1 Berbeda

"Hai Suci!"

"Suci!"

"Eh Suci baru dateng?" Sapaan beberapa siswa laki-laki di koridor sudah menjadi sarapan pagi dara manis berambut hitam panjang. Dia yang tengah melangkah ke arah kelas hanya menanggapi balas dengan singkat seperti 'Halo', 'Hai' atau berupa seutas senyum.

Suci adalah siswa SMA kelas 11-IPS biasa yang dianugrahi sepasang mata indah, rambut hitam panjang, hidung mancung, dan bibir bersenyum manis. Kecantikan wajahnya membuat Suci populer di sekolah. Namun, sebenarnya dia tidak begitu senang bila dikenal sebagai siswi yang rupawan. Apalagi ketika orang lebih sering memuji kecantikan wajahnya. Baginya keindahan hati dan pikiran seseorang lebih penting.

Meski begitu Suci tetap saja tidak bisa menghentikan orang untuk membicarakan keelokan parasnya. Suci lebih memilih bersyukur mendapat turunan wajah dari sang ibu yang menurutnya memang cantik. Dia juga bahagia karenadapat dikenal banyak orang mendapat banyak teman. Namun, tak selamanya menjadi cantik itu membuat seseorang bahagia.

Dari pengalamannya sejak SMP , saat orang-orang memperlakukannya secara berbeda adalah posisi dimana dia kerap merasa malu dan lemah akan dirinya sendiri. Tak cukup sampai disitu, dia bahkan kerap menerima komentar jahat dari orang yang tidak suka. Saat SMP, Suci bahkan pernah tidak percaya diri akan dirinya sendiri. 

Tapi, Suci beruntung memiliki seorang sahabat setia yang menemani sampai di SMA sekarang ini. Dia adalah Seli. Bagi Seli, berteman itu bukan memandang fisik atau kemampuan seseorang. Perempuan yang lebih suka bergaya laki-laki itu lebih memerhatikan sikap seseorang yang akan menjadi temannya.

"Lo makin kesini tambah cakep aja." Celetuk Seli. Dia bukan iri hanya saja langkah Suci yang berjalan bersamanya jadi tersendat oleh banyaknya sapaan. Sementara itu hanya senyum tipis Suci yang diterimanya sebagai respon pagi itu.

Suci memang orang yang cukup kalem, tapi layaknya perempuan, ia juga bisa cerewet seperti yang lainnya. Kalian mungkin bertanya apakah Suci punya kekasih? Jawabannya sayang sekali tidak. Dia memang mendapat banyak pengakuan cinta tapi tak ada yang benar2 pas dengan hatinya. Salah seorang yang Suci cintai justru tidak pernah menganggapnya sama sekali.

"Bima, kemarin tugas kamu udah aku kumpulin ke ibu Hana." Cerita Suci begitu seorang laki-laki berambut gondrong masuk kelas.

Langkah siswa bernama Bima itu tak terhenti sama sekali. Dia hanya melewati bangku Suci tanpa menoleh sedikitpun. Seperti biasanya, dia tak pernah menganggap Suci ada.

Para penghuni kelas hanya maklum dan mengabaikan apa yang baru saja terjadi. Sementara Seli merangkul sang sahabat.

"Ish, lo ngomong sama siapa sih? Gak ada yang namanya Bima di kelas ini." Sewot Seli. Perempuan itu benar2 gemas pada siswa penghuni bangku belakang. Sebenarnya hal ini sudah sering terjadi bahkan bukan hanya pada Suci. Bima selalu mengabaikan sapaan siswa-siswi lain. Dia bahkan secara ajaib bisa mendapat teman sebangku bernama Juna yang 180° berbeda sifatnya.

"Untung belom bel." Seru Juna seraya berlari tergesa-gesa masuk kelas.

"Sialan!" Umpat Seli berbarengan dengan Juna. Hal itu terjadi karena Juna tanpa sengaja tersandung kaki Seli.

"Heh lo pake mata dong kalo jalan!?" Semprot Seli.

"Lo yang salah malah lo yang nyolot! Suruh siapa berdiri di jalan?!" Seru Juna tak kalah seru.

Percekcokan keduanya berhenti setelah bel berbunyi. Juna menyeret langkahnya paksa dengan wajah kesal ke bangku belakang. Sementara Seli juga tak lepas melotot pada laki-laki itu sampai ke tempatnya duduk.

Tak berapa lama guru masuk dan pelajaran pertama pun dimulai.

***

Jika boleh memilih, Suci ingin terlahir sebagai gadis yang biasa. Bukan berasal dari keluarga kalangan atas seperti ayah dan ibunya, juga memiliki paras yang biasa saja. Namun, Tuhan telah memberinya takdir demikian. Suci hanya bisa menerimanya. Dia tak bisa merubah takdir yang telah ditetapkan. Bahkan alih-alih mengeluh Tuhan ingin hamba-Nya bersyukur.

Ya, Suci bersyukur dengan kehidupan yang demikian. Orang lain bahkan banyak menghadapi hal lebih buruk darinya. Tapi, Suci ingin mengubah satu saja hal yang didapatkannya. Setiap hari dia berdoa untuk mendapatkan perhatian oleh orang yang paling dikaguminya.

Bima. Siswa itu memang tidak begitu spesial. Bahkan menurut beberapa siswa menyebalkan karena tak banyak bicara. Namun, entah kenapa Suci begitu menyukainya. Dia memang sering berujar dingin dan bertatapan tajam tak bersahabat. Belum lagi penampilannya yang terkesan mengerikan. Rambut sedikit gondrong menutupi sebelah mata tajamnya, rahang tegas, seringai mematikan dan beberapa bekas tindik di telinga, hidung, dan bibirnya.

Tapi, bagi Suci justru itu yang membuatnya tertarik. Sayangnya, setiap kali Suci mendekat Bima selalu menjauh. Dia seakan tak suka jika ada orang yang mendekatinya. Terlebih jika itu adalah Suci, siswi populer di SMA mereka.

"Gaes, bu Hani gak bisa masuk. Kita disuruh ngerjain tugas kelompok. Ini susunan nama kelompoknya." Jeny sang sekretaris kelas memberikan pengumuman seraya menulis deretan nama kelompok.

"Kenapa gak bagi sendiri aja sih?" Protes Juna. Siswa lain jadi ikut sang toa kelas buat komplen. Kelas pun jadi riuh tak terkendali.

"Woy!" Bentak Seli garang. "Ribet dah, nurut aja napa sih!?" Tambahnya ketus.

"Ini tuh kata ibunya berdasarkan nilai ulhar kita waktu lalu. Jadi gak bisa diubah." Jawab Zaki, si KM kelas 11-IPS. Setelah pihak keamanan kelas bertindak, suasana menjadi lebih kondusif.

Semua nampak biasa beberapa siswa yang sudah tertulis namanya di dalam kelompok segera berkumpul. Namun, tidak bagi Suci. Matanya membulat tak percaya dan mulutnya menganga lebar begitu melihat dengan siapa dia dikelompokkan.

"Jen, lo gak bisa ganti gue ke kelompok lain?" Pintanya memohon.

"Sori ci, gak bisa. Lagian itu ada Juna sama Seli kok. Lo gak sendirian jangan takut." Jawab Jeny menenangkan.

Ya, Suci satu kelompok dengan Bima.

Tidak, memang bukan Suci saja yang sering menolak sekelompok dengan Bima. Beberapa siswa juga pernah melakukan demikian. Hanya saja alasan Suci berbeda, jika kabanyakan orang takut dan kesal karena Bima tidak bisa diajak kerjasama. Suci justru merasa tidak kuat. Dia takut hatinya terluka karena terlalu mengharapkan Bima menanggapinya.

"Alhamdulillah, kita sekelompok ci. Hehe." Seli berusaha mengalihkan perhatian Suci. Perempuan berambut pendek menghapus wajah cemasnya dan tersenyum pada sang sahabat.

"Iya, ayo kita kerjain." Seru Suci riang. Mereka pun segera membuka buku untuk mengerjakan tugas.

"Bu Hani kurang kerajaan banget sih mgelompokin kita sama tu cewek berdua." Sungut Juna berdiri dari bangkunya. Sementara Bima masih diam menaruh kepalanya di meja. "Heh, ayo kita ke depan. Gue gak mau nama kita gak dicantumin terus gak dapet nilai gara2 mereka." Tangan Juna menarik lengan Bima. Dua siswa yang duduk di belakang itu akhirnya berdiri menyeret kursi untuk bergabung ke kelompoknya.

"Mau ngapain? Jangan ganggu kita." Sergah Seli.

Brak!

Juna menggebrak meja dengan kesal.

"Eh, kita tuh sekelompok ya, upil goreng!" Umpat Juna dengan nada tinggi. Sementara Bima dengan santai menempatkan kursinya berhadapan dengan Suci.

"Gak usah rame, bego! Pake gebrak meja gue segala." Seru Seli tak mau kalah.

Suci terdiam menahan napasnya melihat wajah tak peduli Bima yang begitu mempesona. Dia terlihat begitu tampan walaupun kepalanya dalam posisi sedikit menunduk. Saat tengah jatuh pada pemandangan di depannya, secara tiba-tiba Bima mengangkat wajahnya kemudian menatap manik mata Suci dengan intens.

Secepat kilat Suci mengalihkan pandanganya pada buku di tengah meja. "Ah, ini-ini tu-tutugasnya bi-bikin 10 kalimat dari kata imbuhan afiks. Iya itu-" Suci berbicara terbata seraya menunjuk buku tulisnya yang kosong. Gadis itu dapat melihat melalui dari ujung ekor matanya, Bima tersenyum menyeringai. Oh Tuhan, itu benar2 mendebarkan baginya.

"Oke, gue sama Bima bikin lima deh. Lo bedua bikin lima juga biar adil. Nanti digabung, udah selesai gampang kan?" Cerocos Juna memberi usul.

"Oke." Singkat Seli. Mereka pun segera fokus mengerjakan tugas masing-masing.

***

Pekerjaan mereka sudah selesai sejak lima menit yang lalu. Bahkan Seli sudah mulai menaruh kepalanya di atas meja. Sementara itu Bima sedang menyalin tugas di lembar kertas tugas. Juna mendiktenya dengan telaten.

Suci baru tahu tulisan Bima sangatlah cantik. Meski dia menulis dengan tangan kiri, goresan tinta di kertas tugas mereka begitu lembut seperti benang sutra yang disulam. Tangan Bima bergerak perlahan menulis kata demi kata dari tugas dan Suci memperhatikannya dengan teliti. Sesekali tatapan mereka bertemu karena duduk berhadapan.

"Bima, tulisanmu cantik banget sih." Tanpa sadar kata-kata terlontar dari bibir Suci. Bima menyelesaikan kata terakhir di atas kertas kemudian menurunkan penanya.

"Ca-cantik? Sayangnya, aku tidak suka itu." Ujar Bima sedikit tegang. Dia seperti menahan sesuatu dari sorot matanya yang terlihat panik. 

Kening gadis itu berkerut. Manik matanya tak lepas menatap ekspresi gelap Bima. Seperti ada rasa yang aneh di sana. Sebuah hal besar yang tersembunyi dari kata 'cantik'.

"Kenapa kau tidak suka disebut cantik?" Tanya Suci memberanikan diri. Bima menyisihkan kertas tugas mereka kemudian menaruh pena yang sudah tertutup di atasnya.

"Ketika kau tak punya alasan untuk mencintai, kau juga mungkin bisa tak punya alasan untuk membenci." Jelas Bima. "Dan kau, aku bisa saja tanpa alasan apapun mencintaimu ataupun membencimu"

Setiap hal punya alasan. Suci ingin mendebatnya namun dia sudah terburu salah tingkah ketika tatapan Bima mengintimisasinya.

"Guys, kalo udah selese kumpulin ke gue. Terus balik ke bangku masing2." Beruntung suara Jeny memecah kecanggungan di antara mereka. Suci segera berdiri menyerahkan tugas mereka. Sementara itu Bima tersenyum menyeringai melihat gadis itu dalam keadaan gugup menggemaskan.

***

avataravatar
Next chapter