webnovel

Catatan 49: Seperti Inikah Akhirnya?

Hari ini adalah hari terakhir malam keakraban dilakukan, yang berarti bahwa hari ini akan diadakan evaluasi pencapaian selama bulan ini. Sheren menatap ujung sepatu ketsnya dengan tatapan kosong. Kepalanya penuh dengan berbagai macam hal yang harus dia selesaikan, hingga dia bingung masalah mana yang harus diselesaikan lebih dulu. Ditambah lagi, fakta bahwa kemampuannya dalam bidang seni hanya ada di bidang musik.

"Aku dengar evaluasi kali ini lebih seru dan menantang daripada evaluasi sebelumnya," kata Steven sambil menatap panggung kecil yang disediakan untuk peserta evaluasi menampilkan bakatnya. Semua orang yang ada di ruangan ini tengah duduk di lantai aula resort yang telah dilapisi karpet.

Milka menatap Steven dengan tatapan penasaran. "Apanya yang lebih seru?"

"Aku dengar hari ini juga diadakan evaluasi sosial media, pendapat masyarakat, dan pendapat dari rekan kerja kita selama ini," jawab Steven.

Para anggota Golden Team mengangguk mengerti, kecuali Sheren. Kemudian, Sheren bertanya, "Itu evaluasi yang seperti apa?"

"Evaluasi sosial media adalah evaluasi mengenai konten yang kita unggah ke sosial media kita, apakah menimbulkan masalah atau tidak. Lalu evaluasi pendapat masyarakat adalah perusahaan mengadakan survei daring mengenai pendapat masyarakat tentang kita. Dan pendapat rekan kerja adalah pendapat para rekan kerja kita tentang kita selama ini. Baik sesudah kita debut dan sebelum debut," jelas Shawn.

'Berarti ada kemungkinan perusahaan mewawancarai Adisty, sedangkan aku selalu memperlakukan Adisty dengan buruk. Bisa-bisa, karierku yang masih belum berusia satu tahun bisa hancur!' Sheren merasakan perasaan was-was. dia takut bahwa karier yang baru saja dia bangun bisa jatuh dalam sekejap.

Layar proyektor kini menampilkan video mengenai seluruh artis yang berada di bawah naungan perusahaan ini, kemudian sebuah tulisan 'READY? START!' terpampang jelas di layar proyektor. Tulisan itu sebagai pertanda bahwa evaluasi sudah dimulai. Kini, para peserta secara bergantian menunjukkan bakat mereka.

Lionil yang baru saja selesai melakukan evaluasi dan kini sudah kembali ke tempatnya semula berkata, "Sheren, kamu akan melakukan evaluasi dengan kemampuan yang mana? Karena di panggung tidak disediakan piano."

Sheren tersenyum manis pada Lionil, kemudian dia menarik sebuah tas yang sedari tadi dia letakkan di belakang punggungnya sehingga orang-orang tidak bisa melihat keberadaan tas itu karena tertutupi oleh punggung Sheren. "Aku akan pakai ini. Aku mau menantang diriku sendiri dan memperluas kemampuanku." Tas itu adalah tas biola berwarna putih. Biola itu sengaja Sheren bawa dari rumah. Seperti yang dia katakan pada Lionil, dia ingin menantang diri agar kemampuannya meningkat.

Kemudian, nama Sheren dipanggil oleh Bu Wendy. Sheren melambaikan tangan pada teman-temannya, lalu berjalan ke panggung mini sembar membawa biolanya. Setibanya di panggung, Sheren menatap penonton sekilas, kemudian dia menggesekkan dawainya dengan mantap dan tenang. Alunan musik biola terdengar memenuhi aula, menghipnotis seluruh telinga yang mendengar alunan biola ini. Lagu yang dimainkan Sheren adalah salah satu lagu yang sangat populer di kalangan masyarakat. Lagu itu telah dia aransemen ulang sehingga cocok dengan permainan biolanya. Lagu yang mengisahkan tentang kehidupan sang ahli pesawat terbang yang masyhur di Indonesia dan dunia. Aula begitu hening, semua mata tertuju pada Sheren dan biolanya. Kemudian, permainan biola Sheren berakhir. Gadis itu menatap para penonton yang juga tengah menatapnya. Lalu, tepukan tangan membahana terdengar di sepenjuru ruangan. Sheren menundukkan kepalanya sebentar sebagai tanda penghormatan pada para rekan kerjanya, lalu dia turun dari panggung sambil membawa biolanya.

Kini, sebuah video diputar di layar proyektor. Video itu menampilkan sosok perempuan muda yang sangat familiar di mata Sheren. Sheren yang kini sudah kembali ke tempat duduknya, menatap layar proyektor dengan was-was. Wanita muda itu tersenyum, wajahnya menyiratkan kesan ramah dan bersahabat. Lalu, dia berkata, "Halo semuanya, saya Adisty Arinda. Saya adalah guru piano Sheren di akademi musik. Saya menjadi gurunya kurang lebih selama sembilan atau sepuluh tahun sejak dia di taman kanak-kanak hingga akhirnya dia debut bersama teman-temannya. Menurut saya, kemampuan bermusik Sheren sangat bagus. Dia tidak hanya berbakat dalam bidang piano, tapi juga di bidang penulisan lagu. Dia adalah sosok pekerja keras yang juga keras kepala. Karena Sheren selalu berlatih dengan keras setiap hari tanpa jeda. Kemampuannya juga selalu meningkat pesat di setiap kompetisi. Tetapi, dia terlalu memaksakan diri dan tidak tahu kapan waktunya dia untuk beristirahat. Hal itulah yang membuat dia kesepian dan tidak memiliki banyak teman. Dia terlalu memusatkan hidupnya pada musik." Adisty tersenyum tulus, "Tapi, dia tidak pernah mengecewakan. Bagi saya, dia adalah anak perempuan cantik yang manis. Saya bangga dengan kerja keras dan pencapaian dia selama ini." Video kemudian berakhir. Video itu rupanya bukan hanya berasal dari Adisty, tapi juga dari Adeline, para anggota Winter Orkestra, dan dari guru-guru sekolahnya. Rasanya, Sheren ingin menenggelamkan dirinya di bumi karena dia malu dengan pujian-pujian yang terlontar untuknya.

Video-video itu telah selesai. Kini, evaluasi sosial media Sheren dilakukan dan hasilnya memuaskan. Dia tidak pernah mengunggah konten kontroversial, karena konten sosial medianya hanya berisi video dia tengah memainkan alat musik. Lalu, evaluasi pendapat masyarakat untuknya. Ada pro dan kontra di kalangan penggemar. Penggemar yang kontra berpendapat bahwa dia hanya menumpang tenar pada para anggota yang sudah debut lebih dulu, sedangkan penggemar yang pro berpendapat bahwa kemampuan Sheren dalam bermusik bisa meningkatkan kualitas lagu yang dirilis Golden Team.

"Tim kontra tidak tahu saja betapa bagusnya Sheren dalam bermusik," gumam Devina kesal. Dia kesal saat membaca pernyataan tim kontra yang dinilainya sok tahu.

Evaluasi telah selesai. Dan Sheren mendapatkan rekomendasi dari para juri untuk dipertahankan di perusahaan. Hasil rekomendasi para juri evaluasi membuat hatinya lega sekali.

***

"Evaluasi yang dilakukan oleh perusahaan kita seram sekali ya," ucap Sheren pada Milka. Mereka kini tengah berada dalam mobil. Kegiatan keakraban sudah selesai dan para peserta kini sedang menuju salah satu tempat wisata yang berada di kota ini.

Milka tertawa, "Seram ya? Memang seram sih pada awalnya, tapi lama-lama kamu pasti terbiasa kok. Omong-omong, aku baru tahu kamu bisa memainkan alat musik selain piano." Milka teringat pada sosial media Sheren yang berisi tentang video Sheren memainkan alat musik.

"Kamu gak pernah mengikuti sosial media Sheren ya Mil?" tanya Shawn yang duduk di jok belakang tepat di belakang Sheren dan Milka.

"Aku mengikuti kok, tapi belum melihat semua videonya. Lagipula, aku bukan kamu yang sampai secara sembunyi-sembunyi membuat akun lain untuk tempatmu menuangkan rasa cintamu," ledek Milka.

"iri bilang bos!" balas Shawn sambil tertawa.

"Eh Lionil, kamu bisa tidak minta pada Bu Winona agar Sheren menulis lagu untuk kita?" tanya Lucas pada Lionil yang duduk di samping Shawn. Lucas, Lionil, Shawn, Sheren, Milka, Devina, dan Adinda berada dalam satu mobil yang sama.

Adinda mengangguk setuju, "Aku setuju dengan saran Lucas. Apalagi Sheren harus mengeksplorasi bakat bermusiknya lebih luas lagi. Sayang bakat sebagus itu jika disia-siakan."

Lionil tersenyum, "Nanti aku tanyakan pada Bu Winona. Semoga beliau setuju."

***

Sheren menatap pohon-pohon buah yang berjajar rapi di ladang-ladang buah. Manik matanya menatap ke sekeliling ladang, teman-temannya yang lain tengah sibuk memetik buah-buah segar itu. Dengan langkah malas, Sheren menghampiri Shawn yang tengah memotret buah apel yang masih berada di pohonnya.

"Shawn," panggil Sheren sambil mencolek lengan Shawn.

Shawn mengalihkan fokusnya ke arah Sheren. "Ya? Ada apa, She? Kamu mau kufoto?"

"Bukan, aku mau tanya. Apa kita harus memetik buah-buah itu sesuai instruksi dari petugas tadi?"

"Kita ke sini memang untuk memetik buah. Kenapa?"

Sheren cemberut, dia benci berada di bawah terik matahari yang panas menyengat seperti sekarang. "Enggak, aku malas saja. Pengin rebahan."

Mendengar penuturan polos itu membuat Shawn tertawa. Pemuda itu lalu mengalungkan tali kamera ke lehernya. "Ya udah, ayo kita cari beberapa buah segar buat dibawa pulang!"

Sheren mendesah kesal, dia menatap Shawn dengan tatapan datar. Belum sempat dia memprotes perkataan Shawn, pemuda itu telah lebih dulu menarik tangannya untuk menyusuri deretan pepohonan buah. "Hah...dasar Shawn! Aku kan enggak minta buat ditemani memetik buah!" Dengan terpaksa, Sheren mengikuti langkah-langkah Shawn yang bersemangat.

Kekesalan yang tadi dia rasakan, kini berganti dengan perasaan gembira. Sebut saja Sheren labil, tapi dia kini menikmati kegiatannya memetik buah. Kegiatan yang ternyata mengasyikkan dan baru pertama kali dia lakukan. Dan kini, giliran Shawn yang ditarik oleh Sheren ke sana ke mari. Tentu saja Shawn mengiyakan ajakan Sheren dengan senang hati. Senyum dan binar mata Sheren seolah candu untuk Shawn.

Shawn tertawa saat melihat Sheren tengah berjuang berjinjit sambil melompat-lompat untuk mengambil buah apel ranum yang berada beberapa centimeter di atas kepalanya. "Butuh bantuan?" tanya Shawn.

Leher Sheren refleks menoleh ke arah Shawn, diikuti dengan binar mata bahagia. "Ya! Aku sangat membutuhkan bantuanmu!"

Shawn lalu berjinjit sedikit dan tangannya berhasil dengan mudah meraih buah apel yang menjadi incaran Sheren. Shawn lalu memetik buah itu dan meletakkannya di keranjang buah yang dibawa oleh Sheren. Keranjang itu telah terisi oleh beberapa buah-buahan, salah satunya adalah apel.

"She, sudah yuk! Lionil sudah memanggil," tunjuk Shawn pada Lionil yang memang tengah melambai-lambaikan tangannya pada Shawn yang secara kebetulan menatap ke arahnya. Sheren mengangguk. Kedua remaja itu kemudian meninggalkan ladang buah-buahan.

***

Sheren menyandarkan kepalanya pada pundak Adinda yang tengah tertidur lelap. Perjalanan menuju Surabaya diliputi oleh keheningan karena para penumpang mobil ini sudah terlelap, kecuali Sheren dan supir perusahaan yang mengemudikan mobil ini. Kegiatan hari ini, entah mengapa sedikit menghibur Sheren. Semesta seolah-olah menunjukkan pada Sheren bahwa kini, sudah saatnya dia berpisah dari teman-temannya yang dulu selalu ada untuknya. Bukankah, di setiap pertemuan pasti ada perpisahan? Namun, Sheren tak siap dengan perpisahan dengan cara seperti ini.

'Apa memang harus semenyakitkan ini? Apakah harga atas pertemanan kami harus dibayar dengan akhir yang tak mengenakkan dan mengorbankan salah satu dari kami? Mengorbankan aku?'

***

Kota Batu, 10 Mei 2020

Jadi, seperti inikah akhirnya?

Next chapter