-anakmu kelak."

"Aku berlatih piano karena aku suka. Dan untuk piala, itu karena ambisi Mama," lirih Sheren dengan tatapan menerawang.

Adisty lalu mengambil sebuah stopmap yang berada di atas meja panjang di depannya. Wanita muda itu lalu membuka stopmap tersebut, kemudian menyerahkan sebuah kertas bercetak biru pada Sheren. Sheren menerima kertas itu dengan penuh tanya. Lalu, gadis itu membaca informasi yang tertera di kertas tersebut. "Audisi Golden Light?"

Adisty mengangguk. "Itu adalah perusahaan milik Bu Winona. Light Entertainment dikhususkan untuk mereka yang ingin menjadi idol saja. Sementara Golden Light dikhususkan untuk mereka yang memiliki kemampuan menulis lagu, menulis skrip, novel, dan lainnya."

"Kak, aku tidak berminat menjadi selebriti."

"Aku tahu She, tapi menjadi penulis lagu tidak diwajibkan untuk tampil di depan publik. Oh, kecuali jika kamu juga didebutkan menjadi penyanyi."

Sheren mengernyit, kemudian berkata, "Akan kupikirkan sambil jalan. Aku sekarang mau fokus dulu ke kompetisi di Jerman."

***

Sheren memutar-mutar kertas bercetak biru itu. Sesekali, Sheren kembali membaca isi brosur itu. Brosur yang telah dia baca berulangkali. Gadis cantik itu merasa bimbang. Di satu sisi, ini adalah kesempatan emas yang tidak akan datang kembali di masa depan. Namun di sisi lain, dia merasa bahwa ini bukanlah jalannya.

Bukan jalannya? Apa yang baru saja dia katakan dengan berkata bahwa ini bukan jalannya? Dia bukan peramal, bukan pula orang yang bisa melihat masa depan. Sheren menghela napas kesal. Dia tahu apa penyebabnya, mengapa dia didera rasa dilema seperti sekarang. Ya, penyebabnya adalah Mama dan segala keterpaksaan yang dia jalani. Sheren menyukai piano dan musik, ya dia sadar pada hal itu. Namun, rasa cintanya itu ternoda karena banyaknya ekspektasi dan paksaan untuknya.

Suara-suara tawa terdengar dari luar kamarnya, dan suara itu berasal dari balkon kamarnya. Semakin lama, tawa itu semakin riang. Bagi orang lain, tawa itu sangat manis. Namun tidak bagi Sheren. Dan dia tahu suara tawa siapa itu. "SHAKA BERISIK!" Dan suara-suara tawa itu kini menghilang setelah Sheren berteriak dengan kencang. Ya, itu tadi adalah suara Shaka dan Theresa yang tengah menertawakan hal lucu yang Sheren tidak tahu dan tidak mau tahu. Akhirnya, Sheren memutuskan untuk mengganti pakaiannya dengan sebuah baju terusan berwarna hijau muda dengan motif daun. Kemudian, Sheren mengirimkan sebuah pesan pada teman-temannya untuk bertemu sekarang di kafe Rhea. Sayangnya, hari ini hanya Rhea yang berhalangan hadir. Jadi, dia hanya berdua dengan Sashihara.

"KAK SHAKA! AKU PERGI DULU!" teriak Sheren dari dalam kamarnya. Tak sampai sepuluh detik, pintu geser yang menghubungkan antara balkon dengan kamarnya terbuka. Menampilkan Shaka yang menatapnya penuh tanya, dan di tangan kanan pemuda itu terdapat sebuah kunci mobil.

"Mau ke mana siang ini? Di luar, matahari sedang terik," ucap Shaka sembari memasuki kamar adiknya. Tangan kirinya menutup pintu geser itu dengan pelan.

"Makanya aku berpamitan tadi. Tujuannya apa? Tentu saja aku menginginkan kamu untuk mengantarku! Lagi pula, Ayah membelikan mobil kan untuk dipakai berdua. Bukan hanya kamu pakai untuk pacaran saja!" sahut Sheren jengkel.

Helaan nafas pasrah dihembuskan oleh Shaka. Baiklah, baiklah. Dirinya kalah! "Iya, iya, Kakak salah. Ya sudah, ayo berangkat sekarang sebelum keburu malam. Kamu mau pergi ke mana memangnya?"

"Kafe Rhea. Mau ketemu Sashi."

Mendengar jawaban adiknya, lantas alis kanan Shaka terangkat. Sebuah tatapan penasaran diberikan pemuda itu pada adiknya. "Eh tumben! Sudah akur nih ceritanya?" goda Shaka walau dia sudah tahu jawabannya. Namun, Sheren justru melengos sambil berjalan keluar kamar. Gadis itu enggan meladeni pertanyaan Shaka yang Sheren tahu betul, bahwa pemuda itu sudah tahu jawabannya. Sementara itu, Shaka berjalan mengekori adiknya sembari tertawa.

***

Kafe yang dimiliki oleh Rhea dan Kakaknya kini tampak tidak begitu ramai, bahkan cenderung sepi. Hanya ada beberapa pelanggan yang sedang menikmati makanan dan minuman mereka. Sheren memasuki kafe bernuansa es krim itu dengan langkah-langkah ringan, gadis itu memasuki kafe seorang diri. Shaka sebenarnya ingin menunggu adiknya hingga selesai, agar dia tidak perlu kembali ke sini sebanyak dua kali. Kemacetan jalan di Surabaya saat akhir pekan sebenarnya membuatnya enggan untuk keluar rumah, namun dia terpaksa keluar rumah untuk mengantarkan adiknya. Lalu, Shaka memutuskan untuk pulang ke rumah. Dia teringat pada Theresa yang seingatnya masih berada di rumah.

Sashi melambaikan tangan saat melihat Sheren yang tengah sibuk melihat sekeliling setelah memesan makanan di kasir. Gadis dengan jepit rambut berwarna hijau dengan model daun itu kemudian berjalan ke arah Sashi. Sepasang netra sekelam malamnya menangkap pergerakan tangan Sashi tadi.

"Aku kira Rhea bisa datang karena kafe ini miliknya," ucap Sashi sambil mengaduk-aduk saus dengan kentang gorengnya.

Sheren lalu duduk di kursi yang berhadapan dengan Sashi seraya berkata, "Walau kafe ini miliknya, bukan berarti dia berada di sini dua puluh empat jam."

Anggukan setuju dilakukan oleh Sashi. Gadis cantik itu kemudian berkata, "Ada apa? Kenapa meminta untuk bertemu di sini? Kamu kesepian ya?"

"Wah pertanyaan apa ini? Aku bukan kamu yang selalu kesepian," sarkas Sheren sambil tertawa.

Sashi menyeringai. "Yah kamu benar, Queena. Aku memang kesepian dan selalu kesepian. Sejujurnya, aku iri denganmu dan Shaka. Aku juga iri pada Rhea dan kakaknya. Kalian sangat kompak. Dan aku tahu, Shaka sangat sayang padamu."

"Enggak kok," jawab Sheren. Percakapan mereka terputus sesaat karena staf kafe mengantarkan pesanannya ke mejanya. Sheren mengangguk sambil tersenyum pada staf itu. Staf itu membalas senyum Sheren, kemudian berjalan meninggalkan meja tempat Sheren dan Sashi. Sheren melanjutkan, "Enggak semua hal yang tampak menyenangkan dan bahagia di matamu adalah kebahagiaan yang sesungguhnya."

"Ya, aku tahu. Aku sangat tahu karena orang tuaku pun demikian. Mereka menunjukkan pada orang-orang bahwa mereka saling mencintai dengan bertingkah mesra di depan orang lain. Orang tuaku bahkan memberikanku nama Sashihara Reynara yang berasal dari nama mereka. Sasmito Hikmawan dan Hana Raina. Terkesan seperti aku dilahirkan dalam keluarga penuh cinta," ucap Sashi sendu.

Sheren yang telah menelan onion ring pesanannya hanya bisa tertawa pilu. "Kadang, cinta menurut kita dengan cinta menurut orang tua kita bisa saja berbeda. Kita melihat dari kacamata kita sebagai anak, dan mereka melihat dari perspektif sebagai orang tua. Kamu tahu? Aku bahkan ragu kalau Shaka adalah kakakku."

Sashi mengernyit mendengar itu. "Kenapa begitu? Shaka sangat menyayangimu loh. Ah tapi tentu saja itu bisa saja berbeda saat kalian hanya berdua di rumah." Kemudian, Sashi menyuapkan omelet keju ke mulutnya sendiri.

"Aku merasa bahwa Shaka sebenarnya tidak peduli padaku. Semua sikapnya hanya karena aku adalah tanggung jawabnya sejak lahir, beban yang tidak bisa dia tolak walau dia kabur ke kutub utara sekalipun. Shaka menyembunyikan banyak hal, termasuk siapa saja teman dekatnya, dan bagaimana dia bisa berpacaran dengan Resa. Aku bahkan tahu hal itu darimu, bukan dia," ucap Sheren sambil melilitkan spageti ke garpunya.

"Mendengar permasalahanmu dengan Shaka, entah kenapa, aku merasa bersyukur terlahir sebagai anak tunggal," gumam Sashi. Gadis itu kemudian melanjutkan, "Kenapa kamu tidak bertanya langsung padanya?"

"Aku enggak bisa, Sashi," bantah Sheren.

Sashi mengernyit. "Kamu kenapa tidak bisa bertanya langsung padanya? Atau, kamu sebenarnya tidak mau bertanya padanya?"

Sheren bungkam. Gadis itu kini mengunyah spagetinya sembari berpikir. Benarkah dia tidak bisa? Tapi kenapa selama ini dia tidak bisa bertanya tentang diri Shaka pada orangnya langsung kendati dia ada di dalam jangkaunnya. Sheren terhenyak, mengapa dia tidak bisa bertanya soal Shaka ? Sheren menatap Sashi dengan pandangan penuh tanya, kemudian berkata, "Ada berapa banyak hal yang kamu tahu soal dia?"

Sashi meletakkan garpu ke piring yang sudah kosong. Lalu berkata, "Setahuku, dia bersahabat dekat dengan Shawn. Dia naksir Theresa sejak SMP? Dan setahuku, dia menjalani hubungan diam-diam. Orang tua kalian tidak setuju dia berpacaran dengan Theresa."

Secara spontan karena didorong oleh rasa terkejut sekaligus penasaran, Sheren mencondongkan tubuhnya ke meja. Kedua matanya yang sehitam malam menatap Sashi dengan pandangan menuntut jawaban.

"Iya, Sheren. Semua orang juga tahu itu. Ingat pada saat pertandingan taekwondo Shaka dua bulan lalu?"

Sheren mengangguk. Tentu saja dia ingat. Dia ada di sana bersama orang tuanya dan kakaknya itu memenangkan medali emas. Namun setelah pertandingan usai, Sheren pergi bersama Ayah ke stan makanan. Sementara Mama bersama Shaka di dalam stadion. "Iya ingat. Tapi setelah pertandingan, aku pergi bersama Ayah mencari jajanan di sekitar stadion."

"Aku mendengar cerita dari Radinka. Mama kalian sempat tersinggung saat pelatih Shaka menggoda Shaka karena kedatangan Theresa. Theresa waktu itu sempat datang, namun dia langsung pulang setelah pertandingan usai. Dan Shaka segera menyangkal ledekan itu. Mama kalian mengatakan bahwa beliau tidak mengizinkan anak-anaknya untuk berpacaran dan menikah dengan orang sembarangan."

"Tapi Theresa bukan orang sembarangan."

"Jika sembarangan yang kamu maksud adalah orang random yang asal kenal di jalan, kamu salah She. Orang sembarangan di sini maksudnya adalah asal-usul keluarga dan lainnya. Orang tua Theresa adalah keluarga biasa. Bukan keluarga menengah ke atas seperti keluarga kalian."

Sheren menghembuskan napas lelah. "Yah, Mamaku salah di satu sisi. Namun benar di sisi lainnya. Mama tidak ingin anak-anaknya mengalami kesulitan karena selama ini, kami tidak pernah mengalami kesulitan yang berarti."

Sashi mengangguk setuju. "Yah, kamu benar. Walaupun tidak ada cinta, setidaknya anak-anak kelak tidak akan mendapatkan kesulitan finansial yang berarti. Contohnya adalah orang tuaku. Mereka tidak saling mencintai, aku tahu itu. Namun, aku tidak pernah merasakan kesulitan finansial yang berarti."

"Kamu kenapa setuju dengan pemikiran Mamaku sih? Kamu tahu tidak kalau pemikiran itu sedikit sesat?" tanya Sheren dengan tatapan terkejut. Gadis itu tak menyangka bahwa Sashi rupanya menyetujui pemikiran Mama.

Sashi tertawa kecil melihat ketidaksetujuan terpancar jelas di wajah Sheren, berikut nada suaranya. Gadis itu kemudian menjawab, "Aku setuju bagian di mana kita harus menikah dengan pria dari keluarga kaya, begitupula untuk para pria. Karena apa? Kita semua membutuhkan uang untuk bertahan hidup, belum lagi jika kita punya. Kebutuhan anak bahkan lebih tinggi dari kebutuhan kita, dan dari mana kamu bisa memenuhi kebutuhannya? Berdusta sekali saat kamu dan beberapa orang di luar sana bilang bahwa uang bukan segalanya."

Sheren menunduk, kedua netranya menatap hampa pada spagetinya yang tinggal sedikit. "Tapi, bukankah itu berarti sama dengan kita mengorbankan perasaan kita? Menikah tanpa cinta hanya akan menghasilkan ketidakbahagiaan dalam hidup kita hingga akhir hayat."

"Kamu tahu She? Beberapa orang beruntung bisa memiliki pernikahan berlandaskan cinta sejak awal pernikahan. Dan sebagian lagi juga beruntung karena mereka akhirnya bisa saling mencintai setelah terbiasa satu sama lain, walau pada awal pernikahan mereka tidak saling mencintai. Banyak juga yang tidak beruntung seperti orang tuaku."

"Jadi, kamu bersikap menyebalkan hanya untuk mencari perhatian? Dan kamu sebenarnya menyadari bahwa tindakanmu selama ini sangat salah?"

Sashi mengangguk. "Aku tidak punya pilihan untuk itu. Aku hanyalah manusia biasa. Aku juga ingin merasakan bagaimana rasanya menjadi orang yang diperhatikan dan dicintai. Hanya itu."

"Aku tahu itu, aku mengerti. Tapi, aku tidak akan meminta maaf atas tindakanku tempo hari," ucap Sheren santai. Gadis itu kemudian menyuapkan sesendok spageti ke mulutnya.

"Aku tahu, She. Sangat tahu," tawa Sashi riang. Kemudian, seusai menghabiskan makanan masing-masing dan waktu yang sudah beranjak sore. Kedua gadis itu kemudian meninggalkan kafe setelah membayar pesanan mereka.

***

Shaka sebenarnya tahu ada yang ingin dibicarakan oleh adiknya. Hal ini terbukti dari tindakan yang dilakukan Sheren. Gadis cantik itu kini sedang berbaring di tempat tidur Shaka sembari memegang sebuah kertas yang Shaka tahu bahwa itu adalah brosur. Namun, dia tak tahu isi brosur tersebut. Satu menit, dua menit, Shaka masih bisa bersikap seolah tidak tahu dengan maksud adiknya dan masih melanjutkan kegiatan belajarnya di meja belajar. Namun, akhirnya dia juga merasa jengah dengan keheningan yang tercipta. Shaka kemudian memutar kursi belajarnya yang tengah dia duduki. Kursi itu kini menghadap pada tempat tidurnya. "Ada sesuatu yang ingin kamu tanyakan?"

Mendengar suara sang kakak yang memasuki gendang telinganya secara tiba-tiba, membuat Sheren tersadar. Gadis itu kemudian menatap Shaka dengan pandangan penuh tanya. "Menurutmu, haruskah aku ikut audisi ini?"

"Audisi apa?" Kini, atensi Shaka tertuju sepenuhnya pada sang adik. Pemuda itu melupakan sejenak kegiatannya tadi.

"Audisi pencarian bakat. Golden Light audition."

"Ikut saja! Itu perusahaan bagus. Adik bisa mendapatkan banyak pengalaman kerja dari sana sekaligus mengasah bakatmu."

"Aku tahu soal itu, tapi aku ragu. Apakah perusahaan itu benar-benar bagus? Bagaimana sistemnya?"

Shaka mengangguk mengerti. "Kamu tahu Shawn? Shawn Arthur?"

"Iya tahu. Yang artis itu kan? Aktor sekaligus penyanyi?"

"Iya, dia temanku. Aku akan menanyakan tentang ini padanya. Jika dia memiliki waktu luang, aku akan memintanya untuk menemuimu."

Sheren menatap Shaka terkejut. Dia sudah tahu mengenai ini dari Sashi. Tapi, dia tetap terkejut saat mendengar pernyataan ini melalui mulut Shaka sendiri. "Ka, kamu gak bercanda kan?"

"Aku gak pernah bercanda mengenai masa depan adikku, aku selalu serius. Setelah ini, aku akan bertanya padanya. Semoga saja dia tidak sibuk."

Sheren mengangguk, kemudian dia tiba-tiba teringat sesuatu. "Ka, boleh tanya satu hal lagi? Tapi, kamu jangan marah ya?"

Shaka mengangguk. "Tanya apa memangnya?"

"Kamu punya pacar? Aku mendengar dari teman-teman di sekolah, katanya kamu punya pacar."

Sebuah senyum kecil dan tatapan mata yang hampa muncul dari Shaka setelah dia mendengar pertanyaan dari adiknya. Dan itu tidak luput dari pengamatan Sheren. "Punya kok, tapi Mama gak setuju. Jadi, kami sekarang tidak secara terang-terangan menunjukkan hubungan kami. Mama dan Ayah hanya tahu bahwa kami bersahabat."

"Itu Theresa? Kenapa Mama tidak setuju?"

"Iya, itu Theresa. Alasannya karena Theresa berasal dari keluarga biasa saja. Terdengar klise bukan? Tapi, aku paham maksudnya."

"Apa maksudnya, Ka?"

Seulas senyum kecil terbit di bibir Shaka. "Mama gak mau anak-anakku kelak mengalami kesulitan finansial. Aku dan istriku kelak, harus mampu memberikan pendidikan sebagus yang aku terima sekarang, bahkan lebih. Belum kebutuhan lainnya. Makanya, Mama melarang keras aku menikah dengan orang biasa. Karena Mama tahu, hal itu akan sangat sulit saat dilakukan seorang diri."

Penjelasan Shaka membuat Sheren terpana. Benarkah pemuda ini masih berusia enam belas tahun? Dan dia sudah memiliki pola pikir yang matang. "Tapi, pikiran Mama yang itu sesat," bantah Sheren masih tidak mau kalah. Bagi dia, pemikiran Mama terlalu melenceng dari apa yang dipercayai oleh Sheren.

"Enggak ah," tawa Shaka riang.

***

Surabaya, 19 Januari 2020

Benarkah dia adalah saudaraku? Benarkah dia berusia enam belas tahun? Terlalu dewasa pemikiran yang dia miliki untuk remaja berusia enam belas tahun. Dan lagi, hari ini semua terasa begitu mengagetkan bagiku dan semuanya tentang cinta.

avataravatar
Next chapter