1 Kehilangan Sang Kekasih

[Sayang, aku dengan keluargaku sudah sampai di Gedung lokasi pernikahan kita. Aku menunggumu agar seger datang]

Karan mengirim pesan kepada Mozza setelah ia sampai di gedung yan telah diberikan riasan indah. Sebuah pernikahan mewah akan segera di mulai, menyatukan dua keluarga besar yang sangat terkenal dengan perusahaan paling fenomenal di Jakarta.

Perusahaan Larios Gruop dengan Alexander Group akan menjadi besan. Hubungan kedua keluarga ini terjalin sangat baik, bahkan hubungan Karan dengan Mozza berkat perjodohan kedua orang tuanya. Beruntung, keduanya saling tertarik saat bertemu, sehingga perjodohan itu seolah hanya batu loncatan saja.

Karana, seorang pewaris tunggal keluarga Larios memang dikenal sebagai lelaki tampan berwibawa. Namun sayang, dia berhati dingin kepada seorang gadis. Bahkan, empat tahun lamanya kuliah di London University tidak membuatnya tertarik pada gadis di sana.

"Pa, Karan sangat gemetar," ujarnya sambil membetulkan jas putih yang dikenakan."

Karan melihat layar jam tangannya, sudah setengah jam Karan menunggu tetapi Mozza belum juga muncul.

"Tenanglah, Karan. Mozza akan segera datang."

"Apa yang terjadi di luar sana, sehingga Mozza belum juga tiba di sini. Mengapa aku begitu khawatir dan takut terjadi sesuatu padanya?"

"Tenangkan dirimu, duduklah! Mozza akan segera datang."

Sementara itu, diperjalanan. Mozza juga terlihat sangat khawatir, dia sudah terjebak macet dalam setengah jam ini. Sehingga terlambat datang ke acara pernikahan. Mozza terpisah dengan sang ayah, sengaja ayahnya melaju lebih dahulu.

"Sudah jam berapa ini? Karan pasti menungguku," lirih Mozza mulai gundah.

Namun tiba-tiba, sesuatu yang tidak diinginkan pun terjadi. Mobil yang ditumpangi Mozza berhenti mendadak. Tidak begitu jauh dari lokasi acara.

"Ada apa, Pak?" tanya Mozza pada sopirnya.

"Mobilnya mogok, Nona."

"Ya, Tuhan. Kenapa ini bisa terjadi? Bukankah tadi sebelum berangkat mobilnya baik-baik saja?"

"Saya juga kurang tahu, sebentar saya periksa dulu."

"Ini sudah sangat terlambat, saya jalan kaki saja ke lokasi acara. Lagi pula sudah tidak begitu jauh, jalan kaki sedikit sudah sampai.

Awalnya sang sopir menolak Mozza untuk berjalan seorang diri, tetapi Mozza meyakinkan dia akan baik-baik saja. Akhirnya, sopir itu memberikan izin untuk Mozza pergi ke acara berjalan kaki.

Akan tetapi, saat sedang berjalan. Ponselnya berbunyi, tentu saja itu panggilan dari Karan. Tidak ingin membuat calon suaminya menunggu lama. Mozza mengangkat panggilan tersebut.

"Sayang, kamu di mana? Kami semua sedang harap-harap cemas menunggumu."

"Mobil yang aku tumpangi mendadak mogok, Karan. Maafkan aku, aku sedang berjalan menuju lokasi. Sebentar lagi aku sampai."

"Baiklah, aku menunggumu. Tetapi, berhati-hatilah."

Karan menuntup panggilannya, sedangkan Mozza tetap melangkah melanjutkan perjalannya. Tetapi, ketidakberuntungan Mozza terjadi, dari arah berlawanan sebuah truk besar melintas dengan cepat dan...

BRUK!!!!

"Tidaaakkk!!!" pekik Mozza.

"Nona Mozza!!" pekik sopirnya.

Mozza terpental, tubuhnya terlindas oleh truk besar tersebut. Tidak tahu apa yang terjadi pada sopir truk itu, tetapi truk melaju begitu saja menyambar pohon besar di hadapannya.

BRAK!!! DUARRR!!!!

Truk terjungkal di pinggir jalan menghalangi lalu lintas pejalanan.

"Pa, suara apa?" tanya Karan.

Tamu undangan ikut terkejut mendengar suara ledakan yang berasa dari truk. Meraka berhamburan keluar melihat apa yang terjadi di luar sana, tidak terkecuali. Sementara itu, Karan fokus memperhatikan sopir Mozza sambil mendekapnya.

"Mozza!" ujar Karan diikuti oleh ayahnya Mozza, Bram.

"Apa yang terjadi padanya?" tanya Karan pada sang sopir.

"Maafkan saya Tuan, Nona Mozza nekad untuk berjalan kaki menuju gedung. Saya sudah berusaha mencegahnya, tetapi sebelum itu terjadi truk besar menabarknya."

"Bodoh!! Kamu bahkan tidak becus dalam berkerja."

Tubuh Mozza berlumura darah dan tidak sadarkan diri. Beruntuk, truk tadi tidak benar-benar melindas tubuh sang gadis hingga hancur. Mozza hanya masuk ke kolong truk dan sedikit terseret saat truk tersebut melaju.

"Mozza, bangulah! Apa yang terjadi padaku, kita akan menikah bukan? Kenapa kamu begini sayang."

"Sudah Karan, percuma saja kamu tangisi. Anakku tidak akan bangun dengan tangisanmu, lebih baik kita bawa ke rumah sakit."

Karan menyetujui perkataan Bram. Masih ada denyut nadi, meskipun sangat lemah. Setidaknya, ada harapan Mozza masih hidup.

Kemudian, Karan mengendong calon istrinya itu ke mobilnya. Mobil yang sudah dihiasi indah bunga dengan indah itu seolah mengantarkan Mozza menuju azalnya. Tetapi, Karan tidak ingin menyerah sampai melihat kenyataan sebenarnya.

"Karan, percepatlah laju mobilnya. Mozza membutuhkan oksigen segera."

Karan sama panik dengan ayah mertuanya, bahkan laju mobil sudah sangat cepat. Tetapi, tetap saja tidak bisa menerobos jalanan kota Jakarta yang macet.

"Sial! Kenapa harus terjebak macet di waktu genting begini," pekik Karan kesal.

Demi menyelamatkan Mozza yang sedang sekarat, bahkan Karan harus menerobos lampu merah. Tidak peduli jika dia akan tertilang polisi. Entah berapa peluit yang dibunyikan polisi, Karan tetap melajukan mobilnya.

Setelah sampai di rumah, Karan meminta perawat untuk segera menangangi Mozza. Gadis malang itu segera dilarikan ke UGD agar segera ditangani dokter.

"Tuhan, lakukan sesuatu padanya. Jangan biarkan sesuatu hal buruk terjadi, aku tidak akan sanggup kehilangan dia Tuhan," batin Karana.

Ia mulai gelisah, setelah cukup lama belum ada kepastian dari dokter. Mozza masih ditangani oleh dokter dan perawat. sungguh malang nasib Karana, di hari pernikahan dia harus mengalam tragedi menyedihkan.

"Semua ini karena kamu, Karan. Jika terjadi sesuatu pada anakku, kamu harus bertanggung jawab."

Bram mengancam Karan, tetapi tidak membutnya gentar. Sebab dia sendiri sangat ketakutan, ancaman Bram tidak lantas membuatnya ketakutan. Karan tetap berusaha tenang dokter benar-benar datang memberikan kepastian.

Salah seorang perawat keluar dari ruangan, Karan segera mengampirinya. Tetapi, suster itu seolah tidak mengindahkan kekhawatiran Karan, ia terburu meninggalkannya.

"Maaf, Pak. Pasien masih kami tangani, tenang saja dulu. Tolong jangan mengganggu pekerjaan kami, saat ini pasien membutuhkan banyak darah."

"Ba-iklah!"

Karan menyerah, dia duduk di kursi tunggu sambil menundudukan kepalanya. Ia pasrah, bahkan di antara Karan dan Bram tidak ada yang memiliki golongan darah yang sama dengan Mozzo.

"Tuhan, aku hanya memiliki dia dalam hidupku. Tolong aku, selamatkan Mozza. Kami akan melangsungkan pernikahan," pinta Karan dalam hati.

Bram mulai terlihat beringas, dia sangat marah pada Karan. Akan tetapi, dia juga tidak bisa melakuka sesuatu untuk membantu Mozza pulih.

Sekali lagi, Karan melihat jam di tangannya. Dia masih menunggu dokter dengan harap cemas, tidak ada yang bisa dilakukannya selain menunggu dokter keluar dari ruangan.

"Pa, tolong maafkan aku. Tetapi, aku mohon agar Papa juga bisa bersikap tenang. Apa yang tejadi pada Mozza saat ini bukan kehendakku ataupun Mozza."

"Bukan kehendakmu, tetapi kamu yang menghubunginya saat menyebrangi jalan menuju gedung. Katakan, apakah itu bukan salahmu, Karan?"

Karan tertunduk diam, sebelum ia menjawab lagi dokter muncul dari ruangan Mozza. Segera, keduanya memastikan kondisi Mozza.

"Dokter, anak saya baik-baik saja bukan? Dia bisa diselamatkan?" seru Bram dengan beberapa pertanyaa.

Dokter menggelengkan kepala,"maaf, saya tidak bisa menyelamatkannya."

Bersambung....

avataravatar
Next chapter