5 5) Awal Mula Bencana

"Selamat pagi, anak-anak. Atau seharusnya aku tak menggunakan kata 'anak-anak' untuk kalian, mengingat kalian bukan lagi murid sekolahan. Namun, entah apapun panggilan yang akan kugunakan kepada kalian, aku akan menghargai jika kalian menganggapku sebagai ayah kalian di kampus ini."

Seorang dosen berdiri di depan kelas. Lebih tepatnya, seorang dosen pembimbing jurusan Seni Rupa di Universitas Seni Hemera ini.

"Perkenalkan, namaku Albertus Geoffrey. Kalian bisa memanggilku Papa Geo."

Beberapa orang hampir tak bisa menahan tawanya saat mendengar apa yang Pak Geoffrey katakan. Sedangkan yang lain masih bisa bertahan dengan baik. Termasuk Kayla, Yurisa dan Nadine yang duduk saling bersebelahan.

Pak Geoffrey hanya tersenyum menanggapi para mahasiswa di hadapannya. Menurutnya sendiri, panggilan itu memang lumayan lucu ... meski sejatinya ia tak berusaha melucu sedikitpun.

"Seperti yang kalian tahu, aku adalah penasehat akademik untuk jurusan Seni Rupa. Jika di Sekolah Menengah, aku seperti seorang wali kelas bagi kalian. Jika ada pertanyaan, merasa bebas untuk mengutarakannya."

Yurisa yang duduk di sebelah Kayla mengangkat tangan kanannya. "Kenapa harus Papa Geo?"

Kayla menepuk bahu Yurisa karena merasa itu bukanlah hal yang penting untuk ditanyakan.

Pak Geoffrey tersenyum ke arah Yurisa, "Kenapa tidak?"

Ia membalasnya dengan pertanyaan lain, dan hal itu membuat Yursia pun menurunkan tangan kanannya dan kembali berusaha menahan tawanya.

"Baiklah, jika tidak ada pertanyaan lain, keluarkan sketchbook ukuran A4 beserta pensil kalian, dan mulailah menggambar sesuatu."

Semua mahasiswa mengeluarkan sketchbook mereka sesuai arahan dan menaruhnya di atas meja yang menyatu dengan kursi yang mereka duduki. Sepertinya tak perlu dijelaskan lagi apa yang akan mereka lakukan di kelas pertama mereka hari ini.

Kali ini seseorang mengangkat tangannya, "Pak Geoff—"

"Hm-hm ... Papa Geo."

Orang yang mengangkat tangannya itu cekikikan, berusaha keras untuk tidak tertawa. "Pa-Papa Geo ... "

"Yup?"

"Apa yang harus kita gambar?"

"Apa saja." balas Pak Geoffrey. "Aku ingin kalian menggambar apapun yang kalian lihat di ruangan ini. Aku ingin melihat bagaimana cara kalian memandang hal-hal di sekitar kalian."

Semua orang menganggukkan kepala mereka dan mulai menggoreskan ujung pensil di atas kertas sketchbook mereka.

Pak Geoffrey mengedarkan pandangannya. Ia menyadari bahwa lebih dari setengah siswa yang ada di kelasnya bahkan masih belum memulai goresan pertama mereka. Sepertinya mereka masih kebingungan harus menggambar apa.

Dan Kayla termasuk salah satu dari orang-orang yang kebingungan itu.

Kayla melirik ke sebelah kiri dan mendapati Yurisa bahkan sudah membuat pola dasar dari apa yang ingin ia gambar. Begitu juga dengan Nadine yang duduk di sebelah kanannya. Mereka berdua kelihatan sudah tahu apa yang ingin mereka gambar, sedangkan Kayla, ia masih tertahan dengan pikirannya sendiri.

Pak Geoffrey yang menyadari murid-muridnya masih kebingungan pun mulai tersenyum. Ia sadar bahwa semua yang belum mulai menggambar didominasi oleh wanita, dan hanya satu atau dua orang lelaki yang masih kebingungan dan belum memulai gambar mereka.

"Saya lihat kalian masih belum tahu apa yang ingin kalian gambar. Sepertinya hal ini bisa membuat kalian lebih bersemangat dan mendapatkan inspirasi."

Semua orang tak mengerti dengan apa yang Pak Geoffrey katakan.

Tanpa mengatakan apapun lagi, Pak Geoffrey berdiri dan berjalan ke arah pintu. Dan saat ia membuka pintu ruang kelas, seorang lelaki berdiri di daun pintu itu.

"Bapak mencari saya?" tanya lelaki itu.

Pak Geoffrey tersenyum lebar, "Masuklah."

Kini Pak Geoffrey sudah kembali berada di depan kelas. Namun seseorang berdiri di sampingnya.

"Sekarang kalian mendapatkan objek tambahan untuk kalian gambar. Bagaimana? Kalian pasti merasa pelangi inspirasi tiba-tiba bersinar di kepala kalian, bukan?"

Seisi ruangan terdiam saat melihat siapa orang yang dibawa masuk oleh Pak Geoffrey ke kelas mereka.

Yurisa bahkan sudah menggenggam erat pergelangan tangan Kayla yang ada di sebelahnya.

"Kayla ... Lelaki yang kau ceritakan semalam adalah orang itu, bukan?"

Kayla yang tadinya baru saja mau membuat goresan pertama pada lembar kertas sketchbooknya pun mengarahkan pandangannya ke depan kelas. Dan pada saat itu juga Kayla pun kembali melihat lelaki itu.

Lelaki yang memiliki tato bunga mawar hitam di leher kirinya.

Lelaki yang secara tidak sengaja menjadi penyelamat hidupnya.

Lelaki tampan yang memiliki aura yang sangat mengintimidasi.

Lelaki yang kini menatapnya balik dengan kedua tatapannya yang sangat tajam meski tak menunjukkan ekspresi apapun.

Kevan Hanindra.

Lelaki yang ia ceritakan kepara Yurisa dan Nadine semalam.

Lelaki yang harus ia jauhi.

Kevan menoleh ke arah Pak Geoffrey yang berdiri di sebelahnya. "Apa maksud bapak?"

"Kau cukup diam di sini dan menjadi objek gambar mereka ... atau kau bisa memilih untuk bersikap tidak sopan kepadaku dan mengabaikan perintahku sebagai Penasehat Akademikmu?"

Tanpa peringatan sedikitpun, Kevan meraih kerah kemeja Pak Geoffrey dengan cengkraman tangan kirinya, sementara tangan kanannya mengepal dengan keras, seakan ia siap meninju wajah Pak Geoffrey kapanpun ia mau.

Namun Pak Geoffrey masih saja tersenyum, "Kau tak akan mau melakukan hal itu. Ingat, aku yang menentukan apakah kau bisa lulus atau tidak. Jika kau mulai menuruti kata-kataku, mungkin aku akan mulai mencoba mengabaikan pelanggaran-pelanggaran yang pernah kau lakukan selama ini. Haruskah aku menyebutkan semua itu satu persatu?"

Mendengar perkataan Pak Geoffrey membuat Kevan menyeringai, dengan tatapan mata yang masih setajam pedang. Benar-benar menakutkan, namun Pak Geoffrey tak terlihat takut sama sekali terhadap Kevan.

Kevan pun melepaskan cengkramannya pada kerah kemeja Pak Geoffrey. "Kau ingin sebuah objek gambar, bukan?"

Pak Geoffrey menanggapinya dengan anggukan kepala.

Kevan pun membuang tas ranselnya ke lantai, melepas jaket kulit hitam yang ia kenakan, dan bahkan menanggalkan kaus berwarna abu-abu miliknya yang membuat tubuh bagian atasnya terekspos tanpa beban sedikitpun.

Pak Geoffrey tak berkomentar tentang hal itu. Ia malah mengarahkan pandangannya pada seluruh orang di kelasanya. "Aku akan memberikan kalian waktu tiga puluh menit untuk menyelesaikan gambar kalian."

Tentu saja, hampir seluruh wanita di kelas itu memaku pandangan mereka pada tubuh Kevan. Meski hanya tubuh bagian atasnya yang terekspos, namun hal itu sudah cukup untuk membuat beberapa orang bahkan mulai basah di bawah sana.

Untuk para lelaki, mereka terus meneruskan apa yang sudah mereka gambar sebelumnya, mencoba untuk tidak memedulikan Kevan. Atau lebih tepatnya, mencoba untuk tidak merasa iri dengannya.

Tentu saja.

Lelaki yang tampan dan memiliki tubuh yang bagus akan selalu menjadi musuh bagi laki-laki lainnya.

Banyak kaum hawa yang melihat ke arah Kevan dengan tatapan lapar. Namun di antara mereka, satu-satunya yang melihat ke arah Kevan dengan tatapan iba hanyalah Kayla.

Bahkan Kayla mulai mempertanyakan ada apa dengan Kevan dan Pak Geoffrey. Apakah alasan mereka untuk bersikap seperti itu? Kesalahan apa yang pernah Kevan lakukan hingga membuatnya diperlakukan seperti ini bahkan oleh penasehat akademik sendiri?

Dan juga, salah satu alasan dari tatapan iba Kayla kepada Kevan adalah, ia menyadari tak sedikit terdapat luka bekas jahitan maupun luka yang disebabkan oleh senjata tajam dan tak ditangani dengan baik di tubuh indah itu.

Meskipun Kayla masih berusaha mencerna semua yang ia pikirkan, namun ia mulai menggoreskan pensilnya pada permukaan kertas sketchbook yang ada di atas mejanya.

***

Kevan duduk bersandar pada sofa di ruang penyimpanan yang berada di gedung fakultas seni rupa, tempat ia tak sengaja menyelamatkan seorang Kayla pada malam pesta penyambutan mahasiswa baru.

Ini adalah tempat favoritnya di kampus. Hampir tidak pernah ada orang yang datang ke tempat ini sama sekali.

Ia duduk dengan sebatang nikotin terapit di antara jari telunjuk dan jari tengahnya.

Di dalam pikirannya, masih terbayang kecelakaan mobil saat ia dalam perjalanan pulang setelah terakhir kali bertarung di kelab malam.

Suara raungan itu terdengar seperti bukan dari manusia.

Kevan jelas-jelas mengingat suara raungan itu berasal dari mobil yang menabrak tiang lampu lalu lintas. Jika saja bukan orang-orang berjas hitam yang menghalanginya dengan todongan pistol, Kevan pasti sudah tahu dari mana asal suara yang menakutkan itu.

"Apakah dengan kecelakaan separah itu, seseorang masih bisa berteriak?" gumamnya pelan setelah memgembuskan napas bercampur asap rokok dari mulutnya. "Bahkan tidak ada jejak kecelakaan di internet, tak peduli seberapa keras aku mencarinya."

Ya. Hal itu terasa sangat aneh. Kevan menyadari bahwa orang-orang berjas hitam yang mengarahkan pistol ke arahnya berusaha menutupi kecelakaan tersebut.

Tapi, bagaimana bisa mereka memanipulasi jalanan itu seakan-akan tak ada kecelakaan sama sekali?

Bagaimana mereka bisa memperbaiki lampu lalu lintas dan melapisi aspal dalam semalam? Mungkin bisa jika mereka memang bekerja keras. Tapi tetap saja, hal ini terlalu aneh untuk terjadi.

Apakah mereka orang jahat yang suka muncul di film-film action?

Lalu, suara raungan apa yang ia dengar saat itu?

Apakah itu suara raungan hewan buas?

Atau mungkin, suara raungan dari zombie?

Kevan menggelengkan kepalanya dan menyandarkan kepalanya di puncak sofa yang ia duduki. "Sepertinya aku memang harus berhenti menonton film-film konyol."

Ponselnya bergetar di atas meja di hadapannya. Nama Rea, adiknya, muncul di sana. Kevan menggapai ponselnya dan menggeser ikon berwarna hijau ke atas menggunakan ibu jarinya.

"Kak, aku sepertinya akan pulang terlambat hari ini. Olimpyade Sains akan berlangsung bulan depan, jadi aku harus mempersiapkan diri."

Mendengar hal itu, Kevan tak bisa menahan senyuman di bibirnya. Sebuah senyuman bangga dari seorang kakak kepada adik yang ia sayangi. Siapapun yang melihatnya tersenyum seperti itu pasti akan melupakan sejenak tentang bagaimana mengintimidasinya aura dari seorang Kevan Hanindra, orang yang paling disegani di kampus.

"Di mana kau akan belajar?"

"Di perpustakaan sekolah. Aku juga akan bersama dua orang dari timku."

"Apa kau sudah makan siang?"

"Tidak mungkin aku tidak memakan bekal yang kau siapkan. Masakanmu bahkan lebih enak dari masakan kantin sekolahku." balas Rea dengan bercampur suara langkah kaki. "Aku sudah sampai di depan perpustakaan. Nanti akan kuhubungi lagi. Dah."

Rea mematikan sambungan telpon, dan Kevan masih saja tersenyum.

Bahkan Kevan tersenyum karena Rea menyukai bekal yang ia siapkan untuknya.

Semenakutkan apapun sosok seorang Kevan di mata orang lain, dia tetaplah seorang kakak yang sangat menyayangi adiknya.

Setelah selesai berbicara dengan Rea melalui sambungan telepon, suara-suara yang tak biasa mulai tedengar. Suara dari banyak orang yang berteriak.

Kevan menyadari bahwa teriakan-teriakan ini adalah teriakan kepanikan.

Apakah terjadi sesuatu?

Ia berdiri dan berjalan ke arah jendela. Tanpa mengetahui apa yang sedang terjadi, Kevan menarik tirai yang menutupi kaca jendela ruangan itu. Dan saat itulah hal-hal konyol yang sempat terlintas di kepalanya pun benar-benar terjadi.

avataravatar
Next chapter