webnovel

BUMI (satu)

"Kenapa?" tanya laki-laki yang tanpa izin duduk di sebelahku. Memang tidak harus pakai izin karena ini tempat umum. Walaupun ini tempat umum, tapi hanya ada aku dan dia sekarang. Aku menoleh, melihat ia memakai kaus hitam polos. Apa ia malaikat pencabut nyawa yang menyamar? Apa ia sudah siap mencabut nyawaku? 

"Bumi" katanya lagi sekarang sambil mengulurkan tangannya. Dia mau mengajakku pergi dari bumi atau mengenalkan bumi padaku? Aku kan memang sudah berada di bumi.

Aku menghapus air mataku dan menerima uluran tangannya harap-harap ia memang membawaku pergi dari bumi sekarang.

"Kenapa nangis?" tanyanya.

"Kamu gak ajak aku pergi dari bumi sekarang? Aku ingin pergi dari bumi" 

"Kenapa?"

"Karena kamu tadi bilang BUMI"

"Itu namaku" aku agak terkejut dengan perkataannya.

"Maaf"

"Kenapa nangis?"

"Gak apa-apa"

"Gak mungkin"

"Mungkin"

"Mau ikut aku?" ajaknya.

"Kemana?" 

"Ikut saja"

"Tapi kita belum kenal"

"Aku Bumi, lalu kamu?"

"Aeera Barsha"

"Jadi sekarang sudah kenal kan?"

"Tapi tetap saja kita baru bertemu, kalau kamu orang jahat bagaimana?"

"Aku bukan orang jahat"

"Bagaimana bisa aku percaya?"

"Aku tidak memberimu permen" jawabannya aneh. Dia pikir aku anak kecil? 

"Aneh"

"Jadi, mau?" Aku mengangguk saja. Lagi pula kalau dia orang jahat, aku bisa apa? Aku juga sudah tidak peduli. Tidak ada yang peduli juga padaku. Jadi yasudah.

Dia mengajakku berjalan dan membawa ku ke tempat angkringan dipinggir jalan raya.

Dia memesan 2 air putih hangat. Hanya air putih hangat. Ingat itu. Aku tidak tau kenapa ia mengajakku kesini. 

"Aku bawa motor" katanya mulai bicara entah pada siapa. Aku hanya diam, aku tidak tau ia bicara dengan siapa karena tiba-tiba ia membahas motor.

"Nanti aku antar pulang" katanya lagi.

"Makan gorengannya, kamu habis menangis jadi butuh mengisi energi yang kamu buang tadi"

Saat ia bicara tentang menangis, berarti dari tadi ia bicara denganku. Dan aku diam saja. Konyol sekali, baru kenal sudah mau antar pulang.

"Sepertinya kamu sampai terisak, matamu sangat sembap" aku langsung memegang mataku. Benar saja sepertinya memang seperti itu. Aku meminum air putih hangat yang sudah ada didepanku tanpa menjawab 1 pun perkataan yang ia berikan kepadaku.

Kemudian ia benar-benar mengantarku pulang. Dengan motor Vespa Matic nya yang berwarna hijau army, dan 2 helm. Yang 1 ia berikan padaku.

"Aku pulang" aku hanya mengangguk.

"Bumi" aku memanggilnya sebelum ia menaiki motornya untuk pulang. Ia menoleh.

"Terimakasih" 

"Sama-sama. Kalau mau, besok aku jemput, kamu mau pergi tidak?"

"Tapi kita benar-benar belum kenal"

"Sudah tadi, aku Bumi dan kamu Barsha, benar, kan?" Aku mengangguk lagi. "Jadi, mau?" 

"Iya" 

"Aku jemput jam berapa?"

"Sesukamu"

"Jam 2 pagi, boleh?"

"Tidak sepagi itu, Bumi" dia tertawa renyah.

"Jam 11 bagaimana?" Aku mengangguk dan tersenyum. "Sekarang, aku boleh pulang?" 

"Aku tidak melarangmu pulang"

"Tapi kamu memanggilku tadi, jadi aku tidak jadi pulang"

"Yasudah sekarang boleh"

"Kamu mengusir?"

"Tidak, Bumi. Kan tadi kamu ingin pulang" aku kesal. Dia tertawa.

"Aku bercanda, yasudah aku pulang. Jangan menangis lagi, kita memang baru kenal tapi itu tidak masalah kan? Sampai jumpa"

Aku tersenyum menatap Bumi dan motornya yang lama-lama menjauh. Aku masuk ke dalam rumah.

Pemandangan yang sangat membuat hatiku teriris. Rumah berantakan. Pecahan barang dimana-mana. Rasanya aku tidak ingin pulang tadi, tapi sudah terlanjur pulang. 

"Bu" panggilku lirih. Ibu hanya diam tidak menjawab. Mata ibu sembap, pipinya basah. Aku tau ibu habis menangis, dan sekarang mungkin masih menangis. Aku menarik nafas lengah. Aku lelah dengan keadaan seperti ini. Terus saja melihat pemandangan buruk yang membuatku tidak betah berada dirumah. Rumahku pun tidak pantas disebut rumah.

Bukan karena penampilannya. Penampilan rumahku sangat bagus, tapi tidak didalamnya. Tidak ada yang utuh. Aku menitikkan air mata lagi, cepat-cepat ku hapus air mata itu. Benci sekali, kenapa aku terus menangis. Cengeng. Aeera, kamu benar-benar cengeng. Aku lantas pergi ke kamar. 

Aku membuka buku berwarna abu-abu bertuliskan 'Cerita AB' AB itu singkatan nama ku. Aeera Barsha. Sampai sekarang aku tidak tau arti nama ku. 

Hai, kertas putih bergaris 

dihalaman kesekian.

Senang bisa berjumpa denganmu untuk menulis cerita hari ini.

Apa yang bisa kumulai? Ceritanya sama saja.

Tidak berubah. Tapi ada yang berbeda.

Aku bertemu dengan Bumi. Ah, bukan planet yang ku singgahi sekarang. Tapi dia Bumi. 

Seseorang yang baru ku kenal, yang mengajakku ke angkringan dengan memesan air putih hangat.

Seseorang yang memanggilku dengan nama belakangku 'Barsha'.

Mengantarku pulang dengan Vespa matic nya.

Dan 2 helm yang mungkin selalu ia bawa.

Dia peduli pada ku ya? 

Memangnya bisa orang lain peduli padaku? 

Setahuku, cuma kamu yang peduli padaku.

Bumi bilang 'kita memang baru kenal tapi itu tidak masalah' dia juga bilang kalau aku tidak boleh menangis lagi. 

Nanti ku beri tau yang mana namanya Bumi. 

Yasudah itu saja. 

Terimakasih atas ketersediaannya dicoret dengan tulisan dan cerita yang usang dan tidak bermakna.

-ab

Aku memilih memasang kedua Airpods ditelingaku. Menyetel lagu milik Westlife yang dirilis tahun 1999 berjudul I Have A Dream. Lagunya cocok untukku. Sedikit. Aku harus tidur sekarang. Aku ingin istirahat dari hari ini. Cukup lelah mengetahui semuanya belum baik-baik saja. Tapi tidak apa-apa, aku sudah terbiasa. Walaupun begitu aku masih saja tetap menangis. Benar-benar cengeng.

Sesekali aku memikirkan Bumi. Memangnya benar namanya Bumi? Apa ia tidak bohong? Namanya unik. Orangnya juga.

***

"Hai" sapanya. Hari ini sesuai janji kemarin, aku dan Bumi akan pergi. Entah kemana.

"Sudah siap?" aku mengangguk, dia memberi helmnya padaku yang langsung ku pakai.

"Kita mau kemana?" 

"Kamu mau kemana?"

"Ke tempat yang jauh, sangat jauh"

"Sudah makan?"

"Belum"

"Kita makan dulu, nanti baru kita pergi ke tempat yang sangat jauh. Mau ku antar ke mars? Aku bersaudara dengannya" katanya bercanda. Guyonannya sangat aneh tapi cukup menghibur.

Diperjalanan kami tetap mengobrol. Bumi yang selalu bicara ngelantur tentang dirinya dan Mars, juga planet lain. Aku terhibur dengan itu. Katanya dulu ia bersaudara juga dengan Pluto, tapi sekarang tidak. Alasannya apa tebak?

Alasannya, Bumi lebih cepat menemukanku dan mengajakku pergi dibanding Pluto. Dan Pluto cemburu. Makanya Pluto memutuskan hubungan persaudaraannya dengan Bumi. Sangat aneh, tidak masuk akal, tidak jelas. Manusia yang baru ku kenal minus sehari itu sudah begitu akrab denganku. Tapi aku nyaman dengan itu. Karena dia Bumi, Bumi yang baik.

Kalau aku salah menilainya karena baru mengenal dia minus sehari, coba kamu yang menilainya sendiri.

Aku dan Bumi sampai ditempat makan lesehan disamping danau. Udaranya menyegarkan disini walaupun sudah siang.

"Yuk turun" ajaknya. Aku turun dan mengikuti langkahnya. 

Bumi melihat-lihat menu disana. 

"Kamu mau makan apa?" 

"Terserah kamu saja"

"Kan kamu yang mau makan"

"Samakan saja, aku tidak tau mau apa"

"Kamu suka makanan apa?"

"Apa saja yang bisa dimakan dan cocok dilidahku"

"Apa ya yang cocok dilidahmu?" Ia memilih lagi. Aku benar-benar sudah membuatnya repot kali ini. Akhirnya ia memesankan makanan entah apa. 

"Sudah ku pesan, semoga itu benar cocok dilidahmu"

"Kamu pesan apa?"

"Nasi goreng spesial ati ampela ditambah dengan telur ceplok, cocok?" Aku mengangguk.

"Bagus lah, ternyata aku sudah bisa menebak mana yang cocok buatmu ya" dia tersenyum.

"Kalau kamu suka apa?"

"Kamu"

"Kok aku? Memangnya aku makanan?"

"Bercanda. Aku suka apa ya? Mmm... nasi sepertinya"

"Itu kan memang makanan pokok"

"Tapi ada yang tidak suka nasi, kan?"

"Iya juga"

Aku dan Bumi langsung makan setelah pesanannya datang. Nasi goreng spesial pesanan Bumi sangat enak. Tidak salah kalau ini benar-benar cocok dilidahku. Bahkan sangat cocok. Pedasnya saja pas. Bumi tau segalanya ya? Atau kebetulan. Mungkin kebetulan.

"Nasi gorengnya enak?" aku mengangguk sambil tersenyum. 

"Yasudah ayo naik"

"Sekarang kita mau kemana?"

"Katamu ke tempat yang jauh"

"Kamu mau menculikku sekarang?"

"Memangnya kamu mau aku culik?" Aku diam tidak menjawab.

"Masih berpikir kalau aku orang jahat?" Tanyanya.

"Ini KTP ku, boleh kamu pegang. Kalau tiba-tiba aku menculikmu, kamu bisa melaporkan aku"

Aku mengambil KTP nya lalu menatapnya.

"Aku sita ya" kataku sambil tertawa.

"Iya, boleh. Sekarang naik ya" aku langsung naik ke motornya. Dan ia mulai melajukan motornya entah kemana. Aku ikut saja. Tidak apa-apa juga kalau dia benar-benar ingin menculikku. 

Sampailah aku dan Bumi di tempat yang sepi. Banyak pohon disini. Tidak ada siapapun.

"Sampai" aku turun dari motornya.

"Lihat keatas pohon itu" aku langsung melihat ke atas pohon dan mendapatkan rumah pohon disana.

"Kita kesana?" Tanyaku senang. Bumi mengangguk.

"Yuk" 

Saat masuk kedalam rumah pohon, aku melihat ada beberapa camilan kripik dan buku. Ku rasa Bumi sudah mempersiapkan ini.

"Ini punyamu?"

"Apa?"

"Rumah pohon" Bumi mengangguk.

"Kamu siapin ini?"

"Bukan aku tapi Bi Iyem yang siapin" 

"Siapa?"

"ART yang sudah ku anggap seperti ibu ke-2 ku, nanti ku ajak bertemu dengannya" 

Saat ia bilang ia menganggapnya sudah seperti ibu ke-2, rasanya sangat menyentuh. Aku belum bisa menemukan cinta seorang ibu. 

"Dimakan ya camilannya, aku mau beli minum. Kamu jangan kemana-mana" aku mengangguk.

"Ini PSP ku" ia memberiku PSP berwarna merah yang mirip sekali dengan milikku. 

"Kamu bisa memakainya kan?" aku mengangguk.

"Dulu aku punya warna biru, sekarang masih ada, tapi charger nya hilang" 

"Yasudah kamu mainkan PSP ku, aku beli minum dulu" 

"Iya, terimakasih Bumi" Bumi tersenyum dan turun dari rumah pohon. Aku memainkan PSP miliknya itu. Menikmati permainan yang ada didalamnya. Seru sekali bermain dengan PSP ini. Sayangnya PSP ku sudah mati.

Dirasanya aku sudah cukup bermain, aku mematikan PSP dan meletakkannya disamping buku. Aku melihat keluar rumah pohon. Terlihat banyak pemandangan dari sini. Indah sekali. 

Ingin bisa terbang, agar dapat menjangkau dunia.

Ingin bisa terbang, supaya tidak perlu kembali kerumah dan bisa singgah dimana saja.

Bisakah burung meminjamkan sayapnya untukku? 

Next chapter