webnovel

HONEYMOON

Happy Reading♥️

Akhirnya kami sampai juga di Bali. Kami memutuskan menginap di vila yang dekat dengan pantai. Pemandangan pantai yang indah dan villa yang nyaman membuatku merasa terbebas dari segala beban pekerjaan dan kehidupan ibukota yang hactic. Setelah merapikan barang-barang, aku berdiri di depan villa yang kami tempati selama honeymoon, memandang pantai.

"Gimana, Neng? Kamu senang?" tiba-tiba Tommy memelukku dari belakang. Dia meletakkan kepalanya di bahuku. Aku bersandar nyaman di dadanya

"Selama itu bersamamu, aku senang." jawabku seraya membalikkan badanku sehingga berhadapan dengannya. Kujinjitkan kakiku dan kukecup bibirnya. Tommy membalas ciumanku dengan lembut dan mesra.

"Aku nggak menyangka akhirnya bisa ke Bali sama kamu, Neng."

"Dulu dengan dia honeymoon ke Bali juga kan?" tanyaku penasaran. Sifat buruk wanita, ingin tahu cerita tentang mantan.

"Dia siapa?" Tommy balik bertanya. "Tantri?"

"Ya iyalah. Memangnya ada mantan lain selain dia?" sungutku kesal. Tommy tertawa melihatku kesal.

"Nggak sayang. Dulu sama Tantri aku nggak honeymoon ke Bali. Kalau nggak salah kita cuma ke Bandung. Waktu itu aku kan belum punya duit kayak sekarang."

"Memangnya sekarang kamu sudah banyak duit? Ih, sombong amat."

"Hehehe... bukan sombong, Neng. Tapi alhamdulillah tabunganku sudah lumayan banyak, makanya bisa bikinin rumah buat kalian dan ajak kamu honeymoon ke Bali."

"Kang, kamu nggak menyesal kan menikah dengan seorang janda, bukan dengan seorang gadis."

"Ya ampun sayang, kalau aku maunya sama gadis ngapain aku nolak Kayla. Buat aku gadis atau janda nggak jadi masalah. Yang penting aku cinta. Lagipula aku sudah pernah menikah dengan gadis. Yang belum pernah justru menikah dengan janda," Tommy terkekeh geli. "Kamu kok jadi insecure gitu sih, neng."

"Habisnya aku merasa nggak sepadan sama kamu, kang. Kamu ganteng, dari keluarga yang cukup berada, mantan istri kamu jauh lebih cantik daripada aku."

"Jangan pernah minder gitu ah. Kata siapa kamu nggak sepadan sama aku. Justru aku yang seharusnya minder, karena mantan suami kamu lebih ganteng dari aku, dokter terkenal, pemilik klinik, keluarganya cukup terpandang."

Aku sandarkan kepalaku di dadanya. Tommy mengelus punggungku dengan tangannya yang hangat. Aku merasa tenang akibat perlakuannya. Tanpa terasa, aku mulai mengantuk. Aku merasa nyaman berada dalam pelukannya.

"Kang, masih ada waktu sebelum ashar. Aku mau tidur dulu ya, ngantuk." Baru selesai aku bicara, Tommy mengangkat tubuhku ala bridal dan membawaku masuk ke dalam villa. Didudukannya aku di sofa. Kulihat di dalam vila telah tersedia berbagai makanan yang dari baunya saja sudah membuat perutku berontak.

"Makan dulu ya sayang. Tadi pas sampai bandara kita cuma sempat shalat, belum makan siang. Aku nggak mau kamu melewatkan makan siang. Aku nggak mau kamu sakit."

Kuusap wajahnya dan kukecup ringan bibirnya. Ya Allah, terima kasih Engkau kirimkan dia untuk kami. "Tapi kenapa banyak banget mesennya?" tanyaku heran

"Biar nggak bolak balik manggil room service. Biasanya kalau habis 'olahraga' kan suka lapar. Aku nggak mau honeymoon terganggu gara-gara bolak balik panggil room service," jawab Tommy sambil tersenyum jahil. Langsung kucubit lengannya.

"Ouch... sakit neng. Kamu mah nyubitnya niat."

"Kamunya sih otaknya mesum banget. Yang dipikirin 'olahraga' melulu."

"Lho, kan emang itu tujuan kita honeymoon. Biar bisa olahraga dan cepat kasih adik buat Dena." Tommy menarik tubuhku ke dalam pelukannya dan mulai menciumku. Aku membalas ciumannya. Di tengah-tengah kami berciuman tiba-tiba terdengar gemuruh dari perutku. Astagaaaa.... ini perut kenapa harus berbunyi sih. Ganggu aja, batinku.

Tommy menghentikan ciumannya dan menatapku sambil tersenyum. Dia mencium pucuk hidungku. "Kita makan dulu ya. Nanti kita lanjutkan lagi. Makan yang banyak ya, neng. Biar kita punya banyak energi."

Setelah selesai makan, aku membersihkan diriku. Rasanya tubuhku terasa lengket dan lelah. Kutinggalkan Tommy yang masih asyik menikmati udang bakar.

"Akang, belum selesai makannya? Astaga, memangnya kamu belum kenyang?" tanyaku.

"Sebentar lagi nih. Satu ekor udang bakar lagi. Enak banget soalnya. Nanti kalau balik ke Jakarta, kamu bikinin aku makanan kayak gini ya." Aku hanya tersenyum melihatnya yang begitu menikmati makanan yang tersedia.

Aku masuk ke kamar mandi dan mulai membuka bajuku. Setelah semuanya terbuka, aku masuk ke dalam jacuzzi yang telah kuisi dengan air hangat dan garam aromaterapi. Aah.. rasanya nikmat sekali saat. Aku merebahkan diriku sambil mendengarkan suara debur ombak yang terdengar di kejauhan. Aku hampir tertidur saat kusadari ada seseorang yang ikut bergabung denganku di jacuzzi. Kubuka mataku dan kulihat Tommy yang duduk di hadapanku. Bisa kupastikan dia telanjang bulat. Mukaku mendadak panas melihatnya yang bertelanjang dada.

"Kang, ngapain ikut masuk kesini?" tanyaku gugup. Bukannya menjawab, Tommy menarik tubuhku agar duduk bersandar di dadanya.

"Aku mau ikut mandi sama istriku. Boleh kan? Sini, aku akan memijatmu. Kamu taukan kalau suamimu ini jago memijat?" Tommy mulai memijat bahuku dengan lembut.

"Kok malah jadi kamu yang men-servis aku? Harusnya kan aku yang melayani kamu." Aku mencoba protes, namun pijatannya membuatku terdiam. Aah.. nikmat sekali pijatannya. Untuk urusan pijat memijat aku mengakui keahlian suamiku ini.

"Tenang saja, neng. Sekarang kamu nikmati saja servis dari suamimu yang ganteng ini. Nanti gantian kamu yang harus melayaniku." bisiknya mesra di telingaku. Hembusan nafasnya yang hangat terasa menggelitik di leherku. Tangannya terus memijat bahu dan leherku. Pijatannya membuatku mengantuk. Di saat aku hampir tertidur dapat kurasakan pijatannya menjadi sentuhan yang sensual yang mampu membuatku tanpa sadar mendesah. Kini tangannya tak hanya memijat leher dan bahuku, namun sudah menjelajah ke seluruh tubuhku. Dapat kurasakan ada yang mengeras di bawah sana yang menyentuh bokongku. Acara pijat memijat berubah menjadi permainan cinta yang panas di jacuzzi. Setelah selesai, Tommy mengeringkan badanku dengan handuk kemudian mengangkat tubuhku ke kamar.

Dengan lembut Tommy meletakkan diriku di atas tempat tidur yang bertabur kelopak mawar merah yang harum. Suasana kamar yang temaram membuatku semakin mengantuk. Apalagi tubuhku benar-benar lelah karena perjalanan dan permainan cinta kami tadi. Tak lama kami tertidur dengan diriku berbantalkan lengannya.

Aku terbangun karena perutku rupanya tak bisa diajak kompromi minta diisi. Benar kata Tommy, 'olahraga' itu membuatku lapar. Kurasakan lengan kekar yang memeluk tubuhku. Kupandangi wajah suamiku yang terlihat polos saat dia tidur. Mungkin dia tak setampan mas Surya, namun wajahnya mampu membuat para wanita menahan nafas saat dia tersenyum atau bahkan saat dia bersikap cool. Aku masih tak percaya pria dingin yang digilai banyak wanita di kantor kami, kini menjadi suamiku dan tertidur memelukku.

"Hmm.. jangan lama-lama memandangiku. Nanti kamu bosan lho." ucap Tommy dengan mata yang masih tertutup. Wajahku memanas menahan malu karena ketahuan memandanginnya. "Gimana? Wajahku masih tetap ganteng kan?"

"Idih, kamu kok sekarang jadi lebay dan narsis deh. Perasaan dulu kamu tuh terkenal dingin sama wanita." Aku cubit perutnya. Tommy menangkap tanganku dan mengecupnya.

"Aku sengaja dingin supaya para wanita di luaran sana tidak mengejar-ngejarku. Aku sengaja mempersiapkan hatiku hanya untuk satu wanita, dan ternyata kamulah wanita itu."

"Tapi kamu tahu nggak, semakin kamu dingin, semakin kamu cuek para wanita itu malah semakin penasaran lho sama kamu. Bahkan dulu sempat ada taruhan di antara mereka, siapa yang berhasil menaklukan sikap dinginmu maka dia berhak mendapatkan kopi gratis dari cafenya Jeng Rinda selama sebulan."

"Apakah kamu yang mendapatkan hadiah itu?" Kini Tommy benar-benar membuka matanya dan memandangku ingin tahu.

"Ya nggaklah. Waktu itu kan aku masih punya suami. Kalau nggak salah, akhirnya pertaruhan itu dibatalkan setelah tiga bulan nggak ada yang berhasil menggoda kamu."

"Ternyata kamu yang berhasil memenangkannya ya, neng."

"Sayangnya pertaruhan itu sudah nggak berlaku. Coba kalau masih ada, pasti aku nggak perlu keluar uang buat beli kopi selama sebulan."

"Jadi kamu kecewa karena nggak memenangkan taruhan tersebut?"

"Nggak juga sih. Kan aku sudah dapat grand prizenya."

"Oh ya? Apa itu?"

"Kamu." bisikku manja. "Kamu jauh lebih berharga daripada kopi gratis selama sebulan. "

"Pasti dong. Tommy gitu lho."

"Yang pasti sih, selain berhasil mendapatkan kamu, kopiku juga akan gratis. Bahkan mungkin seumur hidup, bukan cuma sebulan"

"Kok bisa?"

"Iya lah... kan kamu yang beliin, suamiku."

"Waaah... matre nih istriku." ledek Tommy.

"Qiqiqiqiqiqiq.... haruslah kang. Makan cinta aja kan nggak bikin kenyang." Baru selesai aku bicara, tiba-tiba perutku kembali protes. "Kang, lapar. Makan yuk."

"Tuh kan, nggak percuma aku order banyak makanan."

"Kayaknya nggak sampai sebulan aku menikah sama kamu, tubuhku pasti akan tambah gendut." Aku mengeluh sambil membayangkan tubuhku yang membulat. "Percuma diet."

"Aku suka kalau tubuhmu lebih berisi." goda Tommy. "Lebih enak dipeluk. Kayak boneka teddy bear yang waktu itu aku belikan buat Dena."

"Jadi kamu bilang aku mirip boneka teddy bear?" Tiba-tiba aku mulai terisak. "Sekarang kamu bilang kalau kamu nggak akan protes kalau aku menggendut, tapi nanti itu kamu jadikan alasan buat mencari wanita lain yang lebih langsing dan seksi daripada aku."

"Lho, kenapa menangis sayang? Aku benar-benar nggak keberatan kalau tubuh kamu menjadi lebih berisi. Apalagi kalau nanti kamu hamil. Pasti kamu lebih seksi lagi." Tommy langsung memelukku erat. "Aku janji aku akan selalu mencintaimu, seperti apapun bentuk tubuhmu.

"Kalau aku gendut seperti beruang?"

"Aku tetap cinta."

"Kalau aku gendut seperti gajah?"

"Aku tetap cinta kamu. Sshhh.... sudah deh kamu nggak usah insecure begitu. Aku mencintaimu karena Allah, bukan karena fisikmu."

"Jadi menurut kamu fisikku nggak oke?" Aku kembali merajuk. Entah kenapa perasaanku hari itu sangat sensitif. Tommy mulai menepuk-nepuk punggungku sambil mencium puncak kepalaku.

"Aku nggak pernah bilang fisikmu nggak oke. Sebagai ibu muda satu anak, tubuhmu lumayan seksi. Wajahmu cantik. Kamu tau nggak, setiap aku memelukmu, aku berusaha menahan diriku untuk tidak menarikmu ke tempat tidur," ucap Tommy. "Tapi buatku yang lebih utama adalah aku mencintaimu karena Allah. In syaa Allah itu akan lebih ever lasting dan buatku itu jauh lebih penting daripada mencintai seseorang karena fisiknya. Please jangan merasa insecure kayak begini ya."

"Terima kasih ya kang. Kuharap apa yang kamu ucapkan saat ini bukan hanya janji kosong seperti yang diusung para calon dalam pilkada." Tommy kembali menciumku mesra dan kubalas tak kalah mesra.

⭐⭐⭐⭐

Selama 5 hari di Bali, kami isi dengan mengunjungi tempat-tempat wisata, berbelanja oleh-oleh, bermain di pantai, melihat matahari terbit dan matahari tenggelam. Tapi mostly kami menghabiskan waktu di kamar. Setiap hari kami menyempatkan diri untuk melakukan video call dengan Dena, ummi, abi dan ibu. Bahkan pernah sekali kami menghubungi Dena saat dia sedang bersama dengan mas Surya.

'Hai sayang. Kamu lagi ngapain?'

'Dena lagi jalan-jalan lihat gajah sama ayah. Tadi Dena juga sudah liat baby tiger. Nda, nanti boleh nggak Dena pelihara baby tiger di rumah ayah Tommy?'

Aku dan Tommy terkejut mendengar permintaan Dena yang tidak masuk akal. Masa iya pelihara macan di rumah. Walaupun sebutannya baby tiger, tetap saja itu kan binatang buas. Aku dan Tommy saling berpandangan, mencari jawaban terbaik untuk Dena.

'Cha, Tom... siap-siap ya Dena merengek minta baby tiger.' tiba-tiba mas Surya muncul di layar dengan senyum jahilnya. 'Aku bilang ke dia, tanya dulu ke bunda dan ayah Tommy.'

'Mas, kamu ajalah yang coba jelaskan ke Dena bahwa baby tiger tidak bisa tinggal di rumah. Dia harus tinggal di kebun binatang atau taman safari.'

'Cha, aku takut salah ngomong.'

'Surya, mana Dena? Biar aku yang ngomong sama dia.' Tommy mengambil alih video call. Kemudian dia menjelaskan ke Dena. Untungnya Dena. mengerti.

⭐⭐⭐⭐

Next chapter