webnovel

Bukan Gila

Tanah pemakaman masih basah, seorang wanita berbaju hitam menggendong anak kecil duduk termenung. Sang anak celingak-celinguk menatap sekitar, bertanya pada pohon, pada angin, dan burung yang terbang rendah di senja yang sunyi. Anak itu mempertanyakan tanpa suara kenapa sang ibu menangis tanpa henti. Anak laki-laki itu turun dari pangkuan ibunya, lalu memegang dan menarik tangan sang ibu bermaksud mengajak pulang.

Sang Ibu yang bernama Dira bergeming, petir yang tiba-tiba menggelegar menemani derasnya hujan tak membuatnya beranjak.

"Rumah kita di sini, Andra. Bersama Papa yang di dalam sana," ujar Dira. Air matanya mengucur deras, menyatu lalu mengalir bersama air langit.

Andra merengek, badannya mulai menggigil. Anak satu setengah tahun itu terus menarik-narik baju sang ibu.

"Dira, mau sampe kapan kamu di sini? Ujan gede, tak ada artinya meratap!" Seorang wanita paruh baya tergopoh menerobos hujan, lalu menggendong Andra. "Setidaknya pikirkanlah anakmu!"

Wanita itu berlalu seraya menggendong Andra yang ketakutan mendengar petir dan kilatan cahayanya yang menyilaukan mata.

Dira meraung, menatap langit. "Tuhan, kenapa Kau ambil dia? Aku tak sanggup hidup seorang diri," jeritnya kencang. Kepalanya menengadah seolah-olah menantang perkasanya langit hitam yang sedang menangis.

Setelah puas menumpahkan emosi, dia beranjak. Badan yang mengigil membuat langkahnya tersaruk di tanah merah pemakaman. Masih dengan air mata, dia meninggalkan suaminya yang terbujur kaku di dalam tanah.

***

Tiga bulan kemudian.

"Gara-gara Ibu sama Bapak aku jadi menjanda," raung Dira. Dia kembali mengacak-ngacak isi kamarnya. Tak dihiraukan Andra yang meraung dan menangis melihat ibunya mengamuk. Mata polosnya menatap penuh tanya.

Bibir mungil Andra bergetar. "Ibu ... belenti ...."

Dira menatap anak itu, emosinya kembali bangkit melihat wajah almarhum suaminya tercetak nyata di hadapan berwujud anak kecil.

"Diam kamu!" hardik Dira. "Kamu bikin susah aja." Tangan Dira melayang, Andra dipukulnya tanpa belas kasihan.

"Astaghfirullah, Dira, udah!" Bu Erna yang baru kembali dari pasar menggendong cucunya yang menangis kencang. Dia menyesal tak membawa anak itu karena tadi gerimis.

"Hadapilah kenyataan, Dira. Suamimu meninggal karena takdir. Berhenti menyalahkan kami!"

Dira tak menjawab, dia terus meraung. Setelah lelah, wanita muda itu tertidur.

"Dia tidak gila, hanya depresi, belum rela dia kehilangan suaminya." Lamat-lamat suara seseorang terdengar. Dira yang baru bangun tidur meminum air dari gelas di atas nakas.

"Menurut saya, coba bawa dulu dia keluar dari rumah ini. Jangan biarkan dia di kamar terus yang akan terus mengingatkan akan suaminya. Jauhkan juga dia dari anaknya, bukankah wajah Surya menempel pada Andra seratus persen?" Ibu Erna mengangguk.

"Jangan terlalu keras padanya. Dia masih muda, masa depannya masih cerah. Dikerasin khawatir depresi berat. Tentu Ibu akan menyesal. Andra juga kasian disiksa terus."

"O gitu, ya, Bu Bidan. Baiklah nanti saya rembukan lagi sama keluarga. Terima kasih banyak."

Setelah itu hening. Dira yang menyimak dari dalam kamar merenung. "Aku tidak gila, hanya depresi," ujarnya bermonolog.

Dira keluar dari kamar, celingukan melihat sekitar. Sepi, sepertinya ibunya membawa Andra main ke luar. Dia duduk di depan televisi. Tangannya meraih benda panjang dengan banyak tombol, seketika benda pipih di hadapan menyala.

Dia tidak gila, kata-kata itu terus terngiang di benaknya. Ingatan Dira melayang pada hari itu. Hari di mana anaknya merengek minta jalan-jalan kepada suaminya. Saat itu hari sudah petang, matahari telah condong ke barat.

"Papa, Nda mau coklat," rengek anak itu dengan suara cadelnya.

"Udah mau magrib, Nda. Besok lagi," hardik Dira.

Andra tak peduli, dia terus merengek menarik-narik tangan papanya.

"Andra!" sentak Dira.

"Iya, iya. Hayuk kita beli cokelat. Berdua aja gpp, ya? Udah mau magrib, biar cepet. Ibu biar solat duluan."

Air mata kembali meleleh di pipi wanita yang menikah muda itu. Dia tak menyangka di usianya yang baru menginjak delapan belas tahun dia sudah harus menyandang status janda. Setelah lulus SMP, ibunya memaksa menikahkan dirinya karena tak sanggup membiayai Dira untuk terus sekolah ke jenjang SMA. Surya pacar Dira yang memiliki usaha bengkel dengan senang hati menyambut usulan Bu Erna. Lelaki itu memang niat serius akan menikahi Dira. Hanya saja sang pacar tak ingin menikah muda meski dia sudah tak sekolah.

"Aku, kan, belom delapan belas. Nikah siri, dong, gak mau. Kamu kalo cinta tunggu aku gede. Kalo kebelet, sono nikah sama yang laen," ujar Dira setiap kali Surya mengajak menikah.

Surya berpikir, daripada pacarnya yang cantik itu tak ada kegiatan setelah tiga bulan berlalu setelah kelulusan, lebih baik mengurusnya dengan status resmi sebagai istri. Toh, usaha bengkelnya lumayan ramai.

Namun, Dira menolak hanya karena tak mau menikah siri. Sementara untuk menikah resmi, harus menunggu gadis itu berumur sembilan belas tahun sesuai syarat dari KUA.

"Dira, Surya sudah mapan. Kamu tunggu apa lagi?" tanya ibunya saat itu.

"Ahhh ...." Gadis berkulit cokelat itu beranjak menuju kamar. "Lagi-lagi nikah." Dia hendak menutup pintu ketika tangan ibunya menahan.

"Dira." Wanita yang sudah tak bersuami itu membelai surai hitam anaknya. "Daripada keluyuran gak jelas, udah dua kali kamu diisengin pemuda yang suka nongkrong di pos ronda depan itu."

"Gimana gak keluyuran, sekolah enggak, kerja juga gak boleh. Rewel banget itu si Surya!" Bibir Dira manyun. Dia senang bermanja merebahkan kepala di paha ibunya, apalagi sambil diusap-usap rambut.

"Surya jagain kamu, takut kamu kenapa-napa. Kalo kerja pasti ke kota bawa motor jauh, dia khawatir. Ibu gak sembarang suruh nikah kalo gak liat pacarmu itu mapan, bertanggung jawab, dan sayang sama kamu."

"Tapi tar diledekkin masih kecil nikah, udah gitu umurnya jauh, beda tujuh taun."

"Cowok mah segitu masih muda. Kamu enam belas, dia dua tiga. Jarang, loh, cowok udah mapan umur segitu. Surya mandiri sejak lulus STM. Ibu tau itu bengkel semua modalnya hasil nabung pas dia kerja jadi pelayan toko. Lalu beli alat-alat sedikit, dari masih sepi sampe segede gitu dan punya anak buah."

"Ini yang pacarnya Ibu apa Dira, sih, apal banget." Keduanya tergelak.

"Surya kan sering cerita kalo main ke sini. Lagian sekampung ini udah tau perjuangan Surya."

Air mata membanjir di pipi Dira mengingat kenangan itu. Acara televisi di depannya yang sedang menayangkan sitkom tak mampu membuatnya sekadar tersenyum. Bahkan Ibu sudah sesayang itu sebelum Surya benar-benar jadi menantu.

Tanpa sadar, Dira kembali meraung. Menangis kencang meratapi kepergian suami yang baru menikahinya selama dua tahun lebih. Bu Erna tergopoh masuk sambil menuntun Andra. Anak laki-laki itu sembunyi di balik punggung sang nenek, takut menjadi korban amukan ibunya lagi. Mata beningnya berkaca-kaca. Dia bingung dengan apa yang terjadi.

"Dira, tenang, Nak. Besok kita hubungi Bibi, sepertinya perkataan Bu Bidan benar," ucap wanita yang memakai daster itu lembut. Dia menerima saran Bu Bidan agar tak memarahi anaknya saat ingatan kematian akan suaminya kembali datang.

Next chapter