webnovel

Catatan 45: Rasanya Sedikit Sakit

Sheren berjalan tergesa-gesa menuju pintu keluar agensi. Dia baru saja tiba kembali di Surabaya setelah satu minggu berada di luar kota untuk mempromosikan album baru grup mereka. Setelah jadwal selesai, para artis diwajibkan untuk datang ke kantor agensi guna melakukan evaluasi terhadap kinerja mereka. Dan Sheren baru saja melakukannya. Kinerjanya tidak bisa dibilang bagus dalam hal menari karena dia tidak pernah mendapatkan kursus tari sebelumnya. Namun menurut Bu Winona dan rekan setim Sheren, kinerja Sheren dalam bidang tari cukup bagus untuk ukuran seseorang yang tidak memiliki pengalaman di bidang itu sebelumnya.

Saat tiba di pintu keluar setelah lobi, seseorang menabrak Sheren secara tidak sengaja. Gadis itu menatap si penabrak dan menemukan seorang gadis dengan mantel bulu-bulu bermotif leopard. Rambutnya berwarna merah menyala dan dibentuk bergelombang tergerai sepunggung. Sheren mengernyit saat melihat penampilan itu, ditambah lagi dengan kacamata yang menutupi separuh wajah gadis itu. "Maaf, saya tidak sengaja. Saya sedang terburu-buru," ucap Sheren sambil membungkukkan badannya sedikit ke arah gadis itu.

Gadis itu melepas kacamatanya dengan angkuh, dan Sheren bisa melihat wajah cantik yang tertutupi oleh riasan tebal. Sheren menegakkan tubuhnya kembali saat dia menyadari bahwa gadis itu memberinya gestur tubuh angkuh dan terkesan menantang. "Ck! Kamu tahu tidak bahwa saya ini mahal?! Jika terjadi sesuatu pada saya, bahkan jika itu hanya lecet kecil, kamu harus ganti rugi yang sangat besar akibat ulahmu itu!"

'Satu lagi orang aneh yang aku temui di dunia ini,' batin Sheren jengkel. "Iya, oke. Saya minta maaf karena saya tidak sengaja. Dan Mbak bisa menuntut saya jika saya memang menyebabkan Mbak terluka," ucap Sheren dengan nada setengah kesal. Kemudian, dia berlari meninggalkan gadis itu saat mobil yang dikendarai oleh Alana berhenti tepat di depan pintu lobi. Sheren kemudian masuk ke mobil itu tanpa basa-basi dan tanpa menoleh ke tempat si gadis aneh itu berdiri.

***

"Kak, itu tadi siapa?" tanya Sheren pada Alana yang tengah menyetir.

Alana tersenyum mendengar pertanyaan itu. "Dia Lily, dengan nama panggung Luna. Dia memang nyentrik dan aneh. Agak sombong juga pada orang yang gak dia kenal."

"Dandanannya memang nyentrik, tapi itu tak jadi masalah. Yang menjadi masalah adalah sikapnya yang sombong dan egois. Dia tadi berkata bahwa aku harus memberinya ganti rugi yang besar jika dia terluka walau terluka gores karena tidak sengaja kutabrak!" Sheren tidak bisa menyembunyikan kekesalannya pada Lily.

Alana tersenyum, "Kamu tahu She? Lily hanyalah satu dari sekian banyak orang yang memiliki kepribadian yang nyentrik, sombong, dan berbagai karakter lain yang sangat menyebalkan. Tapi. kamu juga tidak usah menanggapi mereka. Karena mereka dan kamu adalah rival yang sebenarnya. Semua orang yang bekerja di industri ini adalah rival satu sama lain."

"Iya sih, Kakak benar. Dia artis juga?"

Alana mengangguk. "Aktris sekaligus selebgram. Awalnya dia adalah seorang selebgram, lalu perusahaan merekrutnya. Dia sekarang bekerja sebagai aktris, spesialisasinya di sinetron."

"Oh ya? Tapi aku tidak pernah melihatnya di televisi."

"Yakin?"

Sheren mengangguk. "Yakin kok, karena aku memang tidak pernah melihat sinetron maupun gosip selebriti di televisi." 'Karena aku sendiri hidup bersama seorang selebriti terkenal. Jadi, aku sudah bosan dengan hingar bingar kehidupan selebriti,' batin Sheren. Alana tertawa mendengar respon Sheren. Perjalanan menuju gedung orkestra kini diisi dengan suara gelak tawa dan canda dari Alana dan Sheren.

***

Denting-denting piano yang berpadu dengan suara-suara indah yang berasal dari orkestra berbaur memenuhi gedung orkestra tempat di mana Sheren dan Winter Orkestra berlatih. Tangan-tangan terampil Sheren dengan cekatan menekan tuts-tuts hitam putih itu. Lagu klasik yang diciptakan tahun 1892. Lagu klasik ini identik dengan musim natal.

Jari jemari Sheren menari di atas tuts dengan indah, seolah-olah jari-jemarinya sedang melakukan tarian ballet di atas piano. Garis wajah Sheren menampilkan senyum yang lembut, kedua matanya menyorot lembut piano yang tengah dia mainkan. Siapa saja yang tengah melihat pertunjukan ini, pasti tersedot dalam pesona mematikan alunan musik klasik ini.

Permainan ditutup dengan permainan biola yang apik. Sheren tersenyum senang saat latihan kali ini kembali berjalan lancar. "Woah! Hebat!"

Sheren menoleh saat sebuah suara berteriak heboh disusul oleh tepuk tangan yang sangat meriah dari arah deretan kursi penonton. Dan netra Sheren menemukan teman-temannya ada di sana, melihatnya berlatih orkestra. Sheren juga bisa melihat Reyna, Milka, dan Devina menyeka air mata yang keluar dari mata mereka.

"Sejak kapan kalian ada di situ?" Sheren benar-benar tidak menyadari keberadaan rekan-rekannya, karena sedari tadi konsentrasinya terfokus pada piano.

Shawn tersenyum lebar. "Sejak tadi! Sejak kalian memainkan lagu dari set pertama."

Orkestra ini akan memainkan tiga set musik yang berbeda-beda di tiga waktu yang berbeda-beda; Pagi, siang, dan malam. Tentu saja durasi bermain mereka adalah dua jam, yang itu berarti mereka harus bermain selama 6 jam sehari dikalikan satu minggu terus menerus.

"Hei She, ini sudah siang! Ayo makan siang bersama!" Lucas tersenyum sangat lebar. Senyuman yang menular dan membuat Sheren tersenyum. Namun kemudian, dia tersadar. Teman-temannya bukan hanya Lucas dan rekan setimnya!

Sheren kemudian menoleh pada Adeline yang tengah menatapnya dengan senyum lebar. "Mau ikut bergabung bersama kami?" tawar Sheren.

"Tentu, ayo pergi bersama! Aku juga sudah lama tidak bertemu denganmu," senyum Adeline lebar.

Sheren lalu mengalihkan pandangannya pada Lionil yang tengah menatapnya dengan senyum. "Aku boleh ajak Adeline kan?"

Lionil mengangguk. "Tentu saja boleh." Kemudian, para remaja itu berjalan bersama keluar dari gedung orkestra.

"Kenapa Reyna? Ada sesuatu yang mau kamu tanyakan?" Sheren menyadari sedari tadi Reyna menatapnya dengan pandangan ingin tahu, namun Reyna ragu untuk menanyakannya. Dan hal itu tentu saja mengusik rasa penasaran Sheren.

Reyna tersenyum malu-malu, "Kak Sheren dan Kak Adeline sejak kapan bisa main musik?"

"Aku mulai berlatih musik secara serius sejak usia enam tahun. Aku bisa bermain biola dan harpa," jawab Adeline ramah.

"Aku tidak tahu mulai kapan aku belajar bermain piano, karena sehari-hari yang kutahu hanyalah piano. Mungkin sejak usia tiga tahun? Entahlah. Selain piano, aku bisa bermain biola, harpa, gitar, saxophone, dan juga drum. Aku juga ingin belajar bermain flute," jawab Sheren.

"Reyna tertarik pada musik klasik?" tanya Adeline pada gadis remaja yang berjalan di samping Sheren.

Reyna mengangguk semangat, "Aku ingin bisa bermain piano sejak dulu. Tapi aku tidak berbakat di bidang musik."

"Kamu tidak berbakat atau kamu takut untuk mencoba lebih jauh? Berapa kali kamu berlatih piano hingga kamu bisa melabeli dirimu sebagai orang yang tidak berbakat di bidang musik?" tanya Sheren gamblang. Hal itu membuat Adeline menyikut perut gadis berbandana ungu itu. Sheren tidak mengacuhkan tatapan penuh peringatan yang ditujukan Adeline padanya.

"Emm...Aku berlatih piano sekitar empat bulan, kemudian berhenti karena tidak ada perkembangan dalam kemampuanku. Kemudian, aku mulai berlatih tari dan ada perkembangan di kemampuan menariku."

Sheren mengangguk mendengar jawaban Reyna. "Mungkin sebenarnya kamu bukannya tidak berkembang di bidang musik, tapi bisa saja perkembanganmu lambat. Karena perkembangan kemampuan seseorang itu berbeda-beda." Adeline kembali menyikut perut Sheren, berharap temannya ini peka dengan makna tatapan dari Reyna. "Kamu mau mencoba berlatih piano denganku? Aku rasa kita bisa berlatih bersama sesekali," imbuh Sheren.

"Beneran Kak?" Reyna menatap Sheren dengan binar antusias. Sheren mengangguk. Hal itu membuat Reyna tersenyum lebar. Tidak ada salahnya bukan untuk membuat orang lain senang?

***

"Line, kemarin aku melihat biola incaranmu saat di Jakarta," ucap Sheren saat mereka sedang makan siang bersama. Restoran yang mereka kunjungi siang ini ramai oleh para pengunjung. Maklum, ini sudah waktunya makan siang.

"Oh ya? Yang dari kaca?" Adeline menatap kawannya ini dengan tatapan berbinar tidak percaya.

"Iya, aku akhirnya memutuskan untuk membelinya bersama piano baru yang kuincar sejak lama. Sayangnya, barangnya belum sampai. Dan jika biolanya sudah sampai di rumahmu, beritahu aku ya?"

Adeline menatap Sheren dengan binar gembira, "Beneran She?!"

Sheren mengiyakan, "Dan selamat ulang tahun. Maaf aku tidak bisa datang ke acaramu kemarin." Adeline memang mengundang Sheren dan teman-teman sekelasnya dalam acara pesta ulang tahunnya. Sayangnya, hari itu bertepatan dengan hari debut Sheren. Dan tentu saja, Sheren tidak bisa datang.

"Astaga! Si Leopard!" seru Sheren saat melihat Lily baru saja memasuki restoran. Milka yang duduk di sebelah Sheren mengikuti arah pandang Sheren, kemudian dia tertawa. Kaki kanan Milka menendang Lucas yang tengah duduk di depannya. Tentu saja hal itu membuat Lucas menatap Milka.

"Lily, arah jam 11." Ucapan Milka layaknya komando bagi teman-temannya. Mereka serentak menoleh ke arah yang dimaksud Milka. "Kamu pernah bertemu Lily, She?" tanya Milka yang kini mengalihkan pandangannya pada Sheren.

Sheren mengangguk, "Aku bertemu dia tadi pagi di kantor sebelum berangkat ke gedung orkestra. Aku tidak sengaja menabraknya. Dandanannya heboh sekali tadi pagi. Tapi sekarang dia berdandan normal."

"Lily tadi pagi berangkat menuju lokasi pengambilan gambar untuk filmnya bersama Shawn, jadi dia tadi berdandan begitu. Sebenarnya Lily normal kok, hanya saja dia galak. Dia baik sih orangnya."

Sheren mengernyit menatap Lucas. "Luc, dia pacarmu?"

Tawa berderai dari mulut Lucas. "Kenapa kamu bisa berpikir begitu?"

"Caramu membicarakan Lily terdengar berbeda, kalian sepertinya ada ikatan yang akrab."

Lucas tersenyum, "Lily memang teman akrabku. Hubungan kami hanya sebatas itu. Kami semua akrab dengannya, terutama Shawn. Karena..." Lucas menatap Shawn yang tengah menatap Lily dengan fokus penuh. "Lily adalah mantan pacar Shawn. Mungkin, dia mantan terindah yang pernah hadir di hidup Shawn," lanjut Lucas. Adeline, Milka, Michael, dan Michaelo menatap Lucas dengan tatapan horor. Sementara Reyna dan Reinarth menatap Sheren dengan pandangan khawatir. Lionil mengusap wajahnya kasar, karena dia merasakan akan ada masalah yang disebabkan oleh hal ini. Devina, Adinda, Anastasya, Keano, Steven, dan Juan menatap Shawn prihatin.

Kalimat terakhir yang diucapkan oleh Lucas, entah mengapa terasa begitu mencubit hati Sheren. Dan dia tidak tahu mengapa hal itu bisa terjadi.

***

Surabaya, 5 Mei 2020

Shawn pernah memiliki hubungan dengan Lily, lantas mengapa hatiku merasa sakit ya? Seharusnya, itu bukan urusanku. Lagipula, Aku dan Shawn tidak ada hubungan apa-apa. Kami hanya sebatas teman. Iya, teman. Tidak lebih.

Next chapter