1 Chapter 1

"Jadi… apa sudah ada yang mengajakmu?" tanya Jen—sahabatku, kami sedang berjalan menuju gerbang sekolah.

Kedua matanya yang besar dan berwarna abu-abu gelap memandangku dengan curiga. Rambut keemasannya diikat dengan sembarangan hingga membingkai wajahnya dengan sedikit berantakan.

Dan ya, Jen sedang membahas Prom, topik favoritnya selama tiga minggu belakangan ini.

"Ah… belum?" Jawabku dengan sedikit ragu, karena aku tahu apa yang akan ia ucapkan selanjutnya.

"Kau menolak siapa pun yang mengajak, kan?" Keningnya berkerut sebal, "Cara—sayang, kau butuh pasangan Prom!"

"Bagaimana kalau aku pergi denganmu?" balasku sambil tersenyum manis.

"Aku akan pergi bersama Dane. Dan kau tidak boleh menjadi orang ketiga di dalam hubunganku." kedua matanya menyipit saat memandangku.

"Kalau begitu aku akan pergi dengan Eric."

"Eric? Cara, please, ada apa dengan cowok tulen? Lagipula Eric mungkin akan pergi dengan pacarnya." Jenna berkedip menahan tawa.

Eric dan Jenna adalah dua sahabat terdekatku di SMA, walaupun kelas kami berbeda dengan Eric tapi kami selalu bertemu saat jam istirahat atau akhir pekan.

Tentu saja akhir-akhir ini hanya ada aku dan Eric, karena Jen lebih memilih kencan bersama pacarnya. Dan Eric gay—FYI.

"Okay, itu urusan nanti." lanjutnya dengan tidak sabar. "Sekarang urusan dress dan—"

"Cara?"

Sebuah suara yang familiar memotong kalimat Jen. Kami menoleh bersamaan ke sumber suara itu.

Satu meter di belakangku berdiri seorang laki-laki tinggi yang mengenakan kaos hitam, celana jeans, dan jaket. Ia tersenyum lebar ke arah kami, matanya yang berwarna coklat memancarkan senyumannya juga. Rambutnya yang berwarna coklat gelap, sama denganku, dibiarkan sedikit berantakan.

Pandanganku beralih ke buket bunga mawar putih di tangannya.

"Alex?" Bisikku tak percaya saat melihatnya berdiri di depanku, "Apa yang kau lakukan disini?"

Alex adalah kakakku satu-satunya yang lebih tua lima tahun dariku. Ia lulus kuliah dua tahun yang lalu dan memulai magang di sebuah perusahaan properti di luar kota sebelum nantinya mengambil alih bisnis Dad.

Jika dilihat sekilas mungkin kami tidak terlihat mirip. Satu-satunya persamaanku dengan Alex adalah warna rambut kami yang kecoklatan yang serasi dengan warna matanya, sedangkan warna mataku perpaduan hijau dan semu biru.

Alex selalu berkata bahwa mataku seperti kucing Angora. Eksotis—alias aneh.

"Senang bertemu denganmu juga, Car." Alex memelukku dengan erat lalu mencium puncak kepalaku. "Hey, Jenna!"

Jen tersenyum malu sambil melambaikan tangannya, sebelum pacaran dengan Dane ia pernah jatuh cinta berat pada kakakku.

"Cara, aku duluan ya. Dane sudah menungguku. Bye Alex!" Ia melambai pada kami sebelum membalikkan badannya dan berjalan menjauh sambil sesekali menoleh ke arah kami.

Alex membalas lambaian tangannya.

"Jadi?" Aku mengalihkan perhatian pada Alex sesudah ia melepaskan pelukannya. Bau mint dan harum mawar tercium darinya.

"Hm?" balasnya sebelum kami berjalan beriringan keluar dari gerbang.

"Kau pulang lebih cepat dan tidak memberitahuku? Apa Dad dan Mum tau?" Berondongku.

"Ya, dan ya. Aku tidak akan melewatkan ulang tahunmu lagi, tidak tahun ini." Alex menyodorkan buket bunga yang dibawanya.

Aku berhenti sejenak menatap kumpulan kelopak mawar putih yang dibungkus buket berwarna putih gading.

"Ulang tahunku masih besok, Al." Kataku sambil tersenyum, Alex benci saat aku memanggilnya Al. Ia hanya menjawab dengan memutar bola matanya saat aku mendekap buket mawarnya di pelukanku.

"Jadi ada pesta atau sesuatu?" Tanyanya sambil berjalan ke arah mobilnya. BMW, dan baru. Aku tidak tahu Dad membelikannya mobil baru.

"Hanya Mum, Dad, Eric, Jen, dan sekarang kau." Jawabku sambil memandang buket bunga darinya, "Thanks." Kataku dengan tulus.

"Apapun untukmu Cara-bear." Jawabnya sambil tersenyum lebar.

***

"Happy Birthday, Cara!" Jen berdiri di depan pintu rumahku dengan senyum lebarnya.

"Happy Birthday!" Eric mengekor dari belakang Jen. Rambut hitamnya yang sedikit panjang disisir rapi ke belakang. Dua buah lesung di pipinya terlihat jelas saat ia tersenyum.

"Kalian tidak membawa kado untukku?" Tanyaku dengan nada pura-pura kecewa.

"Kadomu menyusul, Eric dan aku sudah mempersiapkan sesuatu untukmu." Jen dan Eric mencium pipiku bergantian.

"Maaf karena aku mendadak menggantinya dengan makan siang. Alex ingin mengajakku makan malam." Kataku sambil berjalan menuju ruang makan bersama keduanya.

"Ah, aku harap aku punya kakak seperti Alex." Jen menghela nafasnya dengan iri.

"Aku harap kau punya kakak seperti Alex—dan dia gay." Sela Eric membuat kami tertawa terbahak-bahak.

Makan siang hari ini berjalan dengan menyenangkan bersama Mum, Dad, Eric, Jenna, minus Alex. Ia memiliki sedikit urusan dan terpaksa melewatkan makan siang.

Mum sendiri yang membuat kue ulang tahunku, seperti tahun-tahun sebelumnya. Aku memandang ke arah orangtuaku sambil tersenyum lebar sebelum meniup lilin kue ulang tahunku.

Dad dan Mum sudah berumur 46 tahun, tapi wajah mereka masih seperti berumur 30 tahun, bahkan kadang-kadang orang menganggap mereka kakakku. Dan itu agak menyebalkan.

Mum adalah perempuan paling cantik yang pernah kulihat, rambut coklat keemasan sebahunya membingkai wajahnya dengan anggun, dan matanya yang berwarna biru muda selalu membuatku sedikit iri dengan kecantikan Mum.

Sedangkan Dad mirip seperti Alex, ia memiliki mata berwarna coklat dan rambut coklat gelap. Dad adalah pahlawanku. Aku ingat saat berumur 7 tahun, Dad selalu mengajakku pergi setiap minggu untuk membeli semua permen yang aku inginkan, tanpa sepengetahuan Mum dan Alex.

Kami menyebutnya misi rahasia, walaupun setelah itu aku selalu sakit perut. Aku sangat menyayangi mereka, mereka adalah orang tua terbaik.

Setelah makan siang dan mengobrol sangat lama, Jenna dan Eric akhirnya pulang. Aku membantu Mum membereskan sisa-sisa makan siang.

"Cara, kau sudah tahu Alex akan mengajakmu kemana?" Mum bertanya sambil menyusun piring-piring yang sudah bersih.

"Belum, Alex hanya memberitahuku untuk bersiap-siap. Kurasa makan malam biasa."

Mum terdiam sejenak, sibuk melanjutkan pekerjaannya. "Alex akan tinggal disini lagi, di kota ini, ia ingin membeli apartemen sendiri. Menurutnya ia sudah tidak pantas tinggal bersama orangtuanya sendiri." Mum berkata sambil tertawa.

"Dia tidak memberitahuku apa-apa..." gerutuku sambil mengerutkan kening, biasanya aku selalu menjadi yang pertama tahu.

Akhir-akhir ini Alex memang lebih jarang menghubungiku, kupikir karena ia sedang sibuk dengan pekerjaannya.

"Oh ya? Mungkin dia lupa. Bagaimana jika aku membantumu bersiap?" tanya Mum sambil mengelap tangan di apronnya.

"Bersiap untuk…?" Tanyaku bingung.

"Makan malammu dengan Alex?"

"Mum, aku hanya akan makan malam dengan Alex. Dia bahkan tidak akan keberatan jika aku hanya mengenakan piyama compang-camping." Kataku sambil tertawa lalu meninggalkan Mum dan menuju kamarku di lantai dua.

Samar-samar aku mendengar suara Mum yang mengomel sendiri di belakangku.

avataravatar
Next chapter