1 Bab 1

'Kalian akan membayar semua ini. Rasa sakit, penghinaan dan setiap darah yang menetes di malam ini.' suara itu seakan menyimpan keputusasaan yang begitu menyesakkan. Mata penuh dendam seakan mengeluarkan kutukan kebencian kepada setiap orang yang mengelilingi pemiliknya.

Rei melihatnya lagi. Tubuh yang tengah bersimpuh kesakitan. Dengan darah yang tidak henti keluar dari luka di setiap jengkal tubuh itu. Salah satu sayapnya telah tercabut dari punggungnya. Sementara sebelah sayap yang masih tergantung di punggung putih itu tidak lagi bersih dengan noda darah yang semakin merah pekat. Wajah itu sungguh menderita. Sinar rembulan yang terlihat penuh seakan menyirami tempat dimana tubuh itu terdiam. Rambut hitam legamnya perlahan memutih lalu menggelap layaknya awan hitam yang menggantung di ujung langit. Rei tidak mampu berbuat apapun. Meski dia ingin sekedar menanyakan apa yang sedang terjadi.

'Raia ...'

Rei membuka mata seketika. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Dia merasa pusing sekarang. Tidurnya tidak pernah lagi nyenyak sejak sebulan yang lalu. Dia selalu memimpikan pemuda malang itu. Malam purnama dengan penyiksaan yang berakhir kebencian dan kutukan. Rei mengumpat. Dia membangunkan tubuhnya dan duduk di tepi ranjangnya. Nafasnya masih terengah-engah.

Rei meraih gelas di meja nakas yang ada di dekatnya dan meneguk air itu sampai tidak tersisa. Dia tidak tahu harus bagaimana menghadapi mimpi yang hampir sama itu. Dia bahkan tidak mengenal sosok dalam mimpinya. Bahkan jika dilihat dari sekeliling tempat itu, rasanya dia belum pernah mengunjungi tempat itu. Dia telah menjalani seluruh hidupnya di kota ini, tapi dia tidak pernah melihat hutan seperti itu. Kecuali ...

Rei tertawa hambar seakan tidak terima pikirannya berkeliaran seperti itu. Siapa yang akan percaya tentang cerita pangeran Benefcia. Itu hanyalah cerita yang bahkan tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Rei beranjak dari ranjangnya dan mulai berjalan ke arah kamar mandi. Dia mulai berpikir bahwa dia terlalu lelah dengan aktifitasnya.

.

.

.

"Asakura-san?" Ryu menatap Rei dengan khawatir. Wajah putih Rei terlihat agak kurang sehat. Kantung hitam di bawah matanya kian menumpuk, "apakah Anda belum bisa tidur dengan nyenyak?"

Alih-alih menjawab pertanyaan dari manajernya, Rei hanya mengangguk pelan. Dia masih menutup mata sejak naik ke mobil beberapa waktu yang lalu. Ryu merasa bersalah karenanya. Dia berpikir bahwa pemuda itu terlalu keras dalam bekerja. Jika bisa Ryu ingin agar Rei mengurangi pekerjaan yang ditawarkan untuknya. Tapi Ryu bisa apa? Pemuda itu tidak bisa berkata tidak dengan keputusan Asahi, pemimpin AR Entertainment. Rei adalah salah satu aset berharga dalam menghasilkan pundi-pundi kontrak. Dalam sehari bahkan mereka bisa berganti tempat tiga sampai empat kali. Wawancara, syuting, fans meeting dan pemotretan.

"Ryu-kun." Rei masih enggan membuka mata. Dia akan merasa kepalanya seperti dibebani sebuah batu jika dia mencoba untuk sedikit saja meninggalkan apa yang ada di depannya, "apa kau percaya tentang Benefcia Tua?"

"Hah." Daripada menjawab, Ryu lebih terkejut kenapa pemuda itu tiba-tiba menanyakan cerita lama tentang kota ini. Itu hanya legenda yang tidak pasti kebenarannya. Jika itu benar, maka hutan itu akan ditemukan oleh para sejarawan. Jika cerita itu benar, maka pulau Pentagon tidak akan ditinggali sampai kapanpun. Tapi kenyataanya tempat itu bahkan tidak pernah ada yang melihatnya. "Bagaimana saya bisa percaya dengan sesuatu yang tidak jelas?" Ryu mengatakan hal itu dengan ragu. Sejujurnya dia juga agak penasaran dengan kebenaran dari Benefcia Tua yang dikatakan memiliki sejarah berdarah ratusan tahun yang lalu.

"Ah!" Ryu melonjak agak senang ketika teringat sesuatu. Dia melihat tablet di tangannya dan memeriksa jadwal Rei hari ini. Seolah dewa keberuntungan begitu mencintai Rei, Ryu menoleh dan memperhatikan wajah yang masih menutup matanya itu, "ada berita bagus, Asakura-san." Ryu hampir berteriak dengan perasaan yang menggebu-gebu. Namun hal itu seolah tidak mempengaruhi posisi Rei. Dia masih menyamankan tubuhnya di samping Ryu tanpa membuka kedua matanya.

"Apakah gadis itu menerima cintamu?" Rei menjawab tanpa rasa bersalah. Pemuda di sampingnya selalu kegirangan setiap kali bercerita tentang gadis yang bekerja di perusahaan tempat mereka bernaung.

"Jika suasana hati Anda sedang tidak baik, bisakah Anda tidak membaginya dengan saya?" Ryu terlihat agak kesal, seolah satu kalimat yang diterimanya bagai bom yang telah menghancurkan perasaannya yang menggebu beberapa saat yang lalu. Dia mendapatkan berita bagus yang mungkin saja bisa memberikan jawaban tentang misteri Benefcia Tua.

"Lalu berita bagus apa yang bisa membuatmu begitu senang melebihi ketika dia mengajakmu mengobrol." itu bukan pertanyaan. Sejujurnya Rei sedikit agak kurang bersemangat hari ini. Dia ingin tidur dengan nyenyak sekarang juga.

"Hari ini Asahi-sama ingin Anda bertemu dengan salah satu penulis cerita untuk drama baru anda."

Dahi Rei berkerut seolah dia tengah memikirkan sesuatu. Dia mulai meruntuki keputusan pria bernama Asahi itu yang telah menerima projek baru tanpa meminta persetujuan darinya. Ini masih terlalu pagi untuk menghancurkan suasana hati seseorang. Rasanya ia ingin marah. Tapi bukankah dia juga telah membuat suasana hati Ryu sedikit menurun? Mungkin itu suatu karma.

"Kudengar drama itu mengambil cerita tentang Benefcia Tua."

Untuk sesaat Rei mulai tertarik. Dia benar-benar membutuhkan gambaran tentang  sejarah itu. Namun minatnya meredup dengan drastis. Dia tidak mungkin begitu saja percaya dengan kisah yang ditulis dari novel. Dan lagi, bagaimana bisa naskah itu akan sama persis dengan cerita yang sebenarnya? Bagaimana pun rumor mengatakan bahkan tidak ada yang selamat dari generasi terakhir beberapa ratus tahun yang lalu.

"Asakura-san?!"

Rei menghela nafas ketika merasakan kendaraan yang membawanya tidak lagi bergerak. Dia membuka matanya dan mencoba membiasakan diri dengan bias sinar matahari yang memasuki jendela mobilnya. Dia mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya menoleh dan melihat wajah khawatir Ryu.

"Apa anda baik-baik saja?"

"Apakah aku pernah baik-baik saja sebelum dan sesudah bertemu dengan pria itu?"

Kedua sudut bibir Ryu seketika itu melengkung ke bawah. Pria di sampingnya seakan tidak pernah membuat ucapannya benar. Dia tahu bahwa Asahi selalu membuat suasana hati Rei menjadi tidak menyenangkan.

.

.

.

"Rei-kun, akhirnya kau datang juga." Asahi menyambut Rei di balik meja kerjanya ketika Rei masuk ke ruangannya. Pria tua itu memasang senyum bahagia di wajahnya seolah dia tidak merasa bersalah telah memberikan pekerjaan yang banyak kepada Rei.

"Bagaimana bisa kau melakukan semua itu tanpa meminta persetujuan dariku?" wajah Rei yang beberapa saat lalu nampak letih kini telah memerah karena mencoba menahan amarahnya. Dia benar-benar tidak habis pikir bagaimana bisa pria di depannya memenuhi semua harinya dengan bekerja. Dia tidak mempunyai hutang kepada perusahaan, lalu mengapa dia harus bekerja begitu keras? Kepala Rei kembali berdenyut sakit.

"Tenanglah Rei-kun." Asahi tertawa dengan paksa. Jika bukan karena pria yang menulis naskah itu yang meminta Rei memerankan karakter utama, mungkin Asahi akan mencari artis lainnya yang mempunyai jadwal tidak terlalu padat. "Tuan Silva yang meminta agar kau yang memerankan tokoh utamanya."

Perlahan namun pasti amarah di wajah Rei perlahan pudar. Dia mengerutkan dahinya dengan heran. Dia tahu aktingnya tidak terlalu buruk, tetapi untuk memerankan tokoh utama? Dia tidaklah sebagus aktor yang lain.

"Aku akan menolaknya." Rei bersikeras bahwa dia tidak menginginkan peran itu, meskipun dia belum tahu akan menjadi apa dan siapa.

"Bicaralah dulu dengan Tuan Silva lalu baca naskah, kemudian kau baru bisa menolaknya."

Rei tetap menolak saran dari bosnya itu. Dia ingin tidur menikmati hari liburnya. Bahkan setelah pertemuan ini dia akan menemui dokter untuk membicarakan insomnianya yang semakin parah.

"Asahi-sama, Tuan Silva sudah datang." sekretaris Asahi datang seakan mencoba mengakhiri perseteruan di antara bos dan karyawan itu.

"Persilahkan dia masuk."

Rei merasakan dadanya mulai sesak ketika mendengar suara sepatu yang menyentuh lantai. Dia memegang dadanya yang semakin terasa sakit. Tidak ada masalah dengan jantungnya, namun entah kenapa rasa sakit itu datang.

"Tuan Silva, silahkan masuk."

Rei berputar dan mengalihkan pandangannya ke arah pintu besar di belakangnya. Wajah putih pucat nampak menatapnya dengan tajam. Rei mencoba bernafas dan memejamkan matanya untuk sesaat. Dan ketika dia membuka mata, wajah pucat yang sesaat lalu mempunyai rambut pendek berwarna abu-abu gelap kini telah berganti.

"Raia, akhirnya kau bangun." Rambut hitam panjangnya seolah berkibar ketika angin kecil membelainya. Rei mengerjap melihat wajah pucat itu tepat berada tiga puluh Sentimeter di atasnya.

Ini pasti mimpi. Rei mencoba meyakinkan dirinya ketika melihat cahaya kekuningan sebesar kunang-kunang tengah bertebaran di udara.

avataravatar
Next chapter