1 Chapter 1

     Puntung rokok sudah berserakan disudut meja kerjanya. Abu rokok juga hampir memenuhi asbak yang ukurannya memang tak terlalu besar. Aroma asap rokok tentu tercium kuat di ruangan itu. Kepulan asapnya terus keluar dari lubang hidung dan juga mulutnya. Menyerbak pelan didepan wajah tampannya. Mungkin sudah 1 jam lamanya ia menghisap puntung rokok itu—yang merupakan puntung ke 11, mungkin?

`

     Dia bukan perokok berat, bisa dikatakan hampir jarang menyentuh rokok. Tapi hari ini pengecualian. Pikirannya kini tengah kacau. Masalah di perusahaan mendadak datang dari berbagai arah. Cukup berat untuknya tanggung sendiri. Sendiri? Ya, sendiri. Kini perusahaan telah menjadi tanggung jawabnya sepenuhnya. 5 bulan yang lalu ayahnya telah memberikan perusahaan itu kepadanya. Termasuk hampir semua saham—yang dulu ayahnya merupakan penyumbang terbesar—tapi kini sudah dilimpahkan kepadanya.

`

     Dia tampak tidak senang bukan? Benar sekali. Dia memang tidak senang akan semua itu. Mengapa? Karena dia memang tidak menginginkannya. Kalau disuruh memilih, dia lebih nyaman dengan jabatannya yang sebelumnya. Yang hanya seorang General Manager. Tapi, ayahnya melakukan semua itu juga bukan tanpa alasan. Itu karena beliau tengah sakit parah, dan dirinya lebih bisa diandalkan—menurut ayahnya.

`

     Sebenarnya dia memiliki seorang adik laki-laki. Adiknya itu masih remaja dan sama sekali tidak tertarik dengan urusan perusahaan. Adiknya itu lebih tertarik menjadi trainee karena impiannya adalah menjadi anggota Boy Band terkenal. Padahal dia bisa saja meminta ayahnya untuk membeli salah satu perusahan entertainment diluar sana.

`

     Ibunya sudah meninggal sejak ia masih berumur 13 tahun—ketika melahirkan adiknya. Dia selalu menyimpan foto ibunya di sela dompetnya. Mengingat sang ibu, ia raih dompetnya. Ternyata tak hanya foto ibunya, tetapi juga ada foto itu. Ya, ada dua lembar foto didalam dompetnya. Foto ibunya dan foto mantan isterinya. Yang tengah ia lihat dengan sorot mata penuh kerinduan. Ia tekan ujung rokoknya di atas asbak dan kembali mengamati kedua foto itu. Yang berakhir fokus pada foto mantan isterinya.

`

     Kelopak matanya bergetar pelan. Ada airmata di sudut matanya. Sudah satu tahun lebih lamanya, tapi hingga kini ia masih sulit melupakan wanita itu. Dia masih sangat mencintai wanita itu. Lalu dimana mantan isterinya saat ini? Jika dia masih mencintai wanita itu, mengapa tidak ia pertahankan? Karena semua itu adalah takdir yang diberikan tuhan. Takdir yang tidak bisa dihindari. Yaitu kematian. Istrinya meninggal dikarenakan kanker.

`

`

`

Tuk. Tuk. Tuk.

`

`

`

     Seseorang mengetuk pintu. Sesaat ia tersadar bahwa ia telah melamun sangat lama. Buru-buru ia selipkan kembali foto itu kedalam dompetnya. Bersikap santai sebelum seseorang yang berada dibalik pintu itu menemuinya—yang sudah bisa ia tebak bahwa orang tersebut adalah Manager Ji.

"Direktur, bolehkah saya masuk?" tanya Manager Ji—yang merupakan karyawan senior, satu-satunya orang yang sangat ia percaya di perusahaannya. Sebenarnya Manager Ji bisa saja langsung masuk, tetapi ia mengetahui kondisi Direkturnya saat itu, tidak hanya dirinya, seluruh karyawan juga mengetahuinya. Dan dalam keadaan yang seperti itu, tidak ada satupun karyawan yang berani mendekati sang Direktur. Mengapa? Dia sangat menyeramkan. Begitulah yang mereka pikirkan.

"Ya, silahkan." Jawaban singkatnya itu membuat sang manager menciut ketakutan yang tengah melangkah kikuk menghampiri meja kerjanya. "ada apa lagi?" belum juga Manager Ji berkata, dia sudah bertanya dengan tegas.

"Aa.. Begini.. Tadi aku baru saja mendapatkan telepon dari Komisaris Yoo, dia mengundang anda untuk makan malam bersama dirumahnya." Wajah sang Direktur langsung masam tak senang. "apa anda akan pergi?" beberapa saat tidak ada jawaban.

"Ya, aku akan pergi." Jawabnya karena merasa akan menambah masalah jika tidak menerima undangan itu.

"Dan.. Komisaris Yoo juga mengundang Nyonya." dia menutup matanya seraya menghela nafas dengan penuh rasa lelah.

"Hmm." Hanya itu reaksinya—yang jelas sekali tampak tak bersemangat.

"Kalau begitu saya akan siapkan—"

"Tidak perlu. Aku yang akan menyetir."

"Baiklah jika begitu. Saya permisi dulu." Raut lelah dan menyesal tergaris jelas di wajahnya—yang tengah mengamati kepergian Manager Ji dari ruangannya. Biasanya dia tidak seketus itu pada Manager Ji. Tapi kondisinya kini membuatnya tak mampu mengatur ekspresi dan perasaannya.

`

`

     Sesaat ia teringat pada makan malam itu. Dialihkannya pandangannya ke luar dinding kaca yang ada disampingnya. Malam akan segera tiba. Ia kembali menghela nafas yang bahkan kini semakin terasa berat. Ia raih ponselnya lalu mencari sebuah kontak. Sedikit ragu, ia sentuh layar ponselnya tepat di sebuah nama bertuliskan—Im Yoona.

[Halo?] seorang wanita menyambut telepon darinya.

"Komisaris Yoo mengundang untuk makan malam. Bersiap-siaplah. Aku akan menjemputmu." Dan ia langsung memutuskan telepon itu.

`

`

     Ia bangkit dari tempat duduknya. Ia raih jasnya lalu mengenakannya. Tak lupa ponsel dan dompetnya—yang kembali ia masukan kedalam saku jasnya. Dengan ekspresi tenang ia keluar dari ruang kerjanya. Langkah gagahnya melewati meja karyawannya yang masih sibuk bekerja. Kehadirannya membuat semua karyawannya berdiri tegak untuk memberikan hormat—walau nyatanya dirinya hanya melintas begitu saja.

"Ketampanannya benar-benar tersingkirkan." Bisik seorang editor ke rekannya.

"Kalau saja dia tidak menyeramkan, aku pasti akan mengidolakannya." Sahut seorang sekretaris yang berada disampingnya.

"Apa kau masih tidak melakukan apapun? Bukankah kau sekretarisnya?" Tanya si editor, mengingat rekannya itu adalah sekretaris sang Direktur.

"Dia lebih mempercayai Manager Ji." Jawab sekretaris itu, meratapi nasibnya seraya mengamati punggung sang Direktur—yang sebenarnya luar biasa tampan dimatanya, juga dimata semua karyawati di perusahaan itu—tetapi mereka lebih memilih menghindari Direktur mereka itu.

`

`

     Benar sekali. Penampilan fisiknya benar-benar diatas rata-rata. Apalagi ketika ia mengenakan setelan jas mahal seperti itu. Bisa disebut luar biasa. Dada tegapnya tampak keras dibalik jas yang ia kenakan, begitu juga dengan lengannya yang membulat tegang. Ditambah celana bahan miliknya yang mempertegas bentuk bokongnya. Tentu wanita manapun akan jatuh cinta padanya. Tingginya juga diatas rata-rata, sekitar 183cm atau mungkin lebih. Dan mengenai wajahnya, tidak perlu dijelaskan lagi.

--

--

--

--

     Saat ini ia sudah berada didalam mobilnya yaitu Audi berwarna hitam dengan kaca mobil yang sangat gelap. Ia menyetir pelan menuju rumahnya. Sebenarnya siapa yang hendak ia jemput? Ia akan menjemput isterinya. Ya, ia telah menikah lagi. Tepatnya 5 bulan yang lalu. Atas paksaan ayahnya juga dikarenakan rasa sayang yang berlebihan kepada sang ayah, ia pun mengabulkan permintaan ayahnya. Yaitu menikahi seorang mahasiswi cantik bernama Im Yoona.

`

`

     Jarak umur mereka lumayan jauh. Saat ini dirinya berumur 32 tahun, dengan begitu jarak umur mereka adalah 8 tahun. Karena sang isteri masih berumur 24 tahun dan sedang disibukkan dengan tugas akhir di kampusnya. Lalu apa yang terjadi setelah pernikahan itu? Mereka hanya berlaku seperti suami-isteri ketika dihadapan orang saja. Terutama ayahnya. Selain itu, mereka akan berlaku seakan tak saling kenal. Itu masalah hati. Terutama hatinya. Karena sesungguhnya isterinya yang sekarang adalah wanita yang super baik.

`

`

     Ia sudah memasuki perkarangan rumahnya. Ia disambut dengan pepohonan rimbun yang berbaris di halaman rumahnya. Dari kejauhan, tampak seorang wanita tengah berdiri di ambang pintu, sudah lengkap dengan gaun panjangnya yang sopan. Sepertinya wanita itu sengaja berdiri disana karena tidak ingin membuat suaminya menunggu. Sungguh baik bukan? Padahal udara malam itu lumayan dingin. Syukur wanita itu mengenakan gaun tertutup. Tanpa harus turun dari mobil, wanita itu masuk kedalam mobilnya setelah dibukakan pintu dengan Paman Kang—alias sopir pribadi mereka.

`

`

     Seperti biasa. Tidak ada obrolan didalam perjalanan mereka. Keduanya sama-sama tampak tenang. Drrt.. Drrt.. Ponsel wanita itu bergetar. Ditengah kesunyian yang sangat menyiksa, melihat nama sepupunya di layar ponselnya membuatnya sangat bahagia. Wajah manyunnya langsung memperlihatkan senyuman yang sangat indah. Tetapi ia mengingat keberadaan suaminya disampingnya. Dengan penuh keberanian, dia menoleh pada lelaki itu lalu memaksa mulutnya untuk berkata.

"Bolehkah aku mengangkatnya?" suaranya benar-benar pelan, saking takutnya.

"Angkat saja." jantungnya berdesir mendengar suara itu. Suaminya itu selalu membuatnya was-was. Ia menelan ludahnya sejenak guna menepis ketegangan itu. Lalu dengan wajah sumringah, ia menerima panggilan itu.

"Sejeong-a! Aa.. Aku sangat merindukanmu!" ia mendadak melupakan keberadaan suaminya.

[Eonni, aku juga merindukanmu!] saking kerasnya, suara sepupunya sampai keluar dari ponsel. Bahkan suaminya dapat mendengar.

"Apa yang sedang kau lakukan? Apa kau sudah makan?"

[Kami baru saja selesai makan. Eonni, appa ingin bicara denganmu.] Sejeong memberikan ponselnya kepada ayahnya—yang kebetulan masih berada di meja makan.

[Yoona-a, bagaimana kabarmu?] Suara pamannya itu juga tak kalah keras.

"Aku baik-baik saja. Bagaimana dengan paman? Apa paman sudah berbaikan dengan Bibi Song?" tanya Yoona seperti ingin tertawa.

[Kami sudah berbaikan sejak lama.] Lalu mereka tertawa.

"Katakan pada bibi, besok aku akan kerumah." Ujarnya seraya melirik suaminya—yang tampaknya tenang-tenang saja.

[Wah, benarkah? Baiklah! Kebetulan sekali besok hari libur jadi aku juga ada dirumah. Kami akan memasakkan makanan kesukaanmu!]

"Haha.. Aku jadi tidak sabar ingin mencicipinya. Paman, kalau begitu aku tutup dulu teleponnya. Aku sedang diperjalanan menuju rumah Paman Yoo."

[Aa, jadi kalian sudah dalam perjalanan? Baiklah. Sampai jumpa besok ya!]

"Ya.." senyuman sudah menghilang dari wajahnya. Suasana kembali hening. Ia ingat itu, tadinya ia mengatakan hendak kerumah pamannya disamping suaminya. Ia bahkan belum meminta ijin. "itu.. apakah aku boleh—"

"Lakukan saja apa yang kau mau." Sela suaminya yang selalu mengatakan itu disaat ia akan meminta ijin. Sebenarnya Yoona tahu itu. Ia tidak perlu meminta ijin jika ingin melakukan apapun—karena suaminya sudah berulang kali mengatakan 'Lakukan saja apa yang kau mau'. Tetapi sebagai seorang isteri akan lebih baik jika selalu meminta ijin.

`

`

     Mereka tiba dirumah Komisaris Yoo lebih cepat dari biasanya. Tidak, sebenarnya tidak ada yang berbeda, mungkin karena tadinya Yoona sempat berbincang dengan Sejeong dan pamannya, jadi perjalanannya tidak terlalu terasa lama karena kehampaan. Jika tadinya sang suami berlaku acuh, tetapi tidak dengan sekarang. Ia turun dari mobil terlebih dahulu, lalu melangkah cepat menuju pintu lainnya guna membukakan pintu untuk isterinya. Mengapa? Karena Komisaris Yoo dan isterinya sudah menunggu didepan pintu rumah mereka. Ia menggandeng tangan isterinya dan mereka melangkah bersama menghampiri tuan rumah.

"Wah.. Selamat malam Bapak Presiden Direktur! Aku sangat senang atas kedatangan anda." Salam sapa yang kelewat ramah. Tapi sukses membuat si muka ketat tersenyum. Komisaris Yoo dan isterinya sudah terhitung tua, mereka berumur sekitar 60-an, tetapi fisik mereka masih tampak sangat kuat. Alasan terkuat mengapa ia tidak bisa menolak acara makan malam itu adalah karena Komisaris Yoo berteman baik dengan ayahnya.

"Saya juga berterimakasih karena sudah diundang." Mereka bersalaman dengan kaku. Sedangkan para isteri sudah berpelukan dengan nyaman.

"Kalau begitu ayo silahkan masuk. Saya sudah menyiapkan banyak makanan yang lezat. Aa, bukan saya yang masak, tetapi koki dirumah ini. Haha.." Komisaris Yoo memang banyak tertawa.

`

`

      Mereka duduk berhadapan dengan pasangan masing-masing. Pelayan dirumah itu tampak berdiri di sudut ruangan, siap untuk membantu. Beberapa dari mereka menuangkan wine, dan juga menuangkan sup ke mangkuk. Terlalu banyak menu yang dihidangkan di meja persegi panjang itu. Mungkin sekitar 30 macam menu? Sepertinya lebih.

"Bapak Presiden Direk—"

"Aa, Komisaris Yoo." Selanya. "bisakah kita mengobrol lebih santai? Panggil namaku saja." Ujarnya akhirnya. Komisari Yoo langsung tersenyum lebar.

"Baiklah. Kalau begitu, silahkan dinikmati. Ayo dimakan. Yoona-ssi, apa ada yang tidak kau suka? Aku akan singkirkan yang tidak kau suka dan akan aku suruh kokiku buatkan yang lain."

"Ti-tidak. Aku suka semuanya." Jawab Yoona dengan lembut seperti biasa.

"Mmm.. Kau manis sekali. Pantas saja Sehun menikahimu."

`

Uhuk! Yoona terbatuk dan segera meneguk wine miliknya. Berbeda dengannya, suaminya tampak sangat tenang seakan tidak mendengar apapun.

`

Menikahiku? Haha.. Lucu sekali. Paman, sebenarnya kami tidak benar-benar menikah!

`

Ingin sekali rasanya meneriakan itu. Tapi Yoona telan dengan senyum manisnya. Ya, suaminya itu bernama Sehun. Lengkapnya, Oh Sehun.

`

`

     Makan malam itu tak berlangsung lama karena Sehun beralasan harus lanjut memeriksa kerjaannya dirumah. Mereka pamit dari sana, masih berlaku manis. Sehun menggandeng tangan isterinya menuju mobil. Ia juga membukakan pintu mobil untuk isterinya. Tapi sikap manisnya menghilang seketika usai mereka pergi dari sana. Aura mematikan pun kembali memenuhi mobil itu.

"Nyonya, bangunlah. Anda harus tidur dikamar." Itu suara Paman Kang. Ternyata Yoona tertidur selama diperjalanan dan suaminya itu tidak membangunkannya, malah meninggalkannya begitu saja didalam mobil. Syukur Paman Kang menyadari keberadaannya disana.

"Apa aku tertidur lagi?" Tanya Yoona berusaha mengumpulkan kesadarannya.

"Nyonya pasti sedikit mabuk. Mari saya bantu." Paman Kang segera membantu Yoona untuk berdiri.

"Tadi aku tidak sengaja meneguk hampir 3 gelas wine." Ujarnya berlaku manja seakan Paman Kang adalah ayahnya.

"Aigoo.. Nyonya kan tidak kuat minum. Mari saya bantu." Dibantukan Paman Kang, Yoona masuk kedalam rumah.

"Astaga, apa yang terjadi? Apa Nyonya mabuk?" Seorang wanita tua menghampiri mereka. Wanita tua itu merupakan koki dirumah mereka.

"Bibi Kim, tolong bantu aku kekamar ya." Pinta Yoona juga berlaku manja.

"Baiklah. Pak Kang, anda istirahat saja. Saya yang akan membantu Nyonya."

`

`

     Mereka menaiki tangga menuju lantai 2. Ada dua kamar tidur disana, kamar Yoona dan kamar suaminya. Kedua kamar itu letaknya saling berhadapan yang ditengahnya terdapat sebuah ruang kerja—yang biasanya digunakan Sehun untuk mengerjakan sisa kerjaannya yang belum diselesaikan. Yoona masuk kedalam sebuah kamar yang berada disebelah kiri dari tangga. Bibi Kim juga membantunya berbaring ditempat tidur lalu membukakan sepatunya. Baru saja berbaring, Yoona sudah tertidur pulas. Ya, seperti itulah seorang Im Yoona.

`

`

     Sebenarnya dia hanyalah seorang gadis polos yang mendadak harus menikah. Dulunya, tepatnya 5 bulan yang lalu. Pada saat itu ia sedang berada di kampus dan mendadak dijemput dengan Paman Ji—alias ayah Sejeong. Paman Ji membawanya kesebuah rumah mewah—tak kalah mewah dengan rumah suaminya saat ini. Disana Yoona bertemu dengan seorang pria tua yang duduk di sebuah kursi roda. Pria tua itu tersenyum kepadanya, bahkan sampai memeluknya.

`

`

     Mulanya mereka hanya mengobrol dan tak terasa obrolan itu membuat mereka menjadi akrab. Pribadi Yoona yang ramah tentu dapat membuat siapapun merasa nyaman padanya. Sampai pada akhirnya obrolan penting terucap dari mulut pria tua itu—yang ternyata adalah ayahnya Sehun. Pria tua itu memintanya untuk menikah dengan anaknya.

`

`

     Alasan yang pria tua itu katakan cukup membuat Yoona bimbang. Sebelumnya dia juga mengatakan, bahwa sebenarnya dulunya Paman Ji bekerja dengannya. Dia sudah sangat mempercayai Paman Ji hingga ketika ia pensiun, ia meminta Paman Ji untuk berada di sisi Sehun sang anak. Saking ia mempercayai mantan Managernya itu, ia juga meminta Paman Ji untuk mencarikan seorang isteri untuk anaknya. Dan dari kriteria yang dia inginkan, semuanya mengarah ke Yoona. Karena yang ia inginkan adalah wanita yang baik dan tidak haus akan kekayaan.

`

`

     Ia harus memberikan posisinya kepada Sehun—sebelum dirinya tiada—karena sesuai yang diprediksi dokter bahwa hidupnya tak akan lama lagi. Tetapi untuk menduduki posisi Presiden Direktur, anaknya itu harus memiliki seorang isteri. Karena itulah pernikahan itu terjadi. Ia tahu, Sebenarnya Sehun melakukan pernikahan itu dengan terpaksa. Ia juga tahu bahwa anaknya itu masih sangat mencintai mantan isterinya. Tetapi ia percaya, bahwa jika kedua insan hidup bersama, niscaya suatu saat hati keduanya akan tergerak untuk mendekat. Lalu mengapa Paman Ji menyarankan Yoona?

`

`

     Yoona merupakan anak dari kakak tertuanya. Yoona sudah tinggal bersamanya sejak kecil—karena kakaknya itu memilih menikah dengan pria asing sejak ditinggal mati sang suami. Tentu Yoona sudah ia anggap seperti anaknya sendiri. Dia memang memiliki seorang putri yang tak lain adalah Sejeong. Tetapi Sejeong masih berumur 19 tahun dan anaknya itu juga tidak sebaik Yoona—menurutnya. Baginya Yoona merupakan wanita yang luar biasa sopan dan selalu ramah kepada siapapun. Hatinya sangat lembut dan tidak pernah berlaku jahat sekalipun. Dan semua hal pelik itulah yang akhirnya menjadikan Yoona sebagai isteri seorang Oh Sehun. Raja kutub selatan. Julukan dari Yoona untuk sang suami—pemilik Willis Group, perusahaan media terbesar di Korea Selatan.

`

`

`

`

Continued..

`

`

`

`

Hai kakak2..

Ini cerita saya yang paling terbaru dan masih dalam proses penulisan.

Ini cerita yang sangat menguras pikiran saya loh kak. Nulisnya selalu di jam 11 malam keatas, karena butuh privasi banget.

Aku yakin kakak2 bakal suka sama jalan ceritanya.

But, karena cerita ini belum tamat. So, saya gak bisa update setiap hari ya kakak..

Maaci.. ^^

Baca Ceritaku yang satu lagi ya kak..

Judulnya →White Romance (By Hyull)←

avataravatar
Next chapter