2 Dilema

Usai kejadian siang tadi di sekolah Suci benar2 tak bisa tidur. Dadanya berdetak lebih kencang dan dia tak bisa berhenti tersenyum. Bayangan Bima dengan rambut gondrongnya yang menjuntai menghalangi sebagian wajah, senyum seringainya, cara dia menulis dan segalanya terus berputar di pikiran Suci seperti kaset rusak.

Bima memang sebegitu mempesona bagi Suci. Parahnya semakin lama, rasa itu semakin besar dan berujung rindu. Ya, Suci kini menatap rembulan yang bersinar terang dari jendela kamarnya sembari berandai-andai.

Akankah takdir berubah untuknya?

Tiba-tiba sebuah mobil terparkir di depan halaman rumah. Suci meneliti jenis kendaraan beroda empat itu. Sebuah sedan hitam pabrikan negri Jerman, permukaannya nampak mengkilap tertempa sinar cahaya lampu.

Tak berapa lama sepasang suami istri keluar dari pintu belakang disusul pemuda dari pintu penumpang depan. Suci tidak begitu dapat dengan jelas melihat siapa mereka. Mungkin teman atau sudara orang tuanya berkunjung lagi. Memang belakangan rumah Suci kerap kedatangan tamu.

Tok! Tok!

"Suci, bisa keluar sebentar menyambut tamu ayah?" Gadis itu memutar bola matanya jengah. Suara ibunya yang dibuat memelas selalu berhasil membuat Suci tak kuasa menolak.

Akhirnya dengan langkah gontai, Suci berjalan membuka pintu kamarnya.

"Siapa lagi sekarang, mah?" Suci mengekori ibunya menuruni tangga.

"Teman ayah, dia ingin berkunjung." Jawab ibunya singkat. Perempuan paruh baya itu mulai sibuk mempersiapkan hidangan di dapur.

Suci sampai di ruang tamu. Satu hal yang dilakukannya pertama kali adalah mengatur napas. Ya, dia terkejut dengan sangat.

Di sana ada sang ayah bersama temannya, istri teman ayah dan seorang pemuda yang tadi dilihat Suci dari atas. Dia adalah Bima. Yes, he is really Bima Zyondru. Suci sempat mematung sebentar.

"Nak, kemarilah!" Perintah sang ayah. Mau tak mau Suci melangkah mendekat. "Ini putriku satu-satunya, Suci."

Gadis itu tersenyum malu-malu setelah dua orang tua di depannya menatap tubuhnya dari atas sampai ke bawah. Suci tipe perempuan yang tidak begitu tinggi, kaus berlengan tanggung dengan warna ungu yang dikenakannya terlihat begitu sempurna dipadu dengan rok santai berwarna pink yang menutupi kaki sampai ke atas mata kaki.

"Wah, anakmu cantik sekali." Puji perempuan di depan Suci seraya tersenyum.

"Terima kasih." Suci menyelipkan rambut ke belakang telinganya dengan canggumg.

"Dia bersekolah di SMA I." Tambah ayah Suci. Ekspresi wajah Bima berubah tak nyaman.

"Wah, benarkah? Bima juga bersekolah di sana. Apa kalian pernah bertemu di sekolah?" Dan benar saja. Kini pemuda itu menatap tajam Suci.

"Tidak," jawabnya dingin. Bima mencoba tersenyum untuk mencairkan suasana. Namun, itu justru membuatnya terlihat mengerikan.

"Hmm, aku pernah melihatnya tapi mungkin Bima tidak begitu mengingatku." Jawab Suci hati-hati.

"Tapi, aku pikir Suci cukup terkenal di sekolah." Komentar sang ayah membuat perbincangan memanjang. Suci menggigit bibir takut. Dia melirik Bima yang nampak benar-benar terlihat memanas.

"Tentu saja, Bima memang sedikit berbeda dengan siswa lainnya. Dia terkadang tidak begitu tertarik pada hal yang orang lain sukai. Jadi, mohon dimaklumi saja." Jelas ayah Bima sembari sedikit memasang ekspresi tak enak hati.

"Tidak, dia cukup aktif di sekolah kok paman. Tulisan tangannya juga sangat bagus." Suci berusaha menenangkannya. Namun, tanpa sadar semuanya menjadi lebih buruk.

"Bagaimana kau tahu?" Celetuk sang ayah. Suci terkejut dengan pertanyaan mendadak itu. Dia tak mungkin mengatakan bahwa mereka sekelas, Bima pasti tidak mau para orang tua mengetahuinya dan menanyakan berbagai pertanyaan lebih lanjut. Selain itu juga akan menentang pernyataan Bima yang tak pernah melihatnya.

"Ah, sepertinya aku butuh mengenal Suci. Mari kita bicara di teras?" Bima menarik tangan Suci tanpa mendengar jawaban dari gadis itu dan membawanya ke luar rumah.

***

Sudah hampir dua puluh menit keheningan tercipta. Bima hanya terdiam setelah mengajak Suci ke teras rumahnya. Hanya gelap yang ada di sana, temaram lampu taman sedikit menyinari tanaman hias ibu Suci yang tumbuh subur di atas deretan pot.

Bulan penuh berwana kuning terang bersinar di atas kepala dua orang yang duduk diam di bangku taman berbahan kayu. Semilir angin malam menerbangkan sebagian rambut Suci, beberapa kali gadis itu harus mengatur surai hitam panjang yang menutupi wajahnya.

"Apa yang ingin kau bicarakan?" Tanya Suci berusaha akrab. Bima mengangkat wajahnya menatap Suci.

"Tidak," jawabnya singkat. Sementara Suci mengangguk maklum.

Bima nampak sangat berbeda dari laki-laki kebanyakan. Hal yang paling menonjol tentunya adalah bagaimana bisa dia tahan diam selama beberapa waktu? Orang mungkin akan mengantuk, bosan, atau bermain ponsel. Namun, Bima hanya diam dengan tatapan datar. Itu juga sedikit menakuti Suci.

Hening cukup lama, menyela pertemuan mereka malam itu. Suci menggigit bibirnya gugup. Otaknya berputar keras mencari topik yang menarik.

"Diamlah dan tinggal di sini. Kau tahu kenapa aku membawamu ke sini?" Ujaran Bima membuat semangat Suci kembali terangkat.

"Tidak, karena kau belum mengatakannya sejak tadi. Kau ingin berbicara sesuatu denganku?" Suci berusaha lebih santai agar membuat Bima nyaman.

"Jika kita masuk, mereka akan kembali bertanya hal omong kosong dan aku benci. Aku cukup tahu kau orang yang bisa diajak bekerja sama. Jadi diamlah di sini." Jelas Bima. Hati Suci kembali terluka.

"Ta-tapi a-aku kedinginan." Cicitnya memelas.

Bima melepaskan jaket denim yang ia kenakan. Nampak kaus hitam pendek mencetak tubuh sehat pemuda itu. Ia kemudian menyodorkannya ke hadapan Suci.

"Pakai!"

Jaket bellel berwarna biru itu terlihat besar di tubuh mungil Suci. Bahkan tangannya hanya kelihatan setengah. Dia terlihat begitu lucu. Setelah itu Bima langsung menarik tubuhnya untuk kembali duduk di samping.

"Bagaimana harimu?" Untuk yang kesekian kalinya Suci mencoba akrab berharap respon hangat keluar dari mulut Bima.

Pemuda itu menengok, menatap wajah Suci selama hampir 10 detik tanpa mengucapkan sepatah katapun. Dia seakan hendak berbicata tapi tidak bisa. Setelahnya, hanya hembusan napas yang keluar kemudian dia membuang muka.

"Kau benar2 tak mau berbicara padaku? Kenapa kau begitu membenciku? Apa salahku? Bukankah kita bisa berteman?" Rajuk Suci.

"Aku sudah punya teman." Mulut Suci menganga tak percaya dengan jawaban Bima.

"Tapi, kau tidak bisa menolak permintaan berteman." Protes gadis itu lagi.

"Tentu bisa, aku punya hak." Tegas Bima. Mata bulat Bima berubah tajam menusuk pandangan Suci.

"Apa ada sesuatu yang salah? Aku akan membantumu. Katakanlah!" Bujuk Suci sembari menyentuh perlahan lengan besarnya.

"Jangan sentuh aku!" Hardik Bima. Tubuhnya bahkan berdiri menjauhi Suci.

Mata Suci berkaca-kaca. "Kenapa?" Tanya gadis itu lirih.

"Mulai sekarang, jangan pernah berharap padaku. Anggap aku tidak ada setidaknya sampai kita lulus SMA. Aku tidak mau kau menyalahkanku jika suatu hari kau terluka. Jangan ganggu aku di sekolah. Bersikaplah biasa karena aku tidak akan bertahan selamanya." Bima berbicara begitu cepat. Tatapan dinginnya tak hilang.

"Kenapa?" Ulang Suci. Air mata sudah melewati pipinya sekarang. Entahlah, Bima bukanlah siapa2 tapi rasanya hati Suci begitu sakit.

"Turuti permintaanku atau aku akan membencimu seumur hidupku." Ancam Bima mengakhiri perdebatan mereka berdua. Pada akhirnya Suci memilih menurut. Dia diam menggigit bibir sembari merapalkan doa dalam hati. Semoga Bima baik-baik saja.

Bima mengatakan tak mau membuat Suci terluka. Dia tidak tahu justru yang akan ia lakukan baru saja sudah menyakiti hati Suci. Bagaimana bisa gadis itu tidak terluka jika orang yang dicintainya justru memintanya menjauh? Menganggapnya tidak asa seakan hendak pergi jauh.

Suci sangat sedih melihat mata berkilat Bima. Jika orang akan ketakutan oleh kemarahan Bima, lain dari Suci. Dia justru merasa bersalah karena tak bisa membuat cintanya bahagia. Terlihat jelas kesakitan di mata Bima. Sayangnya, laki-laki itu tak membiarkan Suci barang sedetikpun memasuki kehidupannya.

***

avataravatar