1 1. Masa Kecil Arletta

Seorang gadis kecil berlari dengan riang mengikuti langkah kaki dua kembarannya yang sedang asik bermain kejar-kejaran ke sana-kemari. Gadis kecil itu mengenakan gaun merah lembut dengan rambut diikat ke atas memperlihatkan leher putih miliknya. Ia juga memakai sendal berwarna senada dengan gaun yang ia kenakan, sekilas dia terlihat manis dan menarik.

Si kecil tampak bersemangat dengan senyuman lebar di bibirnya sembari melangkah menuju ke sekitar ruangan tempatnya berada saat ini. Ia pantang menyerah meski sering ketinggalan oleh kedua kembarannya, kaki kecilnya yang pendek tanpa henti terus berusaha mengejar kembarannya yang terus berada di posisi depan.

"Sayang! Sini peluk Daddy!" Gabriel berteriak dengan suara lantang berharap dapat mengalihkan Arletta kecil dari kegiatan yang sedang dikerjakannya saat ini.

Arletta yang dipanggil bahkan tidak menoleh ke arah Gabriel, ia masih sibuk dengan kegiatan yang tengah ia lakukan meski sering jatuh tersandung. Tampaknya, tidak ada yang lebih menarik dari kegiatan yang dia lakukan saat ini, mendapatkan tatapan tidak menyenangkan dari dua saudara kembarnya, gadis kecil menggerutu dengan kepala menoleh ke arah Gabriel.

"Tidak mau!" tolak Arletta lebih lantang yang menyebabkan wajah tampan Gabriel langsung berubah cemberut.

Penolakan yang sering diberikan Arletta padanya menyebabkan Gabriel mengalami patah hati, padahal ia juga ingin menikmati perasaan seperti yang dialami teman-temannya yang memiliki anak perempuan. Di mana kata mereka cinta pertama seorang anak perempuan adalah ayahnya.

"Kau anak siapa sih sebenarnya? Sama sekali tidak mau menuruti apa yang Daddy katakan," ujar Gabriel dengan suara yang terdengar lelah.

Arletta dan dua kakak kembarnya saat ini masih berusia sekitar 3 tahun. Ke-tiganya begitu aktif dengan hobi yang sudah terlihat sekarang. Ketiganya memang tidak terlalu dekat pada Gabriel yang sibuk bekerja mencari nafkah untuk mereka, Gabriel jarang berada di rumah, dia selalu pulang malam ketika mereka bertiga sudah tertidur nyenyak.

Algriel Wijaya anak pertama Gabriel memiliki kesan wajah datar sama seperti Gabriel. Alfred anak ke-duanya memiliki sisi menyenangkan dan humoris walau terkadang dia lebih sering memperlihatkan wajah datarnya di luar rumah, keduanya dari kecil sudah tampak menuruni sikap dan watak ayah mereka.

Sedangkan Arletta, gadis kecil itu entah menuruni sifat siapa. Arletta sangat keras kepala dan pantang menyerah, apa yang diinginkannya akan berusaha dia dapatkan sendiri tanpa mau menerima bantuan orang lain.

Jika ia mengalami kesulitan Arletta akan berusaha memecahkan masalah itu sendirian. Kalau lelah, ia akan berhenti sejenak dan mengerjakan hal lain terlebih dahulu yang menurutnya lebih mudah diselesaikan.

Sifat inilah yang menjadi bahan pertanyaan untuk Gabriel karena Alexa benar-benar tidak memiliki sifat seperti ini. Dirinya pun juga tidak seperti Arletta yang keras kepala, Gabriel merasa putrinya tertukar padahal Alexa melahirkan di rumah sesuai dengan keinginan Gabriel dan keluarganya.

"Itu sifat Paman Arekha yang diturunkan padanya!" jelas Alexa yang muncul dari belakang Gabriel.

"Mom mengatakan kalau Paman seperti itu sejak kecil. Dia tidak akan mau meminta bantuan siapapun sebelum dia benar-benar tidak sanggup lagi." Alexa memilih duduk di sebelah kanan Gabriel dan memperhatikan anak-anaknya yang tengah bermain dengan gembira.

Alexa merasa bahagia saat melihat buah hatinya aktif, energi dan juga penuh semangat. Ketiganya jarang mengalami sakit juga tidak rewel seperti bayi umumnya yang memudahkan Alexa merawat mereka tanpa bantuan pengasuh.

Bahkan Alexa sendiri tidak mengira kalau ketiga anaknya akan tumbuh secepat ini, mereka sangat berprilaku baik seolah mereka mengerti dengan keadaan ibu mereka. Hal ini yang menyebabkan cinta Alexa semakin meluap-luap untuk ketiga buah hatinya.

"Aku ingin satu anak perempuan lagi," bisik Gabriel di telinga Alexa.

Tangannya langsung menyentuh pinggang ramping Alexa yang masih terlihat sangat bagus dan sempurna. Jika tidak diperhatikan maka orang-orang akan menganggap Alexa sama seperti gadis yang belum menikah, Gabriel sendiri merasa sakit kepala memikirkan tubuh isterinya ini.

"Bukan kita yang menentukan semua itu tapi Tuhan. Kita hanya bisa membuat rencana dan Tuhan lah yang memastikan semua itu terjadi." Alexa memutar matanya malas melihat sifat mesum suaminya yang semakin menjadi-jadi setelah dia melahirkan.

Padahal Alexa berharap, setelah melahirkan ke-tiga anaknya Gabriel akan berubah dan menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Namun apa yang diharapkan Alexa hanyalah angan belaka sebab suaminya semakin menjadi-jadi setiap hari, tingkah mesum dan genitnya bahkan semakin tidak tahu tempat dan keadaan.

"Aku ingin anak perempuan kita memiliki sifat sepertimu, agar aku bisa merasakan benar-benar memiliki anak perempuan. Kau lihat anakku itu," tunjuk Gabriel pada Arletta yang tengah sibuk bermain sendiri.

"Dia makan sendiri, mandi sendiri, apa-apa sendiri bahkan mengalahkan kakak-kakak kembarnya juga bisa sendiri." Gabriel mengeluh dengan wajah menyedihkan.

Padahal Gabriel ingin anak perempuan yang bergantung padanya, anak perempuan yang akan mengadu atas apa yang tidak bisa dia lakukan. Anak perempuan yang akan menangis bila tidak mendapatkan apa yang dia inginkan dan anak perempuan yang akan mencuri perhatian ayahnya.

"Astaga, kau bisa mengatakan hal itu pada anakmu bukan padaku. Kalau misalnya aku hamil dan bukan anak perempuan yang lahir, apakah kau akan menyuruh diriku hamil lagi?" tanya Alexa sembari memutar matanya malas.

Bibirnya mencebik tidak suka dengan senyum penuh kecurigaan seolah-olah menuduh. Alexa memahami apa yang ada dipikiran Gabriel hingga langsung menolak ide gila Gabriel cepat, dia tidak sanggup memaksakan keinginan karena hal yang tidak mungkin terjadi tidak akan pernah terjadi.

"Tidak masalah, 12 anak pun juga bagus agar kita bisa membuat tim sepakbola sendiri tanpa mencari anggota lain ke luar." Gabriel menjawab dengan begitu tidak peduli menyebabkan Alexa benar-benar tidak mampu untuk menghadapinya.

Alexa memilih berdiri dan melangkah ke sisi Arletta dan duduk di samping putrinya itu. Saat ini Arletta tengah duduk sambil menghirup napas akibat lelah berlari mengejar Algriel dan Alfred yang seakan tidak pernah lelah.

"Hmm, Sayang! Arletta kalau sudah besar mau jadi apa, Nak?" tanya Alexa lembut sembari membelai rambut panjang Arletta.

"Aku ingin menjadi wanita karir yang sukses, Mom!" jawab Arletta kecil dengan cepat.

Arletta tersenyum senang, dia terlihat berpikir dengan tangan menyentuh dagunya.

"Tapi menjadi hacker seperti Tante Kelly juga bagus. Letta masih bingung, Mom!" jawabnya lagi kemudian dengan wajah diselimuti keraguan.

"Letta ingin jadi hacker?" tanya Alexa dengan wajah penasaran.

Alexa berpikir putrinya mungkin hanya tertarik sekaligus kagum dengan gerakan tangan Kelly dalam bermain komputer dan tidak menaruh hati pada ucapan Arletta.

"Iya, Letta senang melihat tangan Tante Kelly di laptopnya." Letta nampak bersemangat saat mengucapkan kata-kata itu.

avataravatar
Next chapter