13 RASA KEHILANGAN

"Hanin sekarang kamu tidur ya? aku mau berangkat," ucap Hasta seraya melepas pelukan Hanin, namun Hanin semakin mempererat pelukannya.

"Bisakah tidak keluar kota Tuan?" tanya Hanin mengangkat wajahnya menatap wajah Hasta yang terlihat tampan.

"Aku harus berangkat Hanin karena ini sudah pekerjaanku," jawab Hasta yang hampir saja luluh dengan tatapan sedih Hanin. Tapi saat mengingat ucapan Hanin yang tidak bisa mencintainya dan tidak mungkin bisa hidup bersamanya, hati Hasta kembali terluka dengan sangat dalam.

"Jangan berangkat malam ini Tuan, biar aku bisa beberapa jam bersama anda," ucap Hanin dengan perasaan sedih.

"Hanin, bukankah aku sudah sering keluar kota? kenapa denganmu hari ini Nin?" tanya Hasta semakin berat untuk meninggalkan Hanin.

"Aku merasa, anda akan meninggalkan aku sendirian. Aku merasa takut kalau anda tidak bersamaku," jawab Hanin dengan jujur.

"Kenapa harus takut Nin, bukannya masih ada Jonathan dan Rafka yang selalu ada untukmu Nin?" ucap Hasta yang sudah tidak bisa menahan rasa cemburunya dengan dua nama yang ada di dalam hati Hanin.

Hanin kembali mengangkat wajahnya menatap penuh wajah Hasta.

"Keberadaan mereka tidak bisa sama dengan keberadaan anda di hidupku," ucap Hanin dengan perasaan sedih karena Hasta tetap akan meninggalkan dirinya.

"Tentu saja keberadaanku tidak sama dengan keberadaan mereka berdua Nin? keberadaan Rafka sebagai laki-laki yang kamu cintai, dan Jonathan sebagai sahabat dekat, sedangkan keberadaanku tak lebih dari seorang Ayah bagimu," ucap Hasta dalam hati yang begitu sangat terasa sakitnya.

"Aku harus pergi Nin, jaga dirimu baik-baik ya? jangan lupa raih cita-citamu dengan sungguh-sungguh," ucap Hasta dengan tatapan penuh kesedihan.

"Jangan pergi Tuan, aku mohon," ucap Hanin dengan suara tangisnya.

"Hanin jangan seperti ini, aku harus segera berangkat," ucap Hasta dengan suara tercekat. Sungguh perpisahan ini membuat hatinya lebih sakit lagi.

"Berjanjilah padaku untuk kembali cepat Tuan," ucap Hanin dengan tatapan memohon.

Hasta mengangguk pelan, kemudian melepas pelukan Hanin yang meninggalkan jejak pada kulit tubuhnya.

Dengan lambaian tangan dan wajah Hanin yang terlihat sedih Hasta meninggalkan segalanya. Meninggalkan Hanin dan juga rasa cintanya.

****

Tiba di kota M hari sudah menjelang pagi, Hasta dan Rahmat sudah mendapatkan Apartemen untuk tempat tinggal.

"Den Hasta, apa Den Hasta yakin bisa melewati hal ini sendirian? sedangkan Aden masih membutuhkan terapi dan obat-obatan untuk sakitnya Aden?" tanya Rahmat sangat menyesali keputusan Hasta untuk meninggalkan Hanin.

"Kita bisa ke rumah sakit yang terdekat di sekitar sini," ucap Hasta sambil duduk bersandar di sofa panjang.

"Bagaimana kalau Non Hanin menghubungi Den Hasta?" tanya Rahmat lagi berusaha mengerti dengan keinginan Hasta.

"Aku sudah membeli nomor baru, yang satu aku non aktifkan sementara, dan kalau Hanin menelepon bilang saja aku masih sibuk," jawab Hasta dengan tatapan yang hampa.

Rahmat terdiam sejenak, tidak mengiyakan perintah Hasta.

"Rahmat bisa minta tolong buatkan aku kopi," pinta Hasta selalu melanggar larangan Dokter.

"Den Hasta, kalau bisa di hentikan minum kopinya Den, kopi tidak baik untuk paru-paru Aden," ucap Rahmat terkadang tidak bisa menghentikan keras kepalanya Hasta.

"Sedikit saja, biar aku bisa kerja," ucap Hasta seraya membuka tasnya dan membuka berkas-berkasnya untuk pertemuan siang hari.

Karena tidak bisa lagi membujuk Hasta, dengan terpaksa Rahmat membuatkan kopi buat Hasta.

Dengan serius Hasta bekerja hingga tidak memperhatikan waktu.

"Den Hasta hari sudah siang, bukannya den Hasta ada acara pertemuan siang ini?" tanya Rahmat mengingatkan jadwal pertemuannya Hasta.

"Terimakasih sudah di ingatkan. Oh ya Rahmat, untuk hari ini, aku akan bawa mobil sendiri. Kamu istirahat saja di rumah," ucap Hasta yang sudah terlihat lelah.

"Tapi Den, kalau nanti Aden kecapekan siapa yang akan mengingatkan Den?" tanya Rahmat dengan kuatir.

"Tidak akan Rahmat, hari ini aku banyak pertemuan untuk penyelesaian kontrak jadi lebih baik aku bawa mobil sendiri," ucap Hasta dengan sebuah senyuman agar Rahmat tidak menguatirkan dirinya.

"Baiklah Den, tapi hati-hati saat berkendaraan ya Den? sekarang lagi musim hujan, cuaca sedang tidak bersahabat," ucap Rahmat menguatirkan kesehatan Hasta.

"Terima kasih, akan aku ingat nasihat kamu," ucap Hasta bersiap-siap untuk berangkat.

"Drrrt... Drrrt.. Drrrt"

Ponsel Rahmat bergetar ada panggilan dari Hanin.

"Den, Den Hasta," panggil Rahmat mengejar Hasta yang berjalan ke mobilnya.

"Ada apa?" tanya Hasta heran melihat Rahmat berlari-lari sambil membawa ponsel.

"Den, bagaimana ini? Non Hanin menelepon ke saya, mungkin karena menelpon Den Hasta tidak bisa akhirnya menelepon saya," ucap Rahmat dengan nafas terengah-engah.

"Kamu terima saja panggilannya, kalau Hanin menanyakan aku bilang kalau aku masih sibuk nanti aku akan menelepon balik. Aku berangkat dulu," ucap Hasta segera masuk ke dalam mobil dengan perasaan tak menentu karena rindunya pada Hanin. Dengan perasaan sedih, Hasta menjalankan mobilnya keluar dari halaman apartemennya.

Dengan perasaan iba, Rahmat menerima panggilan Hanin yang berkali-kali meneleponnya.

"Pak Rahmat, apa Tuan Hasta ada? ponselnya aku hubungi tidak bisa Pak, sepertinya mati," ucap Hanin dengan suara sedih di sana.

"Den Hasta, pagi-pagi sudah berangkat Non. Dan memang ponselnya ketinggalan di kamar. Nanti kalau sudah pulang saya sampaikan ya Non," jawab Rahmat terpaksa berbohong agar Hanin tidak kecewa.

"Semuanya baik-baik saja kan Pak?" tanya Hanin dengan perasaan gelisah.

"Baik-baik saja Non, Non Hanin jangan kuatir," jawab Rahmat lagi yang sebenarnya kasihan pada Hasta dan Hanin.

"Syukurlah Pak Rahmat kalau semuanya baik-baik saja. Karena aku berpikir Tuan Hasta sedang marah padaku Pak," ucap Hanin dengan suara yang terbata-bata menahan tangis.

"Tidak Non, jangan berpikir seperti itu. Den Hasta sangat menyayangi Non Hanin dengan tulus," ucap Rahmat ikut merasakan kesedihan Hanin.

"Baiklah Pak Rahmat, nanti kalau Tuan Hasta sudah datang bilang aku mencarinya ya Pak," ucap Hanin dengan perasaan sedih.

"Ya Non, akan saya sampaikan pesan Non Hanin," ucap Rahmat kemudian mengakhiri panggilannya.

"Ya Tuhan, ada apa sebenarnya ini? kenapa aku merasakan ada sesuatu yang berbeda dengan Tuan Hasta?" tanya Hanin dalam hati dengan pikiran yang gelisah. Sungguh sejak Hasta berangkat ke luar kota pikiran Hanin tidak lepas memikirkan Hasta.

Dengan perasaan yang masih gelisah Hanin pergi ke kampus di mana dia sudah semester dua sebagai mahasiswi di sana dengan mengambil jurusan keperawatan.

Setelah selesai dengan mata kuliahnya, dengan lesu dan tanpa semangat Hanin pulang ke rumah dan masuk ke dalam kamarnya.

Di dalam kamar, Hanin berusaha tidur untuk beristirahat tapi tetap saja pikirannya tidak lepas dari seorang Hasta.

Saat matanya mulai terpejam, terdengar ponselnya bergetar berulang-ulang. Dengan berpikir yang meneleponnya adalah Hasta, Hanin tersenyum dan meraih ponselnya.

Namun wajah Hanin menampakkan kekecewaan saat yang meneleponnya adalah Rafka kekasihnya bukan Hasta orang yang di nantinya.

avataravatar
Next chapter