webnovel

BERSYUKUR

"Kang, masih lama main bolanya?" tanyaku pada Tommy yang sedang asyik bermain dengan si kembar yang kini sudah berusia lima tahun.

Kulihat Dena yang kini berusia hampir sembilan tahun sedang asyik membaca buku di atas ayunan.

Di sisi lain kulihat ibu sedang bermain dengan Nizam yang baru berusia 9 bulan. Nizam Rizwan At Taqy. Ya, Tommy dengan lihainya berhasil membujukku menambah anak. Untunglah kehamilan terakhir berjalan lancar tanpa ada hambatan apapun. Dan seperti biasa, selama tri semester pertama Tommy yang mengalami ngidam.

"Bunda, sini ikut main bola." panggil Aya. Gadis kecilku ini memang senang sekali aktivitas anak laki. Maklumlah, dia banyak menghabiskan waktu dengan kembarannya, Al.

"Iya bunda sini!" Panggil Al. "Bantuin kita kalahin ayah."

"Ini sudah hampir jam 9 lho. Kalian lupa kalau kita mau ke rumah eyang Farhan? Hari ini kan ada acara aqiqah adik Zeva." Aku mengingatkan. "Mbak Dena dan dek Nizam sudah wangi dari tadi. Nggak kayak kalian, masih bau asem."

Tommy dan si kembar saling berpandangan dan tersenyum jahil. Tanpa banyak kata mereka bertiga berlari mendekatiku dan memelukku.

"Ya ampuuun.. kalian ini gimana sih? Masa badan penuh keringat begitu main peluk-peluk aja. Bunda kan sudah mandi. Bau lagi deh, gara-gara kalian." Omelku sambil tertawa. Siapalah yang bisa menolak dipeluk oleh tiga manusia yang sangat kucintai di dunia ini. "Bisa terlambat kita ke acara aqiqah dek Zeva."

"Biar nggak terlambat, bunda mandi saja bareng ayah." Ucap Aya yang sekarang sudah berada dalam gendonganku. "Lagipula kata ayah, lebih enak mandi berdua bunda."

Mataku otomatis membulat saat mendengar ucapan polos Aya. Astagaaa.. darimana Aya mendapat pemikiran macam itu? Aku menoleh kepada Tommy yang langsung pura-pura sibuk mengajak Al bicara.

"Kalau ayah dan bunda mandi bareng justru jadi lama sayang."

"Kenapa begitu? Apakah ayah dan bunda main air dulu sambil mandi? Kayak Aya, Al dan dek Nizam?" Aku bingung harus menjawab apa. Aku colek lengan Tommy meminta bantuan.

"Hmm.. iya sayang. Kalau ayah bunda mandi bareng pasti jadinya main-main dulu. Jadi lama deh mandinya." Untunglah Aya tidak lanjut bertanya lebih jauh mengenai permainan apa yang kami lakukan saat di kamar mandi. Kulihat kepalanya mengangguk-angguk sok mengerti.

"Ya sudah, sekarang kalian mandi dulu. Minta tolong sama mbak Umi untuk menggosok badan kalian yang berkeringat ini."

Sepeninggal anak-anak, Tommy mendekatiku dan memelukku erat. Dapat kucium bau keringatnya yang menurutku menggairahkan. Ichaa.. sadar-sadar! Aku menggeleng-gelengkan kepala untuk menghilangkan rasa menggelenyar yang saat ini dapat kurasakan di seluruh tubuhku.

"Kenapa geleng-geleng kepala? Mikirin ucapan Aya, ya? Atau kamu sedang menikmati bau keringatku yang kata kamu bikin aku tambah seksi?" bisik Tommy sambil mengecup ringan bibirku. Belum sempat aku menjawab, Tommy sudah mengangkat tubuhku ala bridal. "Mandi bareng yuk."

Fix, kami pasti terlambat ke acara aqiqah anak kedua mas Fadhlan, pikirku. Nggak mungkin acara mandi ini bisa selesai dalam waktu setengah jam.

"Tapi nanti kita terlambat, kang." Aku masih berusaha membujuk Tommy agar membatalkan niatnya untuk mandi bareng. "Aku kan sudah janji sama mbak Ara untuk membuat kue-kue buat acara aqiqah."

Tommy tidak menjawab dan terus membawaku masuk ke dalam kamar. Dengan lembut ditaruhnya aku di atas kasur. Kemudian ia mengambil ponselnya yang terletak di atas nakas. Aku memandangnya tak mengerti. Siapa yang dia hubungi?

"Halo, assalamualaikum. Mang Jaja, nanti setelah si kembar selesai mandi tolong antar Ibu dan anak-anak ke rumah abi ya. Saya dan Icha berangkat belakangan. Oh iya, bilang sama teh Sri untuk menyiapkan kue yang sudah Icha bikin untuk dibawa ke rumah abi."

Selesai memberi instruksi kepada mang Jaja. Tommy kembali mendekatiku yang masih terlentang di atas kasur. Dia mengukungku di bawah tubuhnya. Perbuatan yang hingga saat ini masih membuatku panas dingin. padahal aku sudah memiliki tiga anak darinya.

Tanganku bergerak membelai rambutnya yang basah oleh keringat. Di usianya yang sudah 35 tahun, dia masih terlihat tampan. Bahkan ketampanannya kini disertai aura dewasa yang selalu membuat jantungku berdegup kencang. Apalagi bila ditatap olehnya seperti saat ini.

"Kamu jelek, kang." ucapku berusaha menutupi kegugupanku.

"Biarin. Yang penting kamu tetap cinta sama aku." jawabnya PD.

"Ih, kata siapa aku tetap cinta sama kamu," elakku sambil membuang pandangku. Bukan karena wajahnya jelek, tapi aku jengah ditatap secara intens seperti kali ini. Dapat kupastikan wajahku saat ini pasti memerah.

"Kalau kamu nggak cinta sama aku, kenapa mukanya memerah begini? Malu ya? Kita sudah menikah lebih dari lima tahun dan kamu nggak berubah, sayang."

"Sana kamu mandi gih. Bau keringat, tau!" bisikku gelisah. Bagaimana tidak gelisah kalau aku bisa merasakan dibawah sana ada yang mengeras.

"Mandi bareng kamu ya, Neng." bisiknya mesra di telingaku. Dapat kurasakan hembusan hangat nafasnya. Membuat seluruh tubuhku meremang oleh gairah. Ah, kenapa sih tubuhku selalu lemah dan berkhianat kepadaku, rutukku dalam hati.

"Tapi nanti kita ter..... " Belum selesai aku mengucapkan kalimatku, bibirnya sudah membungkam bibirku. Dan sekali lagi pikiran dan tubuhku tidak sejalan. Bukannya menolak, aku malah membalas ciumannya yang terasa lembut dan manis. Suatu kesalahan fatal yang membawa kenikmatan bagi kami.

⭐⭐⭐⭐

Suara adzan terdengar dari masjid yang berada tak jauh dari rumah kami. Kubuka mataku perlahan sambil melawan kantuk yang masih menggelayuti mataku. Kulihat Tommy sudah takada di sampingku. Aku membalikkan badanku dan disana kulihat Tommy sedang khusyuk membaca Al Qur an. Aku sangat menikmati suaranya saat membaca-baca ayat Al Qur'an. Terdengar lembut dan menyentuh kalbuku. Kadang kulihat dia menangis saat membaca suatu ayat. Ya Allah, pemandangan yang sangat memanjakan mataku.

"Sudah bangun, neng?" tanyanya sambil mengacak rambutku.

"Kok aku nggak dibangunin buat shalat tahajud sih?" rajukku. Biasanya Tommy memang rajin membangunkanku untuk shalat malam. "Kamu nggak mau ngajak aku sama-sama ke surga ya?"

Tommy bangkit dari duduknya dan melipat sajadah yang habis dipakainya. Lalu dia duduk di sampingku. Tangannya mengelus pipiku, lalu ia merunduk dan mencium kening dan bibirku. Aku mengalungkan tanganku ke lehernya dan membalas kecupannya. Ciuman yang diawali dengan kecupan kecil lama kelamaan menjadi ciuman yang panas. Tommy melepaskan tautan bibir kami. Diusapnya lembut bibirku.

"Kok berhenti?" tanyaku tak rela karena ia menjauhkan bibirnya dari bibirku. "Kenapa? Sudah nggak suka ya sama bibirku? Bohong dong kalau selama ini kamu bilang sangat menyukai bibirku ini."

"Sensi banget sih, neng. Kata siapa aku nggak suka. Kamu tau nggak aku setengah mati menahan hasratku saat melihat wajah bangun tidurmu yang begitu menggoda iman." jawabnya lembut. "Kamu tau kan apa yang akan terjadi kalau kita melanjutkan ciuman tadi?" Aku mengangguk.

"Kamu lupa ya kalau tadi malam setelah shalat isya kamu datang bulan?" tanyanya sambil menyentil pelan keningku. "Kalau tadi kita lanjutkan, kita sendiri yang repot, Neng. Kamu senang ya melihatku tersiksa menahan hasratku."

Aku terkekeh geli saat melihat kilatan gairah di matanya. Aku lupa kalau semalam aku datang bulan. Pantas saja Tommy tidak mengajakku shalat tahajud seperti biasa.

"Maaf ya, Kang. Aku lupa."

"Neng, tolong bangunkan Al. Aku mau ajak dia ke masjid. Kebetulan semalam sebelum tidur dia minta diajak ke masjid."

"Kok tumben? Biasanya paling susah kan dibangunin shalat subuh." Aku bangkit dari tempat tidur dan melangkah ke kamar mandi untuk membasuh wajah. Setelah selesai kulihat pintu penghubung ke kamar Nizam terbuka. Aku menghampiri Tommy yang sedang asyik mengajak Nizam berceloteh. Kupeluk tubuhnya dari belakang. Kusandarkan kepalaku di punggungnya. Tommy menarikku ke dalam dekapannya. Diciumnya puncak kepalaku.

"Terima kasih ya sayang," bisiknya lembut.

"Terima kasih kenapa?" tanyaku tak mengerti.

"Kamu harus hamil lagi saat usiamu sudah di atas 30. Aku tau itu pasti nggak mudah buat kamu."

Aku menyurukkan kepalaku ke dadanya. Salah satu tanganku kupakai untuk mengelus wajahnya yang terlihat segar. Dapat kucium aroma mint menguar saat Tommy bicara. Pasti sebelum tahajud tadi dia mandi.

"Aku menikmati kok. Lagipula bukan aku yang ngidam pagi-pagi buta pengen banget makan rujak cingur yang pedas. Justru aku yang terima kasih sama kamu yang sudah menjadi suami siaga, bukan hanya saat mendampingiku atau mengurus anak. Tapi juga saat kamu mengambil alih ngidamku." Kukecup ringan bibirnya. Saat aku hendak keluar kamar, Tommy menarikku lagi hingga aku terjatuh ke dalam pelukannya.

"Kang, aku mau bangunin Al. Nanti kamu terlambat lho ke masjid."

"Sebentar saja, Neng." Tommy kembali memelukku erat. "Jangan pernah meninggalkanku kecuali atas kehendak DIA."

"Insyaa Allah, kang. Ana uhibbuka fillah."

⭐⭐⭐⭐

"Nda, bisa tolong bantuin Dena kerjain soal matematika yang ini?" pinta Dena saat sore itu aku sedang mengawasi si kembar yang sedang asyik menggambar di kamar mereka. Sementara itu Nizam tertidur dalam pelukanku setelah selesai menyusu. Untunglah ASI ku cukup berlimpah. Bahkan aku bisa membaginya untuk Zevanya, anak kedua mas Fadhlan.

"Soal yang nomor berapa sayang? Kamu sudah coba kerjakan sendiri belum?" kataku sambil meletakkan Nizam di tempat tidur Al.

"'Sudah Nda, tapi untuk soal yang satu ini kok nggak ketemu ya jawabannya." Kulihat wajah Dena mulai putus asa. Aku tau kalau wajahnya seperti itu pasti dia benar-benar sudah mencoba segala cara tapi tidak bisa. Kuusap kepalanya sebelum kujelaskan cara mengerjakan soal yang ditanyakan.

"Bun, ini kakak Al nakal!" Tiba-tiba kudengar jeritan Aya. Saat kutengok kulihat wajah si kembar penuh coretan spidol. Astagfirullah... aku langsung melerai mereka karena kulihat Aya sudah siap memukul Al. Terpaksa kutinggalkan Dena yang memperhatikan adik-adiknya sambil tergelak. Kali ini aku yang menatap Dena meminta bantuannya. Dengan sigap Dena langsung memegangi Al yang siap mencoret wajah Aya.

Saat kami berhasil mendamaikan keduanya, tiba-tiba Nizam terbangun dan menangis. Aku dan Dena saling berpandangan dan kemudian kami tertawa bersama. Beginilah kejadian sehari-hari yang harus kujalani. Untunglah Dena sebagai anak pertama tidak terlalu menuntut perhatianku.

"Terima kasih ya sayang sudah membantu bunda mengurus adik-adikmu ini. Maaf ya kamu ikutan capek mengurus mereka." Aku memeluk tubuhnya yang tingginya hampir menyamai diriku. Gen mas Surya benar-benar menurun kepadanya. Tubuhnya tinggi melebihi anak-anak seusianya. Rambutnya yang ikal, matanya yang agak sipit. Semuanya mencontek ayahnya, Surya.

"Sudah kewajiban Dena sebagai anak pertama membantu Nda. Lagipula Dena suka mengurus mereka, walau kadang kesal kalau si kembar ribut saat Dena lagi belajar buat ulangan." jawab Dena sambil membalas pelukanku. "'Lagipula Dena sudah puas banget diurusin sama Nda. Bahkan sampai sekarang Nda selalu mengurus Dena. Apalagi kalau Dena sakit, bunda pasti akan tidur sama Dena, meninggalkan ayah Tommy."

"Wah, ada apa nih nyebut-nyebut nama ayah?" tanya Tommy yang tiba-tiba masuk ke kamar.

"Lho, kok sudah pulang kang?" Kulihat jam dinding menunjukkan pukul 5 sore. "Habis dinas luar?"

"Iya. Tadi aku pulang nggak ada yang menyambut kecuali teh Sri. Nggak taunya kalian semua sedang berkumpul disini."

"Tadi lagi seru bahas apa sih? Sampai nggak dengar ayah memberi salam."

"Ini lho, kang. Aku lagi berterima kasih sama Dena yang sudah membantu mengurus adik-adiknya."

"Itu kan kewajiban Dena sebagai anak dan kakak, Nda." sahut Dena yang kini bahunya dipeluk oleh Tommy. "Tadi Dena bilang sama Nda, kalau Dena sudah puas banget diurusin sama Nda sebelum ada adik-adik. Bahkan sampai sekarang pun, Nda tetap menemani Dena tidur kalau Dena lagi sakit. Jadi terpaksa membiarkan ayah tidur sendirian."

"Oh itu tho makanya nama ayah disebut-sebut." Tommy manggut-manggut. "Ayah bangga punya anak seperti Dena yang memiliki empati yang cukup tinggi dan peka dengan kondisi sekitar. Nggak salah, bunda dan Dena dua-duanya hebat."

Tak lama si kembar yang baru selesai mandi masuk ke dalam kamar dan mereka berebutan minta di gendong oleh Tommy. Saking hebohnya mereka jatuh ke atas tempat tidur Aya. Akhirnya mereka asyik bercanda disana. Bahkan Dena ikut bergabung mengelitiki Tommy. Aku duduk di tempat Al sambil menggendong Nizam yang tertidur pulas dalam dekapanku.

Hati ini tak hentinya bersyukur atas jalan hidup yang telah kujalani hingga aku sampai di titik ini. Alhamdulillah ya Allah kau berikan begitu banyak nikmat kepadaku. Suami dan anak-anak yang baik. Keluarga yang saling menyayangi. Sahabat dan teman yang saling mendukung.

⭐⭐⭐⭐

Next chapter