3 Bab 3

Ketika hari menjelang malam, Rei terbangun dari tidurnya. Matanya mengerjap beberapa kali hingga terbiasa dengan cahaya lampu kamar inapnya. Dia menatap ke sekiling dan menemukan Ryu tengah berbincang dengan seseorang. Rei dapat menangkap ekspresi pria itu terlihat datar dan berbanding terbalik dengan wajah berseri yang dimiliki Ryu. Mereka terlihat berdiri tidak jauh dari ranjang dimana Rei tengah berbaring. Rei mengambil nafas pendek dan setelahnya dia berusaha untuk bangun.

"Asakura-san!" Ryu berteriak khawatir ketika matanya tidak sengaja menangkap gerakan dari Rei. Dia buru-buru berjalan dengan cepat dan menghampiri Rei yang masih terkejut akan teriakan itu.

"Sekali lagi saya mohon, tolong jangan membuat saya khawatir." Ryu mengomel sembari membantu Rei untuk duduk. Melihat Rei pingsan tiga hari yang lalu saja cukup membuatnya terkejut. Lalu dia harus melihat Rei kesakitan seakan pemuda itu tengah mendapatkan luka yang cukup parah,  sementara dokter mengatakan jika tidak ada hal yang serius pada kesehatan pemuda itu.

Ryu menata tumpukan bantal agar Rei merasa nyaman ketika bersandar, "saya hanya meninggalkan anda sebentar, tapi anda membuat saya hampir mati jantungan ketika melihat kondisi anda."

Meski dokter tidak mengatakan bahwa Rei pingsan karena stres, namun tidak dapat dipungkiri jika Ryu tidak merasa bersalah. Kenyataannya, Rei menghabiskan waktunya selama beberapa hari di rumah sakit tidak lama setelah pria itu berdebat soal drama yang ditawarkan untuknya.

Ryu masih dengan wajah khawatirnya mengeluarkan segala apa yang menjadi ketakutannya. Dia tidak bisa membayangkan jika pemuda itu akan mengalami hal yang fatal hanya karena dua rekan kerjanya mendesaknya untuk menerima pekerjaan baru. Ryu baru saja mendapatkan kenaikan gaji, bagaimana bisa dia akan berakhir menjadi pengangguran lagi jika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan pada kesehatan Rei? Lebih buruknya dia tidak dapat membayangkan jika seseorang menuntutnya untuk semua hal yang menimpa Rei. Lalu sifat buruk Ryu kembali mengapung dan membuatnya memikirkan hal terlalu berlebihan.

"Aku melihatmu tidak sendirian. Lalu dimana orang itu?"

Tanpa sadar Ryu menautkan kedua alisnya ketika mendengar Rei menanyakan orang lain. Itu cukup aneh mengingat Rei bahkan tidak pernah peduli terhadap sekeliling, kecuali dia tengah bekerja. Dalam beberapa tahun ini, yang Ryu tahu adalah pemuda itu lebih peduli terhadap rasa ingin tidurnya daripada semua hal di sekitarnya. Meski Ryu dan Asahi adalah pengecualian.

"Oh, Tuan Silva datang lagi," jawab Ryu setelah menangkap maksud dari perkataan Rei, "ini adalah Kunjungan ketiga Beliau."

Pertama tentu saja ketika petugas kesehatan di AR Entertainment tidak dapat mengatasi apa yang terjadi terhadap Rei ketika pingsan. Jadi, setelah orang-orang membawa Rei ke rumah sakit dan dokter memutuskan bahwa pemuda itu harus menginap, Silva datang mengunjunginya di akhir kunjungan. Namun hari itu, Rei masih belum sadarkan diri. Lalu yang kedua tidak lama setelah Rei bangun. Namun mereka belum sempat bertemu. Rei lebih dulu ambruk kembali setelah merasakan dadanya seakan ditikam benda tajam berkali-kali  tanpa ampun.

Dan kemudian Silva datang kembali setelah mendengar keadaan Rei membaik. Namun pria itu merasa kurang enak hati untuk melihat Rei lebih dekat ketika pemuda itu belum bangun. Silva tidak berharap bahwa kunjungannya akan mengganggu istirahat Rei. Jadi Silva hanya melihat dari kejauhan sembari berbincang dengan Ryu. Dia hanya berkunjung sebentar.

Mendengar itu, wajah Rei seakan berkerut, "kenapa dia mengunjungiku?" tanya Rei. Agak aneh jika pria itu seakan peduli terhadap dirinya. Mereka bahkan belum sempat mengobrol di pertemuan pertama keduanya. Hanya saling perkenalan nama, tidak lebih.

"Tuan Silva hanya merasa tidak enak ketika Anda tiba-tiba pingsan setelah melihat dia."

Mendengar hal tersebut, agaknya Rei merasa bersalah. Dia tidak bermaksud berlaku kurang sopan terhadap pria itu. Hanya saja, hari itu kondisinya memang agak kurang sehat. Dalam beberapa bulan tidurnya kurang nyenyak, sementara jadwal aktifitasnya tidak juga berkurang.

"Katakan kepada Asahi-san jika aku akan menerima drama itu."

Mendengar hal itu, seharusnya Ryu sedikit senang. Namun, alih² bersorak, Wajah Ryu terlihat agak murung.

"Apakah Anda yakin? Anda bahkan terlihat kurang nyaman ketika berbicara tentang Benefcia Tua."

Sekarang Rei tidak akan peduli lagi tentang nasib insomnianya. Dia ingin tahu bagaimana gambaran tentang Benefcia Tua dari Silva. Terlepas dari apakah cerita itu benar-benar seperti yang pernah terjadi di masa lampau, atau hanya sekedar karangan dari Silva.

Selain itu, Rei juga berharap akan tahu tentang ingatan siapa yang selalu datang mengunjungi dirinya tanpa diundang itu. Ingatan yang memberi dirinya rasa sakit yang nyata, seakan dialah yang ada disana.

"Setelah keadaan Anda membaik, saya akan bertemu dengan Asahi-sama dan membicarakan hal itu."

Lalu Rei tersenyum mendengar itu dan berterima kasih atas bantuan Ryu. Dia meminta Ryu untuk tidak meninggalkan dirinya setelah ini, bahkan jika pada akhirnya dia akan tertidur kembali karena pengaruh dari obat.

.

.

"Dia tidak mengingatmu? Oh, betapa jahatnya itu," pria itu berbicara dengan nada mencemooh, seakan apa yang terjadi pada Silva adalah sesuatu yang patut untuk ditertawakan.

Namun silva tidak peduli. Dia berjalan semakin jauh memasuki lorong rumah utama keluarga Bougenville dan membiarkan Zazel terus saja mengekor seperti anjing. Dimana tempatnya jatuh dalam keputusasaan di masa lampau sebelum pria dengan hati murni mengulurkan tangan dan memberi dirinya tempat yang nyaman.

"Setelah 400 tahun dia membuatmu menunggu, pada akhirnya dia hanya mengganggapmu orang asing."

"Bisakah kau diam, Zazel?"

Pria bernama Zazel itu semakin tertawa dengan keras hingga rambut di bahunya seakan ikut bergoyang. Dia masih tertawa menggema di dalam lorong, seakan tidak peduli dengan sekitarnya. Karena pada kenyataanya, meskipun mereka masih berada dalam kawasan rumah keluarga Bougenville, tempat yang mereka pijaki telah berubah. Mereka tidak lagi berada di kastil besar yang menjadi rumah utama. Setelah hari dimana pemimpin pertama keluarga Bougenville menolongnya, silva telah memisahkan tempatnya dengan kastil Bougenville. Orang asing tidak akan bisa menginjakkan kakinya di tempatnya tanpa ijin.

"Bagimana bisa aku akan diam? Inilah yang kau lakukan setiap hari."

Silva telah meninggalkan lorong dan mendapati rerumputan hijau di bawah kakinya. Sepanjang dia memandang hanya ada pepohonan yang menjulang tinggi. Beberapa kupu-kupu menari di udara sebelum akhirnya mendapatkan tempat untuk beristirahat. Silva melangkahkan kakinya mendekati pohon yang lumayan tinggi dengan bunga berwarna biru keunguan.

"Meskipun dia telah memilih untuk terlahir kembali, tapi pada akhirnya apa yang bisa kau lakukan? Kau bahkan tidak bisa mendekati dirinya, bukan?"

Kali ini Silva kembali diam. Pertemuan pertamanya dengan Rei telah berantakan. Alih-alih bisa membuat Rei melihat wajah aslinya, pemuda itu pingsan tepat di depannya. Dan lebih parahnya lagi, Rei bahkan merasa kesakitan ketika jarak mereka bahkan belum melewati angka dua.

Silva menatap ke arah bunga-bunga yang nampak berkilauan. Pandangannya menyusuri pada setiap bunga yang seakan berkedip. Namun amarah tiba-tiba datang ketika dua dari ratusan bunga itu hanya diam seakan kehilangan kilaunya. Itu adalah dua jiwa yang telah melarikan diri beberapa puluh tahun yang lalu. Dan membuat Silva kembali membuka matanya.

"Bagaimana rasanya melihat orang yang paling kau benci menjalani kehidupan barunya dengan damai, sementara kau harus menderita selama ratusan tahun?"

Sakit tentu saja. Silva bahkan masih bisa merasakan bagaimana para bajingan itu menyiksanya malam itu. Selama 800 tahun, dia terus saja meratapi kebaikan hati yang telah Tuhan berikan kepadanya. Jika saja, ya jika saja Tuhan juga memberikan dia keberanian untuk membunuh, mungkin dia tidak perlu bertemu dengan Zazel hanya untuk membalas dendam. Hatinya telah lama ternoda sejak dia harus melihat senyum gadis yang akan mati di depannya. Dan membuatnya harus berkhianat.

"Jangan lupa Raph, kita masih terikat janji. Aku tidak bisa pergi tanpa jiwa-jiwa yang telah kita sepakati."

"Apakah neraka begitu indah, hingga kau mau repot-repot mengejarnya kesana?"

Alih-alih marah, Zazel malah tertawa. Apa yang bisa dilakukan olehnya selain mencari tempat untuk beristirahat? Tidak ada yang menarik di dunia manusia dan langit akan menendangnya jika dia berusaha untuk kesana.

"Lalu apakah aku harus terus bersenang-senang dengan jiwa-jiwa yang tidak sengaja lepas? Jangan konyol."

"Kau akan mendapatkan semuanya. Secepatnya. Setelah aku menangkap satu lagi yang masih bersembunyi."

Ada secercah kegembiraan di wajah pucat Silva setelah puluhan tahun dia hidup tanpa peduli dengan apapun yang ada di sekitarnya, termasuk dua orang yang harusnya dia panggil orang tua. Dia akan mendapatkan dua jiwa itu dan beristirahat dengan tenang.

avataravatar