webnovel

2

Itulah Fasha, selalu didekati oleh banyak pria. Termasuk aku yang juga mendekatinya dengan kedok sebagai seorang teman dekat.

Munafik sekali, bukan? Tapi, itulah yang terjadi. Ia memilihku menjadi teman hingga jalan itu yang membuatku terperangkap dalam belenggu rasa.

Vespa 50 milikku terbatuk saat aku hidupkan mesinnya. Ia terlalu tua untuk berhasil di upaya penghidupan pertama. Butuh beberapa kali percobaan hingga ia menyeringai seperti motor veteran. Bannya tidak pernah kuganti semenjak Dika membeli rongsokan ini dari seorang pria renta yang tengah membutuhkan uang. Wanginya masih tercium bau cat dua hari yang lalu. Warna merah mencolok ini terlalu menarik perhatian orang lain. Itu tidak termasuk dengan stiker-stiker komunitas motor yang tertempel di bagian samping. Namun, inilah saran dari kakakku sebagai pemilik pertama motor ini. Aku hanya mengikutinya saja.

Dentingan suara peralatan bengkel terdengar tatkala aku menginjakkan kaki. Wangi mesin tua tercium dari motor-motor modifikasi yang sedang dipreteli. Sangat ribut dan penuh asap rokok. Tampak seorang pria yang kumuh pakainnya oleh oli kendaraan yang menempel. Tangannya tergenggam sebuah tang besar sembari menunjuk-nunjuk sesuatu. Peluhnya jatuh tatkala mengintruksikan sesuatu kepada orang-orang di sekitarnya. Cukup ramai, tidak seperti tiga tahun yang lalu usaha ini mulai dibuka. Kini bengkel kakaku sudah terkenal di daerahnya. Orang-orang kini mempercayakan kendaraan mereka kepada orang yang tepat.

"David, ke sini dulu," panggil kakaku. Namanya Dika. Aku terbiasa memanggilnya dengan sebutan nama saja. Sudah terbiasa dan itulah yang membuat kami sangat akrab.

Teman-temannya selalu memanggilnya dengan sebutan Dika Oli. Selain kulitnya memang hitam legam seperti oli, gelarnya itu juga didapat karena sedari dulu ia sudah senang bermain dengan oli-oli motor.

"Lo lupa, ya?" tanya Dika.

"Emangnya gue lupa apa?" Bahuku naik pertanda tidak tahu.

Aku berpikir sejenak. Segala tugas pagi yang diberikan olehnya selalu aku selesaikan dengan baik. Seluruh bagian rumah sudah bersih, terutama ruang tamu yang berserakan minuman kaleng kosong. Bengkelnya pun tidak luput dari tanganku yang gatal jika kudapati tidak bersih. Tidak pernah bengkelnya aku tinggalkan dengan keadaan kotor.

"Coba pikir lagi." Ia jongkok melihat mesin motor yang sedang ia tangani.

Ada sesuatu yang aku lupakan hari ini. Rasa menjanggal itu akhirnya mencuat dalam pikiranku. "Oh iya. Maaf, gue lupa─"

"Hari ini meninggalnya Rio. Pasti lo belum ziarah ke sana," ucapnya dengan tegas. Matanya menatap lurus padaku.

Benar, hari ini merupakan hari meninggalnya saudara kandungku. Ia lebih tua sedikit daripada Dika. Namun, umurnya tak akan pernah lebih panjang daripada Dika.

Tuhan menjemputnya dua tahun yang lalu. Tepat ditahun yang sama ketika ibuku─orang tua satu-satunya yang kupunya─turut dipanggil sang pencipta.

Aku segera menuju kamar Rio. Ada sesuatu yang harus kuambil. Seperti ritual penting ketika diriku berziarah ke kuburannya. Barang itu tersimpan di sebuah lemari yang berisikan buku-buku bacaannya. Buku itu terletak di antara buku-buku politik peninggalan masa-masa kuliahnya. Aku membuka salah satu buku yang di dalamnya sudah dibolongkan dan mengambil sesuatu yang ia sembunyikan di dalam. Bukan aku yang menginginkan ini, melainkan dia. Aku hanya menjalankan wasiat yang ia katakan sebelum menghadap pencipta.

Kuburannya terlihat bersih. Mungkin saja, Dika sudah membersihkannya sebelum aku datang. Beberapa bunga baru juga tumbuh di atas tanah kubur yang ditaburi krikil-krikil putih. Tempat peristirahatan terakhirnya tampak bekas siraman air yang memanjang. Itu pertanda Dika sudah berkunjung lebih dulu dari pada aku. Beberapa puntung tembakau masih tersisa di sekitarnya. Aku tahu itu. Itu adalah tembakau murahan yang menjadi tembakau faforit Dika jika sedang tidak punya uang.

Tanganku mengusap namanya yang teukir di batu nisan, aku merindukannya. Banyak hal berharga yang ia ajarkan padaku sebelum kesesatan mempengaruhi dirinya.

Kepalaku melihat ke sekeliling. Setelah memastikan tidak ada siapa-siapa, aku mengambil kertas putih persegi panjang yang kecil dan menaburi benda yang seperti tembakau itu di atasnya. Daun-daun kering ini menimbulkan bau yang menyengat. Sudah kuhapal wangi ini semenjak aku kecil. Aku tidak handal dalam melinting ini, tidak seperti Rio yang sering kulihat sangat handal saat ia beraksi di kamarnya sendirian.

"Ini yang lo minta, kan?" tanyaku kepada batu nisan yang bisu.

Aku membakar selinting ganja tanpa menghisapnya. Haram jika aku menghisapnya. Selinting ganja itu aku letakkan di atas nisannya seakan Rio tengah menghisapnya dengan nikmat. Asapnya bahkan lebih menyengat lagi ketika mengawang ke udara. Sedikit demi sedikit, lintingan itu menjadi abu. Bekas bakaran yang tercipta, jatuh dengan lembut ke bawah nisan.

Jika lo rindu, bakar ganja di atas batu nisan gua. Jangan lo isep, ingat itu, ucap Rio di seminggu sebelum kematianya.

Badannya sudah sangat kurus, tinggal kulit pembalut tulang. Seperti zombie yang bertahun-tahun dijangkit virus. Habis-sehabis habisnya. Aku tak tega melihatnya saat itu. Tetesan air mata yang aku tumpahkan seakan masih hangat terasa hingga saat ini.

Aku merindukannya, sama seperti Ibu dan Ayah yang sudah meninggalkan aku dan Dika. Ia pernah kujadikan sandaran tempat diriku mengadu dari permasalahan masa kecil. Ia yang selalu membelaku ketika berkelahi dengan teman sebaya. Ia yang selalu datang ketika Ibu tidak mau datang ke pembagian rapor karena nilaiku yang hancur. Ia yang rela berhujan-hujan demi menjemputku ke sekolah, meskipun ada Dika yang lebih memiliki waktu yang luang darinya.

Kini, air mataku tumpah. Sama seperti di saat itu. Ketika terdengar Rio sudah menyerah dengan HIV yang menjadi sahabatnya bertahun-tahun.

***

Next chapter