226 Terima kasih

Satia masih mondar-mandir di depan pintu ruang ICU saat HPnya berbunyi. Satia hanya melirik sekilas nama yang muncul di HP, kemudian menempelkannya ke daun telinganya.

"Assalamu'alaikum, ada apa teh...?", Satia bicara dengan nada suara yang tenang seperti biasanya.

"Wa'alaikumsalam, bagaimana keadaan Ilen...?", Nadhira bertanya dengan suara bergetar penuh keraguan.

"Peluru itu tepat menembus jantung Ilen, terjadi kerusakan parah. Sehingga kita harus mencari pendonor dalam waktu kurang dari 12 jam", Satia bicara lemah.

"Astagfirullah...", Nadhira bicara lirih, Satia bisa menebak di ujung lain telfon Nadhira sedang berusaha keras menahan tangisnya.

"Bagaimana keadaan anak-anak...?", Satia bertanya pelan.

"Hasan dan Husen baik-baik saja. Tapi... Erfly...", Nadhira tidak berani melanjutkan ucapannya.

"Ada apa...?", tanya Satia sengit. Semua otot Satia menegang seketika karena perasaan cemas.

"Setelah sampai di hotel, dia tidak berhenti menangis. Teteh rasa dia merasa bersalah karena kecerobohannya orang lain jadi celaka", Nadhira bicara dengan suara paling pelan.

"Bawa Ilen ke rumah sakit. Minta anggota untuk mengawasi Hasan dan Husen di hotel", Satia memberi perintah.

"Iya, teteh akan sampaikan", Nadhira mengakhiri hubungan telfon segera.

"Mas...", terdengar suara lelaki memanggil Satia dari arah belakang.

Satia segera menoleh, seketika keningnya berkerut menatap bingung kearah lelaki yang ada di hadapannya saat ini.

"Apa benar yang Cakya dengar barusan...? Erfly butuh donor jantung segera...?", Cakya bicara dengan suara paling rendah.

"Sejak kapan kamu disini...?", Satia malah balik bertanya kepada Cakya.

"Mas belum jawab pertanyaan Cakya", Cakya menagih jawaban.

Kali ini Satia hanya mengangguk berat.

Dunia Cakya seketika terasa runtuh. Tubuhnya limbung tidak mampu menahan bobot badannya. Cakya terduduk di lantai dengan mata berkaca-kaca.

***

Nadhira segera menelfon Satia begitu tiba di rumah sakit. Sesuai arahan dari Satia, Nadhira dengan mudah bisa menemukan ruang rawat inap ayah Cakya. Dua orang anggota tim khusus setia menjadi bodiguard Erfly dan Nadhira. Mereka sengaja menggunakan baju kaos, agar tidak terlalu menarik perhatian banyak orang.

Nadhira mengetuk perlahan daun pintu sebelum membuka daun pintu. Erfly kecil mengekor di belakang Nadhira dengan langkah kecilnya.

Ayah Cakya menoleh menatap Erfly kecil yang masih meneteskan air mata. Ayah Erfly melambaikan tangan kanannya dengan susah payah, memberi isyarat agar Erfly kecil mendekat.

Erfly kecil mendekati ayah Cakya dengan patuh. Kemudian duduk di kursi yang ada di samping tempat tidur.

Ayah Cakya menghapus jejak air mata Erfly kecil dengan lembut.

"Kakek... Maaf...", Erfly kecil menangis sesegukan.

Ayah Cakya hanya menggeleng pelan, ayah Cakya melambaikan tangan kanannya berkali-kali sebagai isyarat tidak apa-apa.

Terdengar suara daun pintu di buka. Semua mata langsung tertuju kearah daun pintu. Cakya melangkah perlahan membawa sebuah amplop coklat.

"Om Cakya...? Kok Om disini...?", Erfly kecil bertanya bingung.

"Ini ayah Cakya. Kamu apa kabar cantik...?", Cakya melemparkan senyuman terbaiknya kepada Erfly.

"Erfly minta maaf Om. Gara-gara Erfly, ayah Om jadi seperti ini", Erfly kecil kembali menangis.

Cakya melemparkan senyuman terbaiknya, "Sini, Om kasih tahu sesuatu", Cakya memberi isyarat agar Erfly mendekat.

Erfly meraih kruknya, kemudian melangkah menghampiri Cakya.

Cakya segera mengangkat tubuh Erfly agar duduk di atas tempat tidur. Sehingga bisa lebih dekat dengan ayah Cakya yang terbaring lemah.

"Ayah Om punya cucu seumuran kamu. Saat tadi kamu hampir kecelakaan, yang di bayangkan oleh ayah Om, kamu itu adalah cucunya. Jadi... Kamu tidak perlu minta maaf, dan... Kamu tidak perlu merasa bersalah seperti ini", Cakya bicara panjang lebar, suaranya terdengar sangat lembut.

Erfly kecil menatap ayah Cakya yang terbaring lemah diatas tempat tidur.

Ayah Cakya melemparkan senyuman terbaiknya kepada Erfly.

"Lagian, ayah Om sudah tidak apa-apa. Ini Om baru selesai menyelesaikan administrasi, ayah Om sudah boleh pulang", Cakya mengayunkan amplop coklat yang ada di tangannya.

"Om mau langsung pulang ke Sungai Penuh...?", Erfly bertanya bingung.

Cakya hanya mengangguk pelan, "Urusan Om sama ayah Om sudah selesai disini. Makanya kita akan langsung pulang cantik", Cakya mencubit lembut pipi kanan Erfly.

Erfly kecil langsung menyerbu memeluk tubuh ayah Cakya yang berbaring diatas tempat tidur.

"Terima kasih", Erfly kecil berbisik disela tangisnya.

***

Alfa memeriksa keadaan Erfly. Tidak ada satu detilpun yang dia lewatkan. Setelah memastikan semua baik-baik saja. Alfa melangkah keluar ruangan ICU.

"Bagaimana ko...?", Satia bertanya dengan suara pelan.

"Kita akan lakukan operasi. Karena Erfly sudah pernah menjalani operasi transplantasi jantung sebelumnya, kali ini akan memakan waktu yang cukup panjang nantinya. Banyak-banyak berdo'a ", Alfa memukul pelan lengan Satia sebelum meninggalkan Satia sendirian di depan ICU.

" Ayah...", Erfly kecil memanggil pelan.

Satia spontan menghapus kasar air matanya yang keluar tanpa permisi. "Sudah ketemu sama malaikat penolongnya cantik...?", Satia bertanya lembut. Kemudian menarik Erfly untuk duduk diatas pangkuannya.

"Kakek itu ayahnya Om Cakya", Erfly bicara pelan.

"Oh... Ya...?", Satia pura-pura terkejut.

Erfly kecil memeluk lembut ayahnya. "Waktu Erfly jatuh di gunung, Om Cakya juga yang membantu Erfly. Sekarang malah ayah Om Cakya celaka gara-gara Erfly", Erfly bicara pelan.

Satia mengusap pelan kepala Erfly.

"Katanya Om Cakya dan ayahnya akan pulang hari ini, Om Cakya lagi siap-siap", Erfly menatap lekat wajah ayahnya.

"Iya, nanti ayah minta anggota untuk mengantarkan mereka", Satia bicara lirih, mengusap lembut pipi putrinya.

"Teh...", Satia menoleh kearah Nadhira.

Tidak perlu ucapan, Nadhira sudah tahu apa yang diinginkan oleh Satia. Nadhira segera meraih Erfly.

"Sayang... Kita kembali ke hotel, lihat bang Hasan dan kak Husen", Nadhira bicara sangat pelan.

"Erfly pulang dulu yah", Erfly dengan berat hati mencium ayahnya.

Satia mengacak pelan pucuk kepala putrinya, "Anak pintar", Satia bicara di sela senyumnya, melepaskan kepergian putrinya.

Setelah kepergian si kecil Erfly, Alfa keluar mendorong Erfly yang terbaring di atas tempat tidur. Satia dengan setia ikut mendorong tempat tidur Erfly menuju ruang operasi.

Waktu seolah berjalan lambat, Satia memilih untuk ke lantai paling atas rumah sakit. Satia mengeluarkan rokok dari saku celananya, kemudian membakar rokoknya. Satia menghisap dalam rokoknya berusaha keras untuk menenangkan dirinya.

Tepat setelah Satia menghabiskan 3 batang rokok berturut-turut, HP Satia berbunyi. Satia melirik sekilas nama yang muncul di layar. Begitu melihat nama Alfa yang muncul, Satia segera mematikan rokoknya. Berjalan setengah berlari menuju ruang operasi, terlihat Alfa sedang cemas menunggu kehadiran Satia.

"Erfly mengeluarkan banyak darah", Alfa bicara pelan.

"Berapa kantong...?", Satia langsung menyela ucapan Alfa.

"5 kantong", Alfa menjawab sesingkat mungkin.

Satia tidak merespon ucapan Alfa, otaknya segera bekerja. Erfly punya golongan darah AB negatif, golongan darah yang cukup sulit untuk ditemukan.

"Dalam satu jam kedepan, kita harus dapat setidaknya satu kantong darah. Kalau tidak... Erfly tidak bisa selamat", Alfa langsung bicara to the poin.

avataravatar
Next chapter