1 1

Jakarta, 24 Agustus 2016

Segenggam ingatan yang aku simpan berkelabu menjadi pemendaman yang tak pernah aku lupakan. Berawal dari tatap matanya yang lurus, turun menyentuh hatiku. Bergetarlah jiwa yang lemah akan rabaan cinta. Senyumnya yang manis bagai berbuka dengan kurma, terlalu sederhana dalam kesederhanaannya, berlapis lentikan bibirnya yang melebar padaku. Seketika ia bagai menanam benih-benih dalam benakku yang perlahan merekah menjadi sebuah rasa.

Namaku David Reymond. Si penyendiri yang bergerak dalam bayang-bayang. Tidak terlalu suka timbul di permukaan dan lebih memilih untuk berjalan di bawah langkah orang-orang dominan. Penggila sunyi senyap yang akan membuatk jatuh ke pangkuan keheningan yang syahdu. Entah mengapa aku menyukai kesendirianku. Duduk sambil memikirkan makna hidup. Belajar menjadi Hiprocratos, Socratos, Plato, dan kawan-kawannya yang lain. Berusaha untuk sebijak mungkin dalam pemikiran-pemikiran sok filososfis lagi puitis yang kadang membuatku malu sendiri.

Satu hal yang aku pikirkan, jika setiap hal yang ada di dunia ini akan berakhir, apakah cinta yang kurasakan ini akan ikut musnah? Hancur menjadi keping-keping kenangan yang akan kembali ditarik kembali ke permukaan ketika patah hati melanda diriku.

Atau jangan-jangan titik itu belumlah tercapai, cinta masih bertengger untuk mencengkram hatiku yang sepi. Aku tidak ingin cinta itu hancur. Aku ingin ia tetap bertahan lama hingga pada waktu yang sudah ditentukan.

Masih segar dalam ingatanku di saat tubuh ini masih terbungkus seragam putih abu-abu. Masa-masa di mana masih ada gelak tawa mengenai kegilaan dunia. Permulaan bagi orang-orang yang tidak berpengalaman dalam cinta. Aku mencoba untuk melangkah dalam lingkaran itu, hingga pada akhirnya aku terbakar asmara oleh seorang wanita.

Ia adalah Fasha, wanita tercantik pada zamannya. Aku tak ingin memungkiri ini, alunan ombak yang berderai di jatuhnya cahaya senja pun tak bisa untuk menggambarkan betapa cantiknya wanita itu. Matanya begitu dahsyat, impuls listrik tegangan tinggi yang seakan membuatku mati tegang seketika. Alunan suaranya dapat memanggilku untuk mendekat, walapun melupakan hal-hal di sekitarku. Ia pengubah hati sendu menjadi rindu. Memaksakan hati untuk menanggungnya begitu lama.

Ah ... betapa bodohnya aku. Terlalu cepat untuk gila di masa muda. Lebih tepatnya, gila karena cinta.

Aku merupakan orang paling bodoh sedunia. Pria paling cupu di antara pria cupu lainnya. Hatiku terlalu lemah untuk seorang wanita seperti Fasha. Ungkapan ialah satu hal yang sangat sulit untuk aku lakukan. Setiap kata-kata yang ingin keluar, seakan tertahan di ujung bibir. Tak hanya itu, faktor-faktor pendorong untuknya agar bisa menyukaiku, aku pun tak mempunyai. Aku tak tampan dan aku tak kaya. Hanya saja, aku lebih mengenalnya lebih dari siapa pun.

Tidak ada satu orang pun wanita selain ibuku, yang dekat denganku, melainkan dia. Aku tahu apa makanan kesukaannya, aku tahu bonekanya apa, aku tahu nama peliharanya siapa, aku tahu kartun pagi yang ia sukai dahulu, bahkan aku tahu siapa yang ia sukai.

Itu yang kubenci, mengetahui orang yang disukai oleh orang yang kucintai. Tentu saja bukan aku. Jangan terlalu berharap padaku, wahai kawan.

Satu hari aku pernah membuatkannya surat yang mengatakan isi perasaanku padanya. Menyatakannya langsung padanya merupakan hal yang mustahil untuk aku lakukan. Menembaknya dengan SMS, bukanlah keahlianku. Aku tak pandai bergombal ria di balik ketikan layar handphone yang kupunya.

Tapi, aku bisa merangkai kata dibalik kertas putih yang tergoreskan dari ujung pena yang basah. Aku lihai memilah kata yang dapat menggoyangkan hati setiap pembacanya. Benar, tidak salah orang dahulu sanggup mendekati anak bangsawan kolonial, hanya dengan sepucuk surat yang ia tinggalkan. Kata-kata itu sakti, wahai kawan. Kau harus percaya.

Ingin aku tertawa untuk kedua kali

kepadanya semenjak bertahun-tahun yang lalu. Kau tak akan percaya dengan apa yang kukatakan kali ini. Apabila kau percaya, mohon jangan buat kita tertawa bersama. Biarkan diriku yang tertawa kali ini.

Aku lupa memberikan nama di pengujung surat yang kutulis dengan sepenuh hati. Sebuah surat mengenai hatiku yang lelah untuk bertepuk sebelah tangan, pada akhirnya hanya menjadi surat kosong. Lelah diriku menulis itu sepanjang malam. Tidak tidur mata ini demi memikirkanya.

"David, aku baru aja terima surat cinta dari seseorang. Tapi, enggak ada namanya," ucapnya saat itu sambil tertawa. Parahnya lagi, aku ikutan tertawa. Tertawa malu betapa bodohnya diriku. Setelah itu aku menangis dalam kesendirianku.

Tawanya saat itu masih erat kusimpan dalam lembaran momen yang kulalui dengannya. Aku tak ingin melewatkan setiap momen pun. Saking melekatnya, aku masih teringat betapa sama senyumnya dahulu dengan yang sekarang. Garis-garis bibir yang melebar dalam kuluman senyum, berbias dengan cahaya senja yang datang. Aku tahu persis apa yang akan terjadi setelahnya. Ia terpicing menyembunyikan matanya yang bening bagai lautan tak bertepi. Beriak memantulkan bayang-bayang wajahku.

Tak sampai itu, aku tahu persis apa yang akan terjadi lagi berikutnya. Salah satu dari sepuluh Fasha's best moment yang telah kucatat di catatan harianku, yaitu ketika matanya yang bulat akan membentuk sebuah garis lurus tepat kepadaku. Aku tertegu, aku hilang, aku merasa hampa ketika cinta merekah hebat dalam batinku. Terombang-ambing dibawa akalku yang menari dan melenggang keluar dari garis edarnya.

"Tadi siang, aku nemuin sebuah surat lagi di depan mobilku." Fasha berusaha memulai pembicaraan setelah dirinya menarik kursi ke arah mejaku.

"Oh, ya? Dari siapa lagi?" tanyaku.

Sebenarnya aku tidak menyukai itu. Ia kembali bercerita mengenai orang-orang yang mengincarnya. Namun, tidak ada yang bisa kulakukan selain meladeni pembicaraannya kali ini.

"Eggak ada namanya. Persis banget sama yang aku dapatkan sewaku SMA." Ia mengambil sesuatu dari tasnya dan memainkannya di antara jemarinya. Itu adalah sebuah surat.

Aku terbatuk seketika. Surat yang ia maksud ialah surat bodoh beberapa tahun yang lalu.

"Banyak banget yang suka sama kamu, Fash," ucapku untuk menyembunyikan salah tingkahku.

"Ah, bisa aja kamu. Semua orang itu berhak memilih suka sama siapa pun. Jika ada yang melarang, dia melanggar HAM. Bisa masuk penjara," balas Fasha sambil tertawa.

"Sekarang kamu bisa masuk penjara sekarang."

"Kenapa? Tanya Fasha."

"Ah, enggak ada."

Ia munafik. Aku tahu itu hanyalah omong kosong yang keluar mulut manisnya. Aku tidak yakin ia bisa menerima fakta bahwa salah satu teman dekatnya kini tengah jatuh cinta padanya. Ia menyeretku ke permainan yang tidak kunjung berakhir. Cerita yang tidak mengenal ujung, aku tersesat di dalamnya. Aku menunggu rasa ini hilang, namun ia tak pernah pergi.

"Jangan lupa besok aku tampil di festival seni bulan ini. Jangan lupa nonton. Kalau enggak, aku buat skutermu enggak jalan lagi."

"Oke, aku bakal datang." Aku mengangguk.

***

avataravatar
Next chapter