webnovel

#069: Cara Untuk Tertawa

Bu Mirna paham apa yang sedang dirasakan menantunya itu. Meskipun, dia sudah berusaha menenangkan Sarah untuk tidak perlu khawatir, tapi tetap saja raut wajah Sarah menunjukkan kekhawatiran yang sedikit berlebihan.

"Sarah, kalau kamu perlu ke kamar kecil, Ibu bisa menunggui Endra di sini," kata Bu Mirna pada menantunya. Melihat Sarah sama sekali tidak beranjak dalam menunggui Endra. Barangkali Sarah ingin melakukan sesuatu tapi tidak mau meninggalkan Endra, makanya Bu Mirna menawarkan demikian.

Sarah bersiap protes, tapi sebelum kata itu keluar dari mulutnya, Sarah terdiam, kemudian mengangguk. "Saya nggak akan lama, tolong Ibu di sini sebentar ya."

Bu Mirna mengangguk dan memberikan senyuman lembut. Seperginya Sarah, Bu Mirna beringsut mendekati Endra dan mengganti kompres yang sejak tadi menjadi tugas Sarah.

"Kamu bener-bener beruntung, Ndra," gumam Bu Mirna disertai senyuman senang. Meskipun Endra tidak benar-benar mendengar gumaman ibunya. Karena selain matanya masih tetap terpejam, hembusan napasnya juga pendek-pendek seperti sedang menahan rasa sakit. "Rupanya pengorbanan kamu selama ini nggak sia-sia. Akhirnya kamu mendapatkan istri yang baik, yang sangat mengkhawatirkan kamu juga."

Bu Mirna melanjutkan. "Ibu yakin setelah ini, kamu pasti akan mendapatkan kebahagiaan kamu sendiri."

Bu Mirna membalik kompres di dahi Endra. "Kamu pasti akan bahagia, Ndra. Ibu yakin itu."

Sepuluh menit kemudian, Sarah sudah kembali. Wajahnya basah, dan matanya memerah seperti habis menumpahkan tangis. Bu Mirna yang melihat itu hanya bisa membuang napas panjang.

"Sekarang sudah siang, kalau kamu mau makan dulu, makan saja ya. Ibu masih bisa menjaga Endra selama kamu makan."

"Nggak kok, Bu. Saya nggak lapar."

"Apa mau Ibu yang mengambilkan makanan buat kamu?"

Sarah cepat-cepat menggerakkan telapak tangannya ke kiri dan kekanan. "Nggak, Bu, sama sekali nggak perlu."

"Lho, barangkali kamu masih malu, selama ini juga kan Endra yang selalu mengambilkan makanan buat kamu? Karena sekarang Endra sakit, biar Ibu saja yang mengambilkan makanan ya." Bu Mirna sudah siap berdiri dari ranjang, namun buru-buru dicegah Sarah.

"Bi-biar saya ambil sendiri saja, Bu. Tolong Ibu di sini dulu, biarkan saya ... makan dulu."

Bu Mirna akhirnya tersenyum. "Tenang saja, kamu nikmati saja makanan kamu. Setelah ini Ibu juga nggak ada kegiatan lain kok, palingan cuma ngerumpi sama ibu-ibu. Karena acara itu bisa ditunda, jadi tidak masalah."

Sarah mengangguk pelan. Kemudian Bu Mirna melihat Sarah takut-takut keluar dari kamar dan mungkin menuju dapur. Setelah Sarah pergi, Bu Mirna tidak bisa menyembunyikan senyuman lebarnya.

Saat tadi dirinya menyindir Sarah soal Endra yang biasanya membawakan makanan untuk Sarah, Bu Mirna sadar wajah Sarah langsung memerah menahan malu. Tapi itu tidak masalah, jika tidak melakukan itu, Sarah pasti akan bersikeras menunggui Endra dan sudah pasti akan lupa makan. Yang ada malah nanti begitu Endra sembuh, gantian Sarah yang bakal sakit. Jadi, mengerjai menantunya sedikit tidak masalah, bukan?

***

Sarah makan dalam diam. Dia sama sekali tidak berselera makan, mengingat Endra sedang sakit karena kesalahannya. Tapi jika tidak makan, ibu mertuanya akan memaksanya makan, bahkan menyindirnya seperti tadi yang membuat Sarah merasa begitu malu.

Beberapa saat sebelumnya, Sarah sempat menumpahkan tangisan saat ijin ke kamar kecil. Dia tidak bisa berhenti merasa bersalah, dan merasa sedikit lega saat tangisan-tangisan itu akhirnya berhasil dia tumpahkan.

Saat ini, Sarah benar-benar telah sadar, betapa tidak bergunanya Sarah selama datang ke rumah Endra ini. Bukan cuma tidak menyapa kedua orang tua Endra, Sarah bahkan mengurung diri di kamar saja, dan membiarkan Endra yang melakukan semuanya. Termasuk memberikan makanan yang rutin Endra bawakan ke kamar.

Ya Tuhan, mengingat soal ketidakbergunaan dirinya, Sarah benar-benar merasa malu. Rupanya kesedihan mampu merusak akal sehatnya, dan membuatnya bertingkah sembarangan.

Baiklah, Sarah berjanji tidak akan bertindak seperti itu lagi. Dia harus menebus kesalahannya yang terlalu larut dalam ketakutan bodohnya terhadap kedatangan ayah tiri jahatnya ke kota. Terlebih saat ini keberadaannya sudah sangat tersembunyi di kampung halaman Endra. Sarah akan aman, Sarah akan baik-baik saja. Ya, dia hanya perlu menjalin hubungan baik dengan keluarga Endra untuk membalas semua kebaikan yang sudah diterimanya.

Sarah menyelesaikan makan kurang dari sepuluh menit, kemudian bergegas menuju kamar saat tiba-tiba langkahnya tertahan oleh sebuah suara kecil.

"Mbak Sarah?" panggil suara itu.

Sarah menengok ke sumber suara, dan mendapati adik bungsu Endra yang bernama Tyas baru saja pulang sekolah.

"Mbak Sarah udah sembuh ya sakitnya?" tanya Tyas dengan tampang penasaran sekaligus senang.

Sarah terdiam. Dia tidak tahu kenapa adik bungsu Endra ini bertanya demikian. Padahal kan yang sakit kakaknya, bukan Sarah.

Sarah akhirnya membungkukkan badan dan mengelus puncak kepala Tyas dengan penuh kelembutan. "Mbak Sarah nggak sakit kok, yang sakit itu kakaknya Tyas, Mas Endra."

Ada kernyitan kecil yang muncul di kening Tyas. "Lho, bukannya selama ini Mbak Sarah sakit? Soalnya Ibu bilang, Tyas nggak boleh nyamperin kamar Mbak Sarah, soalnya takut Tyas ketularan sakit."

Ah, jadi begitu. Selama ini Sarah sudah mengurung diri, dan adik bungsu Endra yang baru kelas dua SD ini pasti penasaran kenapa kakaknya tidak keluar kamar. Sarah jadi semakin malu bertindak egois seperti itu.

"Maaf ya, Tyas. Mbak Sarah nggak pernah nemuin Tyas semenjak datang ke sini. Tapi Mbak Sarah baik-baik aja kok. Sekarang ini malah Mas Endra yang lagi sakit."

Raut wajah Tyas langsung berubah sedih. "Berarti cuma Mbak Sarah aja yang udah sembuh ya. Mas Ndra masih sakit."

Sarah kebingungan. Endra sakit juga baru pagi ini, seharusnya Tyas bahkan tidak tahu kalau Endra sakit. Jadi...

"Mas Endra baru sakit tadi pagi kok, Tyas."

"Tadi pagi?" Tyas memasang ekspresi kebingungan yang tampak menggemaskan di wajahnya yang sudah imut. "Bukannya Mas Nda udah sakit sejak pulang ke sini ya? Soalnya ... setiap kali Tyas ngelihat Mas Nda, wajahnya itu kelihatan kayak lagi sakit. Kalo Tyas ngajak ngobrol juga Mas Nda cuma bengong aja. Pas Tyas tanya ke ibu, ibu bilang kalau Tyas juga nggak boleh gangguin Mas Nda."

Sarah tertegun. Mendengar penjelasan Tyas yang tidak pernah terpikirkan oleh Sarah ini, membuat perasaan bersalah itu kembali menyelubungi. Ah, berarti selama ini Endra juga sama seperti dirinya. Laki-laki itu benar-benar persis seperti yang dibilang ibu mertuanya, ikut menanggung semua penderitaan miliknya.

"Maaf ya, Tyas, udah bikin Tyas khawatir. Kita doain aja biar Mas Endra kembali sehat ya. Biar nanti Tyas bisa main bareng sama Mas Endra lagi."

Tyas mengangguk-angguk penuh semangat. "Tenang aja kok, Mbak. Tyas selalu berdoa setiap hari kok. Soalnya cuma Mas Nda yang suka ngajak main Tyas, beda banget sama Mas Wi yang sukanya diem aja di kamar."

Sarah akhirnya tertawa saat melihat Tyas menceritakan soal dua kakaknya dengan ekspresi wajah yang begitu menggemaskan.

"Kalo begitu, nanti Tyas main juga sama Mbak Sarah ya," kata Sarah yang langsung disambut antusias oleh Tyas.

"Pokoknya nanti Tyas kasih tau tempat rahasia Tyas kalau lagi main sama temen-temen Tyas deh."

Sarah kembali tertawa. "Oke, janji yah, Tyas."

Tyas tertawa lebar. Setelah itu, Tyas mohon diri untuk berganti pakaian dan akan langsung main bersama teman-temannya.

Berinteraksi dengan Tyas membuat perasaan Sarah terasa damai. Dia sangat menyukai saat-saat berbicara dengan anak-anak di panti asuhan. Dan mengobrol dengan Tyas tadi, sedikit mengurangi kerinduan yang tiba-tiba menyeruak di dalam hatinya. Sudah berapa lama Sarah tidak mengunjungi anak-anak? Mereka pasti bertanya-tanya kenapa Sarah tidak datang berkunjung. Ah, setidaknya untuk saat ini, Sarah sudah ingat caranya untuk tertawa. Dan semua itu berkat si kecil Tyas yang begitu polos dan menggemaskan.

Sarah jangan sedih2 terus yahh... Untungnya sekarang udah bisa ketawa lagi. Yuk, kasih semangat buat Sarah dan juga Endra, biar cerita ini selalu dipenuhi kebahagiaan. Hehe...

AdDinaKhalimcreators' thoughts
Next chapter