16 Catatan 15: Hari Yang Normal

Awan mendung sudah menggelayut di langit yang masih pagi. Ini masih pukul 08.00 pagi. Namun, kepala Sheren sudah terasa penat. Dia merasakan kepenatan karena perkataan Bu Winona dua hari yang lalu terus menghantuinya. Dan ini membuat tidurnya tidak nyenyak. Otaknya terus memikirkan jawaban apa yang akan dia berikan pada Bu Winona. Di satu sisi, Sheren menginginkan posisi dimana orang-orang bisa mendengarkan musiknya dengan leluasa tanpa harus datang ke orkestra dan perlombaan piano. Namun, dia dilema dengan kelayakan dirinya. Layakkah dia mendapatkan penawaran seperti itu? Bagaimana jika dia justru berakhir mengecewakan?

"KYAAA SHAKA!!"

"Astaga! Tampannyaaa!"

Suara-suara sorakan para gadis menggebu-gebu di koridor depan kelas Sheren. Suara sorakan para remaja itu tentu saja membuyarkan lamunannya. Sheren menoleh ke arah pintu kelasnya yang terbuka dan menampilkan kerumunan para gadis di koridor.Hal itu tentu saja memancing rasa penasaran Sheren. Gadis cantik itu lalu berjalan menuju koridor tempat di mana para gadis tengah berkumpul.

"Hai She! Sini-sini!" Seruan disertai lambaian tangan penuh semangat menyeruak dari kerumunan saat Sheren berada di koridor. Lambaian itu berasal dari Rhea dan Sashi yang berada di koridor. Kedua gadis itu berada tepat di samping pagar pembatas. Dengan lincah, gadis itu berjalan menuju tempat di mana Sashi dan Rhea berada. Butuh perjuangan untuk menerobos kerumunan para gadis remaja ini.

Sesampainya di tempat Sashi dan Rhea, Sheren menatap kedua sahabatnya dengan pandangan penuh tanya. "Ada apa? Ini kenapa ramai sekali sih? Sekolah kita kedatangan artis?" tanya Sheren kebingungan. Rhea menggeleng dengan ekspresi jenaka sambil menunjuk ke arah bawah. Sheren menunduk untuk menatap objek yang ditunjuk Rhea. Di bawah sana, tepatnya di lapangan, sekumpulan remaja yang mengenakan pakaian lengan panjang berwarna putih dan celana panjang warna putih, lengkap dengan sabuk beraneka warna tengah berlatih. Kelas Sheren berada di lantai dua, dan gadis itu seketika mendengus. Objek keriuhan ini adalah seorang pemuda tinggi, tampan, dan pintar yang mengenakan setelan yang sama dengan para remaja di lapangan itu. Bedanya adalah sabuk yang dia kenakan berwarna hitam. Sabuk berwarna hitam dengan tiga strip putih. Dan pemuda itu juga cerdas serta populer. Sheren mendengus melihat itu.

Di saat yang bersamaan, Shaka menatap ke atas. Tepat ke arah lantai dua. Manik mata remaja kembar itu saling bertatapan. Seulas senyum terukir di bibir Shaka saat netranya menatap sang adik. Manik mata Sheren melebar, memberikan sinyal kebingungan pada sang saudara. Shaka mengeluarkan ponselnya, lalu menunduk sembari mengetikkan sesuatu pada ponselnya. Tak lama kemudian, ponsel Sheren bergetar. Jemarinya dengan lincah membuka pesan itu. Pesan berisi seutas ajakan untuk pergi ke restoran sepulang sekolah. Sheren kembali menatap Shaka sambil mengangguk. Shaka tertawa seraya mengacungkan jempolnya. Lalu, pemuda itu memasukkan ponselnya ke saku. Kemudian, dia kembali fokus memberikan aba-aba kepada teman-temannya.

"Shaka adalah definisi Kakak idaman ala novel," gumam Sashi sambil menangkup kedua pipinya. Gadis cantik itu tersenyum riang. Imajinasi Sashi sudah membayangkan sebuah novel yang pernah dia baca.

Sheren tertawa kecil. "Andai kamu tahu betapa menyebalkannya Shaka." Rhea dan Sashi tertawa. Ketiga gadis itu kemudian menatap ke arah lapangan.

***

Sedari tadi, Shaka selalu menatapnya dengan tatapan tajam. Hal ini tentu saja membuat Sheren risih. Gadis itu balas menatap sang kakak dengan pandangan tajam. Tangan kanannya sibuk mengaduk saus tomat dengan spageti agar tercampur rata. "Kenapa? Aku enggak membuat masalah loh ya! Justru kamu yang membuat masalah," tawa Sheren. "Kamu membuat anak perempuan orang mengalami histeria."

"Itu bukan salahku! Salahin Mama dan Ayah yang menurunkan gen fisik yang bagus." Tawa berderai dari bibir Shaka. Sepasang kelopak matanya membentuk bulan sabit. Shaka lalu meletakkan garpu dan pisau makan yang dia pegang di atas piring setelah selesai memotong steak sapi miliknya. "Boleh tanya sesuatu?"

"Tentu, mau tanya soal apa?"

"Kenapa kamu terlihat gelisah selama dua hari ini? Aku tahu ada beberapa orang yang bertemu denganmu."

Sheren tertawa. Dia lupa jika kakaknya ini bisa melihat kilasan peristiwa yang dia alami. Manik mata Sheren kini menatap lurus manik mata Shaka. "Ka, jika kamu diberi kesempatan oleh si pemilik kesempatan itu, apa yang akan kamu lakukan? Sedangkan kamu merasa bahwa kemampuanmu tidak cukup baik."

"Jika itu aku, aku akan mengambil kesempatan itu. Bagiku, yang bisa menilai kemampuanku bukan aku tapi orang lain. Aku tidak bisa melihat kemampuanku sendiri dengan baik, yang bisa adalah orang lain. Walau ada beberapa orang yang menilaiku dengan subjektif sih."

Jawaban Shaka membuat Sheren semakin bimbang. Orang lain menilai bahwa kemampuan pianonya sangat baik. Tapi di satu sisi, dia ragu terhadap penilaian itu. Apakah orang-orang menilainya karena dia memang benar memiliki kemampuan sebagus itu? Atau, itu semua karena dia adalah anak Mama. "Tapi, apakah benar penilaian itu bukan karena Mama?"

Sheren merasakan genggaman hangat di kedua tangannya. Gadis itu menatap sang saudara kembar dengan bimbang. "Aku bingung, Ka. Jika aku menerima tawaran audisi itu, dan rupanya satu hari nanti ternyata aku diterima karena aku anak Mama, bagaimana? Hal itu pasti sama dengan nepotisme. Dan aku sudah sangat jahat karena mengambil kesempatan orang lain."

"Apakah mereka tahu jika kamu anak Mama? Ataukah, mereka tahu kamu dari kemampuanmu?" Shaka menatap adiknya dengan lembut. Genggaman Sheren di tangannya kini mengerat.

Sheren menggeleng bimbang. "Aku enggak tahu, Ka. Bu Winona mengatakan bahwa beliau tertarik dengan kemampuanku."

"Coba saja dulu. Jika terbukti mereka memanggilmu audisi karena Mama, kamu bisa mengundurkan diri. Gimana?" saran Shaka. Seulas senyum terbit di bibir Sheren, gadis itu kemudian mengangguk setuju.

"Ya udah, habisin makannya. Habis itu kita jalan-jalan yuk! Hari ini enggak usah les dulu. Kita menjadi remaja normal dulu selama sehari."

Sheren tertawa. "Berarti dulunya kita gak normal dong?" Gelak tawa terdengar dari bibir Shaka. Lalu, sepasang anak kembar itu bergegas menghabiskan makanan mereka.

***

Shaka mengajak Sheren untuk pergi ke pantai, namun Sheren menolak dengan alasan suhu yang panas. Kakaknya ini memang aneh, sekarang sudah pukul 12:00 siang dan dia mengajak pergi ke pantai! Akhirnya, setelah perdebatan sengit dan berakhir dengan adu suit tiga kali, Sheren berhasil menang. Gadis itu tertawa riang melihat ekspresi wajah Shaka yang masam, namun dia tetap harus menuruti kemauan adiknya. Jadi, sepanjang perjalanan menuju mall dilalui Sheren dengan tawa karena wajah cemberut Shaka.

Kini, mereka sudah tiba di mall. Sheren mencolek-colek pipi Shaka yang secara tidak sadar menggembung karena kesal. "Ayolah Ka, mall tidak seburuk itu kok!" Sheren kini berjalan bersama Shaka memasuki gedung berlantai lima itu sembari memukul-mukul kecil lengan kekar pemuda itu.

"Di sini gak semenarik pantai. Gak ada yang bisa dilihat," ucap Shaka kesal. Berbanding terbalik dengan sang adik yang kini mengayun-ayunkan tangan kanan Shaka dengan riang. Senyum riang terpatri di bibir Sheren, dan hal itu mampu meluluhkan emosi Shaka. Pemuda itu kini tertawa seraya mengacak rambut adiknya gemas.

"Ih Shaka!" Sheren melepaskan genggaman tangannya pada Shaka. Lalu, kedua tangannya merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Seusai merapikan rambutnya, dia menatap sang Kakak dengan raut jenaka seraya berkata, "Siapa tahu kamu bisa dapat pacar cantik di sini." Shaka mencubit pipi adiknya gemas. Cubitan itu tidak membuat Sheren tersinggung, dia justru tertawa.

Sebuah photo box menarik minat Sheren. Gadis itu menatap Shaka seraya menunjuk ke arah kotak itu. "Ka, foto di photo box yuk? Di sana, ada banyak filter foto lucu," rajuk Sheren. Shaka mengikuti arah yang ditunjuk Sheren seraya mengangguk. Kemudian, sepasang anak kembar itu berlari kecil menuju boks yang biasa digunakan untuk berfoto tersebut.

Sisa hari ini berjalan sangat menyenangkan. Baik Sheren maupun Shaka sejenak melupakan kesibukan mereka yang menggunung. Sejenak, mereka melupakan beban mental mengenai medali dan piala yang harus mereka raih. Untuk hari ini, Shaka dan Sheren akhirnya bisa mencuri waktu walau sejenak. Waktu yang membuat mereka merasakan rasanya menjadi remaja normal.

Surabaya, 29 Januari 2020

Sisa hari ini merupakan sisa hari terbaik bagiku, walau aku harus membolos les. Aku tidak peduli. Mama pasti tahu karena Kak Adisty pasti melaporkannya pada Mama, tapi aku tak peduli. Aku hanya ingin menghabiskan sisa waktu yang menyenangkan ini dengan saudaraku.

avataravatar
Next chapter