1 BAB

"Gara-gara Bokap lo, Adx Bokap Gue mati, gara-gara Bokap lo juga Bokap sama Nyokap Gue pisah, dan gara-gara lo juga Bokap sama Nyokap Tiri Gue Mati." Teriak Candra di depan muka Bunga.

Di kamar yang dulu di tempati kedua orang tua angkatnya yang juga merupakan kedua orang tua Candra, Bunga di tindih oleh Candra di lantai yang di lapisi karpet tebal, tempat ternyaman yang biasa dia dan teman-temannya gunakan untuk tidur, nonton atau mengerjakan tugas kuliah. Namun sekarang, tempat itu menjadi tempat yang menakutkan bagi Bunga, karena kedua tangan Bunga di cekal di samping tubuhnya, dengan posisi tubuh candra di atasnya.

"Bukannya idup dengan penyesalan, lo malah hidup enak dan bersenang-senang dengan teman-teman lo." Candra mengangkat kedua tangan Bunga dan digabungkan di atas kepala Bunga dan di tekan dengan satu tangan Candra. Bunga memberontak, tapi sia" saja karena tenaganya kalah jauh dibandingkan tenaga candra.

Tidak ada tangis, tidak ada kata dan tidak ada pembelaan apapun yang keluar dari mulut Bunga. Hanya perlawanan lemah dengan matanya yang memancarkan penyesalan, kesedihan dan ketakutan. Bunga tau semua yang di ucapkan kakaknya itu benar, iya... kakaknya. Lelaki di hadapannya ini dulu adalah kakak laki-lakinya, sebelum dia SMP, sebelum kedua orang tuanya ribut dan sebelum kecelakaan maut itu terjadi.

Sambil tersenyum licik, Candra mulai membuka baju kaos Bunga keatas, tangannya mulai menyentuh kulit mulusnya "Sekarang semua perbuatan Bokap lo itu bakal gue kembaliin sama anaknya, beserta bunganya." Setelah mengucapkan itu, candra mulai mencium bibir Bunga yang merah alami. Bibir lembut itu di serang dengan brutal, meskipun bunga memberontak dan menggeliat untuk menghindar, tetap saja dia tidak bisa lepas dari pungutan kasar candra. Tangan candra terus meremas dua gunung kembar Bunga dan menyentak kasar bra yang menutupinya, candra terpaku sejenak melihat dua gunung kembar tanpa penutup itu. Setelah melihat tubuh polos Bunga, Candra menatap langsung mata Bunga yang telah mengeluarkan air mata. "Lo bakal jadi milik gue malam ini, dan tubuh lo bakalan Gue jadiin tabung... My Rosee." Candra mendekat kewajah Bunga dan membisikkan kalimat itu, kalimat yang membuat Bunga melotot dan langsung mengeluarkan suaranya.

"Tidaakk... Hiks... Hiks... Jangan kak, aku mohon jangan... Hiks... Hiks... Maafin aku kak andra... Hiks... Ampuni aku kak, aku mohon." Isak Bunga sambil mencoba melepaskan diri dari kurungan tubuh Candra. Namun semua usaha dan permohonannya sia-sia, Candra sudah gelap mata oleh emosi dan hawa nafsu yang sudah mencapai ambang batas. Pikirannya hanya di penuhi satu tujuan, membalas dendam atas kematian kedua orang tuanya dan... melampiaskan nafsu yang selama ini tertahan. Bunganya... Mawarnya... Adik Angkatnya... My Ross.

♢♢♢♢♢♢♢♢♢

Drrrttttt..... Drrtttt....

Getaran suara Hp membangunkan Bunga dari tidurnya, dengan mata masih setengan terpejam dia ingin mengambil Hp yang berada di sampingnya. Sebelum tangannya mencapai Hp itu, ada tangan lain muncul dari belakangnya yang sudah mengambil Hp itu terlebih dahulu. Tangan maskulin dan berotot khas dari seorang lelaki, tangan yang langsung dia kenali pemiliknya. Bunga mencoba menoleh kebelakang punggungnya secara perlahan, setelah mengetahui siapa lelaki itu, Bunga menutup mulut dengan kedua tangannya dengan nafas tercekat, dan kemudian langsung melihat tubuhnya yang berada di bawah selimut tipis. Tubuh polos tanpa sehelai benangpun, dengan bercak darah pada selangkangannya yang di iringi rasa sakit, Hati dan tubuhnya sakit. Tubuhnya bergetar hebat menahan tangis dan jeritan. Dunianya hancur seketika, kenapa? Kenapa mimpi buruk ini menjadi nyata. Sementara Bunga berkutat dengan perasaannya, pemuda yang ada di belakangnya itu tengah berbicara di telpon tanpa menghiraukan Bunga yang ada di sebelahnya.

"Hmmm.... Ada apa?!"

"..."

"Nanti siang."

"..."

"Ada urusan yang harus aku selesaikan dulu, jangan menungguku." Telepon ditutup dan dilempar kesamping dengan kasar oleh pemuda itu. Setelah menutup telepon, pemuda itu kembali manatap Bunga yang merengkulkan tubuhnya dengan tubuh bergetar.

"Ini bukan mimpi dan ini semua adalah kenyataan." Ucap pemuda itu di telinga Bunga yang langsung membuat tubuh Bunga kaku seketika, dengan senyum liciknya dia menambahkan "dan mimpi burukmu ini masih belum berakhir... My Ross." Dengan sentakkan kuat pemuda itu kembali membalikkan tubuh Bunga, dan memposisikan dirinya di atas Bunga. Bunga menjerit, terisak dan memberontak melawan perlakuan kasar itu. Tapi semua kembali sia-sia, tenaga pemuda itu lebih besar dari Bunga, hanya menangis pilu yang bisa dilakukan Bunga. Sampai semua terasa sakit dan gelap kembali.

Matahari sudah berada di atas puncaknya, terik panas sudah terasa di luar rumah itu. Rumah yang dulu penuh tawa bahagia penghuninya, sekarang sunyi sepi. Hanya isak tangis seorang wanita dan suara bariton seorang pemuda yang mengisi suara dalam rumah itu.

"Jangan salahin gue, salahkan saja Bokap kandung lo yang memulai semua ini duluan. Akhh... atau mungkin juga sekarang dia udah membusuk di neraka. Hahaha...." Ucap pemuda itu pada gadis yang tergeletak di lantai kamar, sambil bersiap-siap meninggalkan kamar itu. Sebelum mencapai pintu dia menambahkan "Urusan gue samo lo belom kelar, jadi jangan harap lo bisa kabur dari gue. Baik tubuh maupun hidup lo udah jadi milik gue... My Ross. Hahahahaha...." Pemuda itu langsung pergi meninggalkan gadis itu sendiri, menatap kosong ke jendela kamar itu.

Kamar yang dulu menjadi tampatnya melepaskan rindu tiap kali Bunga merindukan ke dua orang tuanya... Ralat, orang tua angkatnya yang sekaligus adalah orang tua kandung dari pemuda tadi, pemuda yang telah merenggut kehormatannya, pemuda yang telah menghancurkan masa depannya, pemuda sekaligus kakak yang sangat dia rindukan. Ingin sekali Bunga mengutuk Ayah kandungnya langsung dan memutar kembali waktu. Tapi tidak ada yang bisa di lakukannya, Ayah kandungnya telah meninggal dan waktu tidak bisa di putar. Semua ucapan pemuda itu, Candra ada benarnya. Karena sifat egoisnya dulu yang menyebabkan ke dua orang tua angkatnya meninggal.

♢♢♢♢♢♢♢♢♢♢

Enam tahun yang lalu.

"Papa jawab Andra Pa, apa bener yang di bilang sama Nenek? Kenapa Papa malah ngasuh anak seorang pembunuh Pa, dia gx pantes dapatin kasih sayang Papa sama Mama." Teriak anak lelaki itu. Rumah itu sepi, hanya Candra dan Papanya yang mengisi ruang keluarga itu. Mamanya sedang pergi menjemput Adik laki-lakinya di Sekolah Dasar Kota Itu, sementara pembantunya izin pulang kampung. Tanpa di ketahui Candra dan Papa Fahlefi Adjikusuma, ada seorang anak perempuan yang tidak sengaja menguping pembicaraan mereka, anak perempuan yang dikira Candra dan Ayahnya masih di sekolah.

Bunga izin pulang cepat hari itu, karena periode bulanan yang selalu menyiksa perutnya. Tapi betapa kagetnya Bunga, ketika baru mau membuka pintu rumah, dia disuguhkan pembicaraan Kakak dan Papanya. Awalnya Bunga ingin pura-pura masuk tanpa mempedulikan pertengkaran itu, tapi begitu Candra menyebutkan namanya, Bunga diam terpaku di tempat.

"Setelah Memperk☆sa tante Tiwi, Bajingan itu lolos begitu saja sehinggan menyebabkan tante Tiwi mati bunuh diri. Belum puas dengan kematian tante, Keparat itu juga memperk☆sa Mama yang membuat Mama depresi karena keguguran. Namun Papa dan Mama malah membesarkan anak Perempuan Bajingan itu, kenapa gx Papa bunuh aja anak sialanya itu Pa?" Tanya Candra pada Papanya.

"Mawar gx salah nak, dia hanya anak yang tidak berdosa, anak yang terlahir dari orang tua yang salah. Anak tidak bisa memilih orang tua kandungnya Ndra." Jawab Lefi menenangkan anak lelakinya.

"Tapi gx harus di asuh juga Pa, Papa bisa taro' dia di panti asuhan." Ucap Candra Frustasi. "Dulu Andra bingung kenapa cuma wajah dia yang beda di antara kita bertiga, Mama bilang karena dia anak cewe jadi mukanya beda sama Candra dan Angga. Bodohnya Andra percaya dan tetap ngasih kasih sayang layaknya kakak sama Adek kandung ke dia, tapi kenyataanya sekarang. Andra jijik tiap mengingat semua itu Pa. Andra gx mau hidup sama anak sialan itu." Terang Candra sambil mengusapkan kedua tangannya dengan kasar ke muka.

"CANDRA... Jangan sembarangan bicara kamu nak. Biar bagaimanapun dia Adik kamu, Mawar sudah bersama kita dari Bayi. Gak ada seorangpun yang boleh menyebut dia seperti itu, termasuk kamu..." Sergah Pak Lefi pada anak laki-lakinya.

Bunga sudah tidak ingin mendengar kelanjutan pertengkaran itu lagi, sakit perutnya menghilang dan digantikan dengan perasaan yang menyesakkan di dada. Air mata menetes bagaikan air terjun di pipinya, suara isak tangis dia tahan sambil berlari kecil keluar pekarangan rumah itu. Bunga lari dan terus lari, dia tidak tau harus lari kemana, yang jelas dia hanya ingin lari dari rumah itu. Kenyataan pahit datang bagaikan petir yang menyambar di hari yang cerah, kenyataan yang tidak dia duga. Sewaktu kecil, teman-teman selalu mengejeknya sebagai anak pungut. Para tetangga dan teman-teman Mama yang selalu bertanya setiap melihatnya, kenapa dia berbeda dari kedua anak laki-lakinya. Nenek yang selalu membenci dan memusuhinya di iringi tatapan jijik dimata Kakek. Serta kesedihan yang selalu dia lihat dimata Mamanya, setiap kali Mama melihatnya. Semua pertanyaan itu terjawab, dia diberikan jawaban yang paling mengerikan dari semua jawaban yang pernah dipikirkannya. Dulu dia hanya mengira, mungkin dia anak panti asuhan yang di angkat Mama dan Papa atau anak yang dipungut. Tidak terpikir jika dia adalah anak dari seorang Bajingan, yang sudah membuat nenek kehilangan putri semata wayangnya.

Setelah puas menangis dan menenangkan diri, Bunga masih berada di taman dekat sekolahnya. Dia sengaja ingin menghabiskan waktu sampai sore, untuk menenangkan diri dan menghilangkan matanya yang membengkak. Tiba-tiba ada handuk basah yang disodorkan ke arah mukanya. Bunga menatap ke atas untuk melihat siapa yang memberinya handuk, yang ternyata adalah Andi atau lebih tepatnya Riandi, anak laki-laki dari teman Papa yang tinggal di lingkungan yang sama dengannya.

"Pake tuh, buat ngilangi bengkak di mata kamu." Ucapnya sambil mendorong handuk basah itu padaku beserta sebotol air mineral dingin, lalu duduk di ayunan sebelahku.

Dengan menunjukkan senyuman paling manis aku mengucapkan "Terima kasih kak."

"Hmmm."

Kami duduk dalam diam, tanpa ada satupun yang bicara atau sekedar berbasa basi, kami tenggelam dalam lamunan masing-masing. Hingga tak terasa matahari sudah hampir tenggelam, aku harus pulang agar mereka tidak curiga.

"Ini kak handuknya, Makasih yah kak. "Sambil menyerahkan handuk itu aku mengucapkan terima kasih.

Sambil melihat tanganku dia menjawab "Bawa pulang tuh handuk, cuci, kalo udah bersih baru kembalikan padaku." dan kemudian dia berlalu pergi dari hadapanku. Cowo aneh, tapi aku berterima kasih padanya karen sudah menemaniku tanpa banyak bertanya.

Setelah mandi aku merebahkan diri di atas kasurku yang empuk, aku melihat kamar ini. Kamar yang berhiaskan ornamen serba Pink dan Biru Langit, warna kesukaanku. Aku memikirkan kembali yang terjadi hari ini, semua kilasan itu membuatku ingin menangis. Belum sempat aku berpikir jernih, Mama mengetuk pintu kamarku.

"Mawar, cepat bangun dan ayo makan. Papa sama yang lain sudah menunggu dibawah." Ujar Mamaku, atau tanteku.... Entahlah.

"Iya Ma bentar." Jawabku.

"Buruan, Mama tunggu dibawah." Setelah mengucapkan itu, aku dengar suara langkah kaki Mama menjauh, meninggalkan pintu kamarku. Aku kembali menenangkan diri, menarik nafas dalam dan menghembuskannya. Setelah tenang, aku meninggalkan kamarku menuju ruang makan di lantai bawah. Ketika melihat pemandangan di depanku, hatiku sakit, mereka bukan keluarga kandungku. Aku orang asing di sini, orang yang tidak seharusnya ada di sini. Sambil menekan perasaan sakitku, aku memberikan senyum sambil duduk di samping Mama.

"Anak gadis Papa kok Magrib-magrib tidur, gak baek nak buat kesehatan. Jangan di biasain yah." Nasehat Papa padaku.

Sambil tersenyum malu aku menjawab "Iya Pa, maafin Mawar. Janji gx lagi-lagi kok."

"Bo'ong, palingan besok kak Mawar udah lupa Pa sama janjinya. Kak Mawar kan doyan gitu Pa." Ujar adik laki-lakiku, atau anak bungsu keluarga ini, Angga.

"Kapan kak Mawar gitu dek, kayaknya gx pernah deh. Gx pernah inget ada janji sama adek. Hahaha...." Balasku sambil mencubit pipi Angga yang duduk di depanku gemas. Namun yang terjadi selanjutnya membuatku terpana, kakaku langsung memukul tanganku kasar dari wajah Angga.

"Tuh tangan udah di cuci belom, tangan kotor pegang-pegang orang. Menjijikan." Ucap kak Andra sinis padaku.

"ANDRAA... Jaga mulutmu." Tegur Papa pada kak Andra.

Sambil menetralkan reaksi mukaku aku langsung menghentikan pertengkaran itu "Gx Papa kok Pa, kak Andra bener kok. Tanganku kotor, belum sempat cuci tadi abis dari kamar langsung turun." Ujarku sambil cengengesan "Aku cuci tangan dulu yaah." Aku langsung meninggalkan meja makan dan menuju wastafel dapur mencuci tanganku.

Semenjak hari itu, hidupku bagai di neraka. Penyebab utamanya adalah kak Candra. Tiap ada kesempatan, dia selalu menghina, mengejek, mencacimaki bahkan mendorogku sampai jatuh. Aku bersikap biasa saja awalnya, tidak ingin membuat Papa dan Mama khawatir, hingga suatu ketika aku mendengar pertengkaran Mama dan Papa. Mama meminta cerai dari Papa dan ingin membawaku bersamanya. Tapi Papa tidak ingin bercerai, yang menyebabkan adu argumen setiap hari. Aku tidak tahan lagi dan mendobrak masuk ke ruangan kerja Papa, aku meminta penjelasan kenapa mereka ribut ingin bercerai. Papa dan Mama hanya terdiam, kemudian mama jatuh di sofa dan menangis tersedu. Aku ingin menghampiri Mama, tapi kakakku yang masuk keruangan itu tiba-tiba langsung menepis tangunku sambil melotot padaku. Melihat hal itu, aku langsung berlari ke kamarku. Menangis, melampiaskan kesedihan yang aku rasakan.

Malam setelah kejadian itu, aku dengar Papa dan Mama bertengkar lagi. Mendengar pertengkaran itu, aku melangkahkan kaki keluar kamar, bertepatan dengan kak Andra yang juga keluar dari kamar di depan kamarku. Saat hendak turun, dia menarik tanganku dengan kasar agar tetap di tempat.

"Puas lo liat Papa sama Mama ribut karena lo?" Serangnya.

"Maksud kak Andra apa? Mawar gx ngerti kak." Kataku bingung.

"Pura-pura blo'on lagi lo." Jawabnya sambil menonyor keningku "Gara-gara lo ketentraman rumah ini terganggu." Ucapnya lagi.

"Aku gx ngerti maksud kak Andra apa, aku mau turun buat liat Mama." Kataku sambil melepaskan tanganku dari cengkraman tangannya.

"Mau kemana lo, gue belom selesai ngomong." Dia menarik tanganku lagi, tapi aku menepiskannya. Tanpa aku sadari, aku terpeleset dari tangga, dia ingin menarikku, tapi aku sudah terlanjur jatuh. "MAWAARR..." Terakhir yang kuingat adalah suara dan wajahnya yang ketakutan, wajah yang dulu selalu dia perlihatkan ketika aku melakukan hal bodoh yang membuatku celaka. Wajah cemas dan khawatir. Wajah yang aku rindukan, dan semua menjadi gelap gulita.

Bau rumah sakit yang menyengat, suara mesin pendeteksi tekanan darah dan jantung dan suara-suara langkah kaki itu membangunkanku. Perlahan aku membuka mataku yang terasa berat, silaunya cahaya membuatku mengerjapkan mataku beberapa kali untuk membiasakan cahaya masuk kemataku. Aku melihat Mama yang tersenyum senang dan langsung memelukku.

"Mawar, jangan nakutin Mama lagi nak... Hiks... Hiks... bentar yaah, Mama panggilin Dokter." Ucap Mamaku yang kemudian berlari kecil memangil Dokter jaga di luar.

Sejak aku terbangun, sudah Sepuluh hari aku sudah di rumah sakit dan jika di hitung bersamaan dengan lama aku pingsan, maka 14 hari atau dua minggu aku terbaring di rumah sakit. Luka pada kepalaku cukup serius, hal inilah yang membuatku tidak bisa cepat keluar rumah sakit. Selama aku terbaring, hanya Mama yang menemaniku dan Papa yang sekali-sekali datang menjengukku, dari cerita Mama aku mengetahui bahawa Kakak dan Adikku di titipkan pada Nenekku, karena dirumah tidak ada yang menjaga mereka sebab kesibukan Papa di kantor dan Mama yang menjagaku. Tidak terasa besok aku sudah di izinkan pulang, Papa yang akan menjemput kami karena supir Papa lagi sakit. Aku tidak bertanya, mengapa kak Andra tidak pernah datang menjengukku. Setelah Mama bilang bahwa kakakku menyesal tidak sempat menangkapku waktu itu, tidak ada yang ingin aku tanyakan lagi.

Suara ribut di depan kamar rumah sakit membangunkan aku, aku mendengar suara Mama dan Papa yang ribut kembali. Tidak lama setelah itu, mereka diam dan aku pura-pura tidur kembali. Mama masuk di iringi Papa, membangunkanku agar segera bersiap-siap untuk pulang.

"Mawar, ayo bangun nak,,, ayo siap-siap kita pulang." Panggil Mamaku.

"Hmm... Iya Ma." Jawabku berpura-pura bangun tidur.

"Ayo nak, kita pulang,,, Papa kangen sama bawelnya anak gadis Papa ini." Goda Papaku.

"Iya Pa." Jawabku.

Dalam perjalanan pulang, Mama dan Papa berdebat lagi kemana kami harus pulang. Papa memaksa agar kami kembali ke rumah Nenek, sementara Mama ingin kembali kerumah kami sendiri. Pertengkaran berlanjut sampai pembicaraan Perceraian kembali di ungkit. Aku tidak tahan lagi, jadi aku putuskan memberanikan diri untuk bicara.

"BERHENTIIIII.... CUKUP... Hiks... Hiks... Hiks..." Teriakku,,, sambil menangis aku memberondong kedua orang tuaku dengan pertanyaan "Siapa orang tua kandungku sebenarnya Pa, Ma!?" "Dimana mereka tinggal!?" "Kenapa aku bisa tinggal sama Papa dan Mama!?" " Apa benar aku anak manusia Lakn☆t yang menghancurkan hidup Mama!?" "Apa aku memang anak dari seorang Pembunuh Pa!?"

"Sayang, kamu denger itu dari mana!? Itu gak ben..."

"Jangan bohong lagi Pa, jawab pertanyaan Mawar, Mawar mohon. Hiks... Hiks... Hiks..."

"Mawar, dengerin Mama... kamu anak Mama Nak, Mama....."

"Bohong... Mama sama Papa Pembohong."

"Mawar denger...."

"Mawar gak mau dengar kebohongan Papa sama Mama lagiii.... Mawar benci Papa, Mawar benci Mama... Hiks... Hiks... Hiks..."

"Mama sama Papa sayang kamu nak, kamu anak Papa sama Mama." Ucap Papa menenangkan.

"Bohong." Balasku sambil menatap Mama dan Papa bergangtian, dengan senyum kecut aku menambahkan. "Kenapa Papa gx jujur aja, Bukankah aku adalah anak dari seorang Pemerk☆sa Pa?." Tanyaku tersenyum getir.

"MAWAR... Apa-apaan kamu." Bentak Papaku. Aku kaget, karena baru kali ini Papa membentakku. Tapi yang membuatku kaget adalah kejadian selanjutnya, dimana Mama menjerit histeris.

"Aakkhhhh.... Tiidaakk.... Tolong lepaskan aku... Tidaakkk... Jangan sentuh aku... Aaaaaa..." Teriak Mamaku Histeris.

"Sayang tenang sayang, aku di sini... Lena liat aku... Aku di sini sayang." Ucap Papaku mencoba menenangkan Mama. Teriakkan suara Mama yang menjerit histeris membuatku terpaku.

"PAPA AWAASS...." Kejadian selanjutnya membuatku kehilangan kedua orang tua yang menyayangiku selamanya. Karena mencoba menenangkan Mama, Papa tidak melihat kearah depan, dimana ada mobil tronton besar lewat, dan selanjutnya aku kembali tenggelam kedalam kegelapan.

Tragedi itu yang menyebabkan banyak yang berubah dari hidupku, anak gadis yang dulu ceria sekarang menjadi tanpa ekspresi. Tawa dalam hidupku telah hilang, rumah yang dulu ceria sekarang penuh duka. Bukan hanya kehilangan kedua orang tuaku, bahkan aku juga telah kehilangan kedua saudaraku. Kata-kata Nenek yang menyebutku Pembunuh tidak terlalu berpengaruh padaku, tapi kata yang keluar dari Kakakulah yang membuatku mengalami mimpi buruk seumur hidupku.

"Seharusnya Mama dan Papa membuangmu dari dulu, tapi mereka tetap membesarkanmu dengan kasih sayang. Tapi lihat,, tidak cukup hanya membawa sial, kau juga telah merenggut nyawa orang tua yang membesarknmu. Kau telah memisahkan dan merampas orang tua dari anakny. ANAK PEMBUNUH AKAN MENJADI PEMBUNUH. Jangan pernah muncul di hadapan kami lagi, Manusia Menjijikan, jika kau muncul dihadapanku lagi, akan aku pastikan hidupmu akan aku hancurkan." Ucap Andra, kalimat yang membuatku selalu bermimpi buruk setiap malam.

Sekarang, enam tahun kemudian. Semua ucapannya telah dia buktikan. 'Selamat kak, kau berhasil memenuhi janjimu untuk menghancurkan hidupku.' Dengan tubuh yang kesakitan, aku menyeret tubuhku yang hanya berbalut selimut tipis ke kamar mandi. Dengan pancuran air hangat, aku membersikan sisa-sisa kekejaman yang terjadi pada tubuhku. Menggosok dan terus menggosok sampai aku merasakan pedih pada kulitku, pedih yang membutku menangis. Aku menangis bukan karena perlakuan kakakku, iya,,, aku menangis karena kulitku yang mengelupas akibat terus kugosok . Aku menjerit, menjerit dan terus menjerit. Mengeluarkan semua kesedihan yang selama ini kutahan. Air mata sudah bercampur dengan air hangat dari atas kepalaku, aku terduduk dibawah pancuran air yang mengalir sambil memeluk lututku. Menangis pilu. Maaf ma, aku ingkar janji untuk tidak menangis lagi, maafkan mawar kali ini Ma, hanya kali ini saja biarkan Mawar menangis sepuas hati. Hanya hari ini.

avataravatar
Next chapter